Start

Rabu, 25 November 2015

Barat dan Timur



Secara umum, kajian tentang Barat (Oksidentalisme) yang dilakukan bangsa non-Barat memiliki karakteristik yang berbeda dengan kajian tentang Timur (Orientalisme) yang dilakukan bangsa Barat. Setidaknya pada beberapa hal berikut ini :
1.      Orang Barat yang datang ke Timur untuk belajar akan menghasilkan karya ilmiah yang detail tentang aspek-aspek  peradaban Timur. Sedangkan orang Timur yang datang ke Barat, kebanyakan akan menghasilkan karya ilmiah yang detail tentang aspek-aspek peradabannya sendiri dengan framework peradaban Barat.
2.      Orang Barat yang datang ke Timur untuk belajar, akan menghasilkan pandangan-pandangan yang kritis tentang aspek-aspek peradaban Timur. Bukan itu saja, pengetahuan kritis itu pun digunakan sebagai alat pengambil keputusan agar Barat lebih dalam dan luas lagi mempengaruhi hajat hidup peradaban Timur. Sedangkan orang Timur yang datang ke Barat untuk belajar, keanyakan menghasilkan pandangn-pandangan kritis tentang dirinya sendiri, dan lalu malahan membantu Barat mengubah aspek-aspek peradaban Timur sesuai arus dari arah Barat.
3.      Orang Barat yang datang belajar ke Timur sedikit banyak menyerap kebiasaan hidup oang Timur sebagai pleasure, kesenangan, namun sebagian besar aspek kepribadiannya tetaplah Barat. Sedangkan orang Timur yang datang ke Barat, tidak sedikit yang menyerap kebiasaan hidup Barat sebagai character building,pembangunan kepribadian yang dianggap menuju arah yang lebih positif. Makan tetap tempe, tapi cara berpikir lebih sukia ke barat-baratan.

Kepemimpinan Dalam Manajemen Dakwah

Pemimpin merupakan faktor penentu dalam meraih sukses bagi sebuah organisasi. Para pemimpin harus mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi secara tiba-tiba, dapat mengoreksi kelemahan-kelemahan, dan sanggup membawa organisasi kepada sasaran dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Ada tiga kekuatan yang ikut menentukan efektivitas beroperasinya kepemimpinan, yaitu :
1.      Faktor pribadi atau person dengan kualitas keunggulannya.
2.      Faktor posisi sehubungan dengan fungsi dan tugas-tugas pemimpin
3.      Faktor situasi dan tempat yang khusus, yang memerlukan tipe pemimpin pula
Kepemimpinan sebagai konsep manajemen dakwah dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.    Kepemimpinan sebagai salah satu seni dalam berdakwah untuk menciptakan kesesuaian dalam mencari titik temu.
b.      Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasive dan inspirasi dalam berdakwah.
c.       Kepemimpinan adalah  kepribadian yang memiliki pengaruh.
Adapun sifat, ciri, atau nilai-nilai pribadi yang harus dimiliki dalam kepemimpinan manajemen dakwah adalah :
·         Berpandangan jauh
·         Bertindak dan bersikap bijaksana
·         Berpengaetahuan luas
·         Bersikap dan bertindak adil
·         Berpendirian teguh
·         Optimis bahwa misinya berhasil
·         Berhati ikhlas
·         Memiliki kondisi fisik yang baik
·         Mampu berkomunikasi

Kepemimpinan dalam rangka manajemen dakwah
1.      Mempelopori dan bertanggung jawab atas segala kepemimpinannya
2.      Merencanakan segala kegiatan
3.      Kondisi program
4.      Evaluasi penilaian kerja
5.      Membuat suatu kerja lanjutan
6.      Pemimpin sebagai da’i

Karakteristik manajer atau pemimpin dakwah
a.       Amanah
b.      Memiliki ilmu dan keahlian
c.       Memiliki kekuatan dan mampu merealisir
d.      Rendah hati
e.       Toleransi dan sabar
f.       Benar, adil, dan dapat dipercaya
g.      Musyawarah
h.      Cerdik dan memiliki firasat

Peran pemimpin dakwah dalam pengembangan sumber daya manusia
Menurut Ichak Adizes, ada tiga peran seorang pemimpin dalam tugasnya, yaitu
1.      Peran hubungan antarpribadi
2.      Peran yang berhubungan dengan informasi
3.      Peran yang berhubungan dengan membuat keputusan
Ada beberapa cara positif yang dilakukanoleh pemimpin dakwah untuk mengembangkan kemampuan par da’i, diantaranya :
a.       Pemimpin dakwah harus memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perencanaan dan pelatihan
b.      Menghadiri program pelatihan dakwah tersendiri
c.       Menyediakan resources dan bantuan logistic serta prasarana lainnya
d.  Membuat kebijakan-kebijakan untuk mengenali dan menghargai individu-individu yang ingin berkembang

 Sumber : Munir,M, Wahyu Ilaihi. 2009. Manajemen Dakwah.Jakarta ; Kencana

Sumber Daya Manusia Dalam Manajemen Dakwah

Sumber daya manusia (human resources) dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek, yaitu kuantitas dan kualitas.kuantitas menyangkut jumlah sumber daya manusia yang sangat penting kontribusinya. Sedangkan aspek kualitas menyangkut mutu dari sumber daya manusia yang berkaitan dengan kemampuan fisik maupun kemampuan non fisik (bekerja, berpikir dan ketrampilan-ketrampilan lainnya.
Secara umum pengembangan sumber daya manusia lebih banyak dikaitkan dengan industrialisasi dan prospek perkembangan ekonomi dengan standarisasi memiliki arah yang jelas. Ada beberapa parameter yang harus diperhatikansebagai sebuah rumusan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang produktif, yaitu : pertama, peningkatan kualitas iman dan takwa; kedua, peningkatan kualitas hidup; ketiga, peningkatan kualitas kerja; dan keempat, peningkatan kualitas karya; kelima, peningkatan kualitas pikir.
Dalam dunia dakwah pengembangan sumber daya da’i lebih ditekankan pada pengembangan aspek mental, spiritual, dan emosi serta psikomotorik manusia untuk mencapai tujuan, di identifikasikan sebagai berikut ;
1.      Ciri keagamaan,seorang da’i sebagai kekuatan sumber daya manusia yang ideal harus memiliki keimanan dan keyakinan yang kuat dan konsisten, sehingga mampu mempengaruhi perilaku dan culture hidupnya.
2.      Ciri keilmuan, untuk mewujudkan seorang da’i yang ideal dalam lembaga dakwah, maka harus diadakan pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya da’i secara maksimal.
3.      Ciri motivasi, untuk menjadi bagian dari sumber daya manusia yang potensial, maka seorang da'i harus memiliki motivasi untuk maju dan produktif, sehingga skillnya itu bermanfaat bagi organisasi dakwah maupun bagi dirinya sendiri.

Maksud dan Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Dakwah
            Menurut Maslow, pada hakikatnya pengembangan sumber daya manusia baik secara makro maupu mikro merupakan upaya untuk merealisasikan semua kebutuhan manusia. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang secara naluri ingin hidup berkelompok.
Tujuan secara jasmani dan rohani bagi para penggerak dakwah, diantaranya :
1.      Tujuan pembangunan (Jasmani)
Berdasarkan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka ia akan berperan sebagai pribadi yang akan selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, karena manusia dibekali dengan kekuatan jasmani.
2.      Tujuan pembangunan rohani (Spiritual)
Apabila dikaitkan dengan kehidupan social, ekonomi, politik, dan budaya secara luas, maka pengembangan sumber daya manusia adalah membantu orang kea rah kehidupan yang lebih sejahtera dan mengurangin ikatannya dengan tradisi.
Menurut Soekidjo Notoadmodjo, tujuan dari manajemen sumber daya manusia secara operasional adalah :
1.      Tujuan Masyarakat (Society objective)
Diorientasikan untuk bertanggung jawab secara social, dalam hal pemenuhan kebutuhan serta tantangan yang timbul dalam masyarakat.
2.      Tujuan organisasi (Organization objective)
Diorientasikan untuk mengenal bahwa sumber daya manusia ada (exsist), maka perlu memberikan kontribusi terhadap pendayagunaan organisasi secara keseluruhan.
3.      Tujuan fungsi (Functional objective)
Diorientasikan untuk memelihara (maintain) kontribusi unit bagian lain agar sumber daya manusia dalam tiap bagian tersebut melaksanakan tugasnya secara optimal.
4.      Tujuan personel (personnel objective)
Diorientasikan untuk membantu karyawan atau satu elemen dalam mencapai tujuan pribadi dalam rangka mencapai tujuan organisasinya.

Ciri-ciri Pengembangan Sumber Daya Manusia Yang Efektif
Program engembangan sumber daya manusia yang berhasil adalah yang bersifat sistematik, yakni memiliki tujuan yang spesifik dan berkelanjutan dalam memberikan program pelatihan yang konkret dan mudah bagi para partisipan.
Fred Wood, seorang ahli dalam pengembagan sumber daya manusia menyarankan, bahwa program pengembangan itu meliputi lima fase, yaitu readiness (kesiapan), planning (perencanaan), training (pelatihan), implementation (pelaksanaan), dan maintenance (pemeliharaan).
·         Kemauan untuk berkembang
·         Mengetahui alasan mengapa belajar itu penting untuk pengembangan dirinya
·         Percaya apa yang dipelajari akan membantunya berkembang
·         Bebas dari banyak tekanan dan pesimisme
·         Percaya diri dan optimis
·         Diberikan informasi yang akan dipelajari dengan berbagai cara.
·         Belajar sambil mengaplikasikan dalam masyarakat
·         Diberikan feedback tentang kemajuannya
·         Diberikan penghargaan Karen pekerjaannya berkualitas baik
Mengembangkan Individu Da’I Yang Profesional
Pengembangan sikap profesionalisme dalam lembaga dakwah, berarti bekerja dengan seluruh elemen yang ada, namun pada saat saat tertentu focus dakwah harus diarahkan pada individu atau kelompok kecil.
Professional itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Ø  Memiliki suatu keahlian khusus
Ø  Merupakan suatu panggilan khusus
Ø  Memiliki teori-teori yang baku secara universal
Ø  Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
Ø  Dilengkapi denga kecakapan yang diagnostic   dan kompetensi yang aplikatif
Ø  Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
Ø  Memiliki kode etik
Ø  Memiliki organisasi profesi yang kuat

Sumber : Munir,M, Wahyu Ilaihi. 2009. Manajemen Dakwah.Jakarta ; Kencana

Rabu, 11 November 2015

Rieview Unsur-unsur Kebudayaan



Rieview Ilmu Budaya Dasar
Bab II
Unsur-unsur Kebudayaan
Oleh Nur’aeni
Jurusan PMI Semester 3
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai apa itu kebudayaan. Dan banyak berbagai jawaban dan pengertian yang bervariatif dalam memaknai kebudayaan itu sendiri. Di dalam kebudayaan tentunya terdapat unsur-unsur yang mendukung munculnya kebudayaan tersebut. Kebudayaan sebagai penciptaan dan perkembangan nilai meliputi segala apa yang ada dalam alam fisik, personal dan sosial yang disempurnakan untuk realisasi tenaga manusia dan masyarakat. Dan perlu kita ketahui juga bahwa bukan jumlah kuantitatif atau mutu kualitatif nilai-nilai tersendiri mengandung kemajuan kebudayaan. Yang menentukan adalah kesatuan, sintesis atau konfigurasi nilai-nilai yang wajar.
Di dalam unsur-unsur kebudayaan terdapat kebudayaan subjektif, kebudayaan objektif, perbandingan pendapat, partisipasi dalam kebudayaan, dan sentralisasi kebudayaan. Hal itu merupakan  yang mendukung adanya suatu kebudayaan.
Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dalam hierarki nilai perwujudannya tampak dalam kesehatan badan, penghalusan perasaan, kecerdasan budi bersama dengan kecakapan untuk mengkomunikasikan hasil pemakaian budi  kepada lain-lain, serta kerohanian.. kesehatan, gaya indah, kebajikan dan kebijaksanaan merupakan puncak-puncak bakat (ultimum potentiae) dari badan, rasa, kemauan dan akal. Itulah dikonkretisasikan lebih lagi dalam ketrampilan, kecekatan, keadilan, kedermawanan elokuensi dan fungsi-fungsi lain yang diperkembangkan dalam tabiat manusia oleh pengalaman dan pendidikan.[1]
Nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus menyatakan diri dalam tata lahir sebagai materialisasi dan institusionalisasi. Disana terbentanglah dunia kebudayaan objektif yang amat luas dan serbaguna yang dihasilkan oleh usaha raksasa ratusan angkatan sepanjang sejarah. Sedikit demi sedikit dibina dengan “trial and error”, dengan maju mundur, dengan pinjam meminjam antar kebudayaan[2].
Nilai-nilai objektif itu, yang disebut hasil kebudayaan, alat (instruments), aspek-aspek, universals dan unsur-unsur kebudayaan itu dapat disistematisasikan menurut beberapa prinsip pembagian[3], diantaranya adalah  ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian, dan agama.
Ilmu pengetahuan bertujuan untuk mengonseptualisasikan fenomen-fenomen alam dalam sebab-sebabnya, dalam urutan sebab akibat dan mencari asas-asas umum. Seluruh proses Ilmu pengetahuan dari 3000 tahun terakhir berkembang ke arah kepastian. Sebab-sebab simbolis atau mitologis makin lama makin diganti oleh sebab-sebab yang pasti yang dapat diverifikasi. Gerakan kebatinan Timutr dan kontestasi para hippies berprotes  melawan intelektualisme yang mengasingkan manusia dari tabiat asli. Jelaslah, bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat mempertahankan kedudukan sewajarnya di dalam kebudayaan, jika terus-menerus dipikirkan kembali dan diusahakan integrasinya dalam tuntutan-tuntutan hidup.[4]
Teknologi terhitung antara sikap dan hasil budaya yang penting. Berdasarkan pengetahuan alam, teknik bertujuan untuk memfaedahkan sumber-sumber alam agar terjaminlah makanan, perumahan, komunikasi, dan lain-lain hal yang perlu untuk derajat hidup yang layak. Pemikiran tentang alam semata-mata, dan kemungkinan menguasai tenaga alam tidak dengan sendirinya menghasilkan teknik. Dalam kebudayaan primitive batas-batas antara kekuasaan manusia dan tenaga alam belum disadari dan manusia mencoba menguasai alam dengan magi, dengan mantera, dan ritual.[5]
Kesosialan sebagai sifat, unsur, asas, dan alat demikian erat berhubungan dengan kebudayaan, sehingga hanya dapat dibedakan secara konseptual saja. Ini berlaku baik dalam pandangan statis maupun dinamis.  Secara statis kesosialan meliputi fungsi dalam institusi-institusi asasi sebagai keluarga monogam, masyarakat adil dan makmur, desa dan kota, bangsa dan Negara.
Ekonomi, dalam rangka kebudayaan meliputi pola kelakuan dan lembaga-lembaga yang melaksanakannya dalam bidang produksi dan konsumsi keperluan-keperluan hidup serta pelayanannya.
Lapangan ekonomi lazimnya dibagi dalam tiga sector yaitu sector primer, sector sekunder, dan sector tersier.
Kesenian, keindahan, estetika, mewujudkan nilai rasa dalam arti luas dan wajib diwakili dalam kebudayaan lengkap. Kedwisatuan manusia yang terdiri atas budi dan badan tak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja.
Agama didaftarkan oleh sosiologi dan antropologi deskriptif diantara unsur –unsur kebudayaan dan dipelajarinya sebuah kategori insani semata-mata. Pendapat itu tidak dibenarkan oleh filsafat kebudayaan. Agama sebagai keyakinan hidup rohani pemeluknya, baik perseorangan maupun sebagai jemaat, adalah jawab manusia kepada pangilan ilahi di dalam alam dan rahmat. Keyakinan itu memuat iman , sikap, sembah, rasa hormat, rasa tobat dan syukur yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia[6].
Setelah saya membaca semua bacaan yang ada pada lembar poto copi ini, jujur saya masih belum benar-benar memahami inti dari bacaan yang saya baca, meskipun saya sudah mencoba membacanya berulang. Mungkin dikarenakan banyak istilah-istilah baru yang saya temui. Mungkin nanti setelah adanya penjelasan dari diskusi bersama antara mahasiswa dengan dosen saya akan lebih paham mengenai isi dari buku ini. Akan tetapi, setidaknya saya sedikit mengerti mengenai teori-teori yang disampaikan pada bab 2 ini.
Dalam buku ini terdapat beberapa teori-teori mengenai kebudayaan yang disampaikan oleh beberapa tokoh yang berpengaruh dalam teori ini. Seperti halnya teori F. Bacon yang menyatakan “Knowledge is power” menjadi pedoman untuk menciptakan dunia ilmu pengetahuan yang semakin bercabang-cabang. Bila ilmu yang mengikuti dinamikanya tersendiri terlepas dari kesadaran akan kebutuhan masyarakat atau terlepas dari moral, itu sudah bukan mewakili nilai positif lagi. Arah baik penelitian ilmiah dijamin oleh hubungannya yang tetap dengan nilai-nilai asasi kebudayaan. Tetapi, menurut saya ilmu tidak mungkin mengikuti dinamikanya tersendiri, ilmu memang bersifat dinamis, namun selalu beriringan dengan kesadaran masyarakat yang selalu mengikuti nilai-nilai asasi kebudayaan.
Sosiologi ilmu pengetahuan adalah cabang ilmu baru yang mempertimbangkan nilai relative serta fungsi pelengkap masing-masing ilmu[7]. Itu artinya bahwa setiap individu itu mempunyai pandangan/paradigma/pemikiran yang berbeda satu sama lainnya,  dalam menilai sesuatu yang ia lihat dan yang ia rasa.
Kebudayaan diuji menurut nilai sosial dan solider[8]. Ketika nilai sosial itu tidak diterapkan dengan baik oleh masyarakat maka kebudayaan itu lama kelamaan akan pudar dan mengikis dengan sendirinya. Oleh karena itu, perlulah adanya kesetiaan dalam melestarikan kebudayaan yang sudah terbentuk untuk tercapainya tujuan universal. Kenapa demikian, karena disini kita selaku tokoh yang dimana berperan penting dalam keberadaan suatu kebudayaan.Yang semestinya mengetahui kelebihan dan kekurangan dari kebudayaan yang sudah membudaya di masyarakat.



[1]SJ, Bakker J.W.M,1984,FilsafatKebudayaan,Yogyakarta;PT Kanisius hal 37-38
[2] Ibid hal 38
[3] Ibid hal 38
[4] Ibid 38-40
[5] Ibid Hal 40
[6] Ibid hal 47
[7] Ibid hal 39
[8] Ibid hal 51