Start

Rabu, 11 November 2015

Maqamat dan Ahwal








BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Maqamat
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqom, yang dari segi bahasa berarti kedudukan dan tempat berpijak kedua kaki[1]. Sedangkan dalam ilmu tasawuf, istilah maqom mengandung arti “kedudukan seorang hamba dalam pandangan Allah berdasarkan dengan apa yang telah diusahakannya, baik berupa perjuangan (mujadalah), latihan-latihan spiritual (riyadoh) dan perjalanan menujunya”[2]. Pengertian maqom menurut para sufi disebut juga sebagai tingkatan seorang hamba dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa secara sungguh-sungguh dengan melakukan sejumlah kewwajiban, yang berguna untuk mencapai makrifat[3].
Jadi, dari ketiga pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa maqom merupakan posisi atau tingkatan kedekatan seorang hamba di hadapan Allah sesuai dengan kadar ibadah yang dilakukannya.
Macam-macam maqam menurut al-Syuhrawadi dalam bukunya ‘Awarif al-Ma’rif merumuskan maqam sebagai berikut :
  •  Tobat
Menurut Qamar Kailani dalam karyanya fi al tasawuf al-islami, yang dimaksud dengan tobat ialah ‘’ rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dan mendalam disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa’’, sedangkan menurut Imam  al-Ghazali, tobat diklasifikasikan kepada tiga tinglatan : pertama, meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya, dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada Allh, kedua, beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi ke yang lebih baik lagi , ketiga, rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata  karena ketaatan  dan kecintaan kepada allah.[4]
  •   Zuhud
Menurut Harun nasution, station yang paling penting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kemareterian.
Secara etimologi, zuhud berarti raghaba’ ansyai’in watarakahu, artinya tidak tertarik  terhadap sesuatu dan meninggalkanya.[5] Sedangkan menurut  menurut al- Palimbani zuhud terbagi tiga macam yaitu: pertama bersungguh-sungguh meninggalkan esenangan dunia, kedua meninggalkan kesenangan duniawi karena memperoleh kesenangan ahkerat , ketiga, tidak condong pada dunia, dan tidak pula membencunya serta tidak meninggalkan sesuatu selain Allah semata-mata karena cinta kepada allah.[6]
  •   Faqr
Yaitu bentuk pluralnya fuqara’ artinya membutuhkan atau memerlukan. Istilah ini dalam al-qur’an digunakan dalam mengacu pada dua pengertian. Pertama digunakan dalam konteks sosial ekonomi, kedua dalam konteks eksistensi manusia.
Faqr juga dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam menjalani kehidupan dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa terlambat pada selain Allah.
Sikap faqr selanjutnya akan memunculkan sikap wara’. Wara’ menurut para sufi adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya[7].
  •  Sabar
Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak Allah Swt. Tercapainya karakter sabar merupakan respon dari keyakinan yang dipertahankan. Kayakinan adalah landasan sabar. Apabila telah yakin jalan yang ditempuh benar seserang akan teguh dalam pendiriannya walaupun aral melintang. Sabar menurut Al-Ghozali, jika dipandang sebagai pengekangan atau tuntutan nafsu atau amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa, sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sabar badani. Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berebihan[8]  
  •   Syukur


Syukur lahir atas pengetahuan tentang nikmat Allah yang meliputi : pertama, mengetahui bahwa segala nikmat berasal dari Allah bukan selain dariNya. Kedua, mengetahui dan menerima nikmat dari Allah Swt, lantas mengagungkan dan merendahkan diri atau mengetahui sifat kedermawanan Allah Swt. Ketiga, mempergunakan nikmat yang diberikan Allah kepada apa-apa yang disenangi Allah dan menghindari apa yang dibenci Allah[9].
  • Ridha
Ridho berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan oleh Allah. Sikap mental ridha merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Istilah ridha mengandung pengertian menerima dengan lapang dada dan hti terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agamamaupun yang berkenaan dengan masalah diri sendiri[10]
  •  Tawakkal
Tawakkal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Hakikat Tawakkal menurut AL-Palimbani adalah berpegang teguh kepada Allah secara total dan tidak gentar ketika tidak memiliki sesuatu. Beberapa Al-qur’an sebagai dasar pentingnya tawakkal diantaranya Al-Imron : 109, al-thalaq : 23, al-Maidah : 23 dan lain-lain.

B.                 Pengertian Ahwal
Di samping istilah maqom, terdapat istilah hal. Istilah hal yang dimaksud disini adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqom tertentu yang sifatnya temporer dan mudah hilang.
Macam-macam Ahwal, diantaranya :
1.      Muroqobah (Waspada)
Berasal dari kata roqib yang berarti penjaga atau pengawal. Secara terminologis muroqobah berarti melestarikan pengamatan terhadap Allah dengan hati, sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukumnya. Jadi, muroqobah berate merasa diawasi Allah.
Selanjutnya, menurut Al-Ghozali menjelaskan bahwa muroqobah terdiri dari dua derajat. Yaitu : derajat muroqobah shiddiqin dan derajat muroqobah ashbab al-yamin.
2.      Mahabbah (Cinta)
Cinta dalam pandangan tasawuf merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal. Sama seperti tobat yang menjadikan kemuliaan maqom. Karena cinta pada dasarnya adalah anugerah yang menjadikan sebagai pijakan bagi segenap hal. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan.
Menurut Syuhrawardi mengatakan dalam “sesungguhnya cinta adalah suatu mata rantai keselarasan yang mengikat kepada kekasihnya, yang menarik sang pencinta kepadanya dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga pertam-tama ia menguasai sifat dalam dirinya, kemudian menangkap Zatnya daam genggaman Qudrah.
3.      Raja’ (Berharap) dan Khauf (Takut)
Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Sedangkan menurut Ahmad farid menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan oleh Allah untuk mengiringi hamba-hambanya menuju ilmu dan amal sehingga dekat dengan Allah Swr. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri dimasa yang akan datang. Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, apabila sifat raja’ begitu besar hal itu akan membuat seseorang menjadi sombong dan angkuh dan meremehkn amalan-amalannya.
4.      Syauq (rindu)
Syauq pada prinsipnya merupakan kondisi kejiwaan yang menyertai cinta. Yaitu rasa rindu yang memancar dari qolbu karena gelora cinta yang murni. Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan.
5.      Al-Uns (Kedekatan spiritual)
Yaitu keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada satu titik sentrum, yakni Allah, tidak ada yang dirasa, yang diingat dan diharapkan kecuali Allah.


C.    Perbedaan Maqom dan Ahwal
Para sufi sendiri menegaskan perbedaan maqom dan hal. Maqom menurut mereka ditandai oleh kemapanan. Sementara hal justru mudah hilang. Maqom dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh seseorang tanpa disengaja. Hal sama dengan bakat. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqom diperoleh dengan berupaya. Namun perlu dicatat maqom dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang.




BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Maqom merupakan posisi atau tingkatan kedekatan seorang hamba di hadapan Allah sesuai dengan kadar ibadah yang dilakukannya.
Maqom terbagi menjadi tujuh macam, diantaranya tobat, zuhud, ridha, sabar, faqr, syukur dan tawakkal.
Sedangkan ahwal yaitu keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqom tertentu yang sifatnya temporer dan mudah hilang.
Ahwal terbagi menjadi lima macam, diantaranya : Muroqobah, Mahabbah, Raja’ dan Khauf, Syauq, dan Al-Uns.
Maqom dan hal keduanya tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berhubungan satu sama lain. Karena keduanya merupakan suatu jalan menuju kedekatan kepada Allah Swt yang ditempuh oleh kaum sufi.


DAFTAR PUSTAKA
Selamat, Kasmuri, sanusi,Ihsan.2011.Akhlak Tasawuf.Jakarta: Kalam Mulya hal
Mahfud. 2011.Akhlak Tasawuf.Cirebon:Al-Tarbiyah Press


[1] Selamat, Kasmuri, sanusi,Ihsan.2011.Akhlak Tasawuf.Jakarta: Kalam Mulya hal 115
[2] Mahfud. 2011.Akhlak Tasawuf.Cirebon:Al-Tarbiyah Press hal 67
[3] Opcit hal 115
[4] Ibid hal 68
[5] Ibid hal 69
[6] Opcit hal 118
[7] Ibid hal 76-77
[8] Ibid hal 77-78
[9] Opcit hal 119
[10] Ibid 79

Tidak ada komentar: