BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqamat
Maqamat merupakan bentuk
jamak dari maqom, yang dari segi bahasa berarti kedudukan dan tempat berpijak
kedua kaki[1].
Sedangkan dalam ilmu tasawuf, istilah maqom mengandung arti “kedudukan seorang
hamba dalam pandangan Allah berdasarkan dengan apa yang telah diusahakannya,
baik berupa perjuangan (mujadalah), latihan-latihan spiritual (riyadoh) dan
perjalanan menujunya”[2].
Pengertian maqom menurut para sufi disebut juga sebagai tingkatan seorang hamba
dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa secara sungguh-sungguh dengan
melakukan sejumlah kewwajiban, yang berguna untuk mencapai makrifat[3].
Jadi, dari ketiga pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa maqom merupakan posisi atau tingkatan kedekatan
seorang hamba di hadapan Allah sesuai dengan kadar ibadah yang dilakukannya.
Macam-macam maqam menurut al-Syuhrawadi dalam bukunya
‘Awarif al-Ma’rif merumuskan maqam sebagai berikut :
- Tobat
Menurut Qamar Kailani dalam karyanya fi al tasawuf
al-islami, yang dimaksud dengan tobat ialah ‘’ rasa penyesalan yang
sungguh-sungguh dan mendalam disertai permohonan ampun serta meninggalkan
segala perbuatan yang menimbulkan dosa’’, sedangkan menurut Imam al-Ghazali, tobat diklasifikasikan kepada
tiga tinglatan : pertama, meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya, dan
beralih kepada kebaikan karena takut kepada Allh, kedua, beralih dari satu
situasi yang sudah baik menuju ke situasi ke yang lebih baik lagi , ketiga,
rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata
karena ketaatan dan kecintaan
kepada allah.[4]
- Zuhud
Menurut Harun nasution, station yang paling penting
bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup
kemareterian.
Secara
etimologi, zuhud berarti raghaba’ ansyai’in watarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkanya.[5]
Sedangkan menurut menurut al- Palimbani
zuhud terbagi tiga macam yaitu: pertama bersungguh-sungguh meninggalkan esenangan
dunia, kedua meninggalkan kesenangan duniawi karena memperoleh kesenangan
ahkerat , ketiga, tidak condong pada dunia, dan tidak pula membencunya serta
tidak meninggalkan sesuatu selain Allah semata-mata karena cinta kepada allah.[6]
- Faqr
Yaitu bentuk pluralnya
fuqara’ artinya membutuhkan atau memerlukan. Istilah ini dalam al-qur’an
digunakan dalam mengacu pada dua pengertian. Pertama digunakan dalam konteks
sosial ekonomi, kedua dalam konteks eksistensi manusia.
Faqr juga dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam
menjalani kehidupan dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan
menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih
dekat pada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa terlambat pada selain
Allah.
Sikap faqr
selanjutnya akan memunculkan sikap wara’. Wara’ menurut para sufi adalah sikap
berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya[7].
- Sabar
Sabar diartikan
sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.
Sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan
kehendak Allah Swt. Tercapainya karakter sabar merupakan respon dari keyakinan
yang dipertahankan. Kayakinan adalah landasan sabar. Apabila telah yakin jalan
yang ditempuh benar seserang akan teguh dalam pendiriannya walaupun aral
melintang. Sabar menurut Al-Ghozali, jika dipandang sebagai pengekangan atau
tuntutan nafsu atau amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa, sedangkan menahan
terhadap penyakit fisik disebut sabar badani. Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan
dalam berbagai aspek. Misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang
berebihan[8]
- Syukur
Syukur lahir atas pengetahuan tentang nikmat Allah
yang meliputi : pertama, mengetahui bahwa segala nikmat berasal dari Allah
bukan selain dariNya. Kedua, mengetahui dan menerima nikmat dari Allah Swt,
lantas mengagungkan dan merendahkan diri atau mengetahui sifat kedermawanan
Allah Swt. Ketiga, mempergunakan nikmat yang diberikan Allah kepada apa-apa
yang disenangi Allah dan menghindari apa yang dibenci Allah[9].
- Ridha
Ridho berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa
yang dianugerahkan oleh Allah. Sikap mental ridha merupakan kelanjutan rasa
cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Istilah ridha mengandung
pengertian menerima dengan lapang dada dan hti terbuka terhadap apa saja yang
datang dari Allah, baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan
agamamaupun yang berkenaan dengan masalah diri sendiri[10]
- Tawakkal
Tawakkal merupakan gambaran keteguhan hati dalam
menggantungkan diri hanya kepada Allah. Hakikat Tawakkal menurut AL-Palimbani
adalah berpegang teguh kepada Allah secara total dan tidak gentar ketika tidak
memiliki sesuatu. Beberapa Al-qur’an sebagai dasar pentingnya tawakkal
diantaranya Al-Imron : 109, al-thalaq : 23, al-Maidah : 23 dan lain-lain.
B.
Pengertian Ahwal
Di samping istilah maqom, terdapat istilah hal.
Istilah hal yang dimaksud disini adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika
seorang sufi mencapai maqom tertentu yang sifatnya temporer dan mudah hilang.
Macam-macam Ahwal, diantaranya :
1.
Muroqobah
(Waspada)
Berasal dari kata roqib yang berarti penjaga atau pengawal. Secara
terminologis muroqobah berarti melestarikan pengamatan terhadap Allah dengan
hati, sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukumnya. Jadi, muroqobah
berate merasa diawasi Allah.
Selanjutnya, menurut Al-Ghozali menjelaskan bahwa muroqobah terdiri dari
dua derajat. Yaitu : derajat muroqobah shiddiqin dan derajat muroqobah ashbab
al-yamin.
2.
Mahabbah
(Cinta)
Cinta dalam pandangan tasawuf merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan
hal. Sama seperti tobat yang menjadikan kemuliaan maqom. Karena cinta pada
dasarnya adalah anugerah yang menjadikan sebagai pijakan bagi segenap hal.
Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan.
Menurut Syuhrawardi mengatakan dalam “sesungguhnya cinta adalah suatu
mata rantai keselarasan yang mengikat kepada kekasihnya, yang menarik sang
pencinta kepadanya dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga pertam-tama
ia menguasai sifat dalam dirinya, kemudian menangkap Zatnya daam genggaman
Qudrah.
3.
Raja’
(Berharap) dan Khauf (Takut)
Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme yaitu perasaan senang
hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Sedangkan menurut
Ahmad farid menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan oleh Allah
untuk mengiringi hamba-hambanya menuju ilmu dan amal sehingga dekat dengan
Allah Swr. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang
ditakuti, yang akan menimpa diri dimasa yang akan datang. Khauf dan raja’
saling berhubungan. Kekurangan khauf menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat
maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan
pesimis. Begitu juga sebaliknya, apabila sifat raja’ begitu besar hal itu akan
membuat seseorang menjadi sombong dan angkuh dan meremehkn amalan-amalannya.
4.
Syauq
(rindu)
Syauq pada prinsipnya merupakan kondisi kejiwaan yang menyertai cinta.
Yaitu rasa rindu yang memancar dari qolbu karena gelora cinta yang murni. Selama
masih ada cinta, syauq tetap diperlukan.
5.
Al-Uns
(Kedekatan spiritual)
Yaitu keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada satu titik
sentrum, yakni Allah, tidak ada yang dirasa, yang diingat dan diharapkan
kecuali Allah.
C. Perbedaan
Maqom dan Ahwal
Para sufi sendiri menegaskan perbedaan maqom dan hal. Maqom menurut
mereka ditandai oleh kemapanan. Sementara hal justru mudah hilang. Maqom dapat
dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh
seseorang tanpa disengaja. Hal sama dengan bakat. Hal akan datang dengan
sendirinya, sementara maqom diperoleh dengan berupaya. Namun perlu dicatat
maqom dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata
uang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Maqom merupakan posisi atau tingkatan kedekatan
seorang hamba di hadapan Allah sesuai dengan kadar ibadah yang dilakukannya.
Maqom terbagi menjadi tujuh macam, diantaranya tobat,
zuhud, ridha, sabar, faqr, syukur dan tawakkal.
Sedangkan ahwal yaitu keadaan atau kondisi psikologis
ketika seorang sufi mencapai maqom tertentu yang sifatnya temporer dan mudah
hilang.
Ahwal terbagi menjadi lima macam, diantaranya :
Muroqobah, Mahabbah, Raja’ dan Khauf, Syauq, dan Al-Uns.
Maqom dan hal keduanya tidak dapat dipisahkan,
keduanya saling berhubungan satu sama lain. Karena keduanya merupakan suatu
jalan menuju kedekatan kepada Allah Swt yang ditempuh oleh kaum sufi.
DAFTAR PUSTAKA
Selamat, Kasmuri, sanusi,Ihsan.2011.Akhlak Tasawuf.Jakarta: Kalam Mulya hal
Mahfud. 2011.Akhlak Tasawuf.Cirebon:Al-Tarbiyah
Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar