BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Otonomi
daerah di Indonesia lahir ditengah gejolak sosial yang sangat massif pada tahun
1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda
Indonesia di sekitar tahun 1997. Gejolak sosial yang melanda Negara Indonesia
disekitar tahun 19997 kemudian melahirkkan gejolak politik yang puncaknya
ditandai dengan berakhirnya pemerintahan orde baru yang telah berkuasa selama
kurang lebih 32 tahun di Indonesia.
Setelah runtuhnya pemerintahan orde
baru pada tahun 1998, mencuat sejumlah permasalahan terkait dengan sistem
ketatanegaraan dan tuntuntan daerah-daerah yang selama ini telah memberikan
kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Wacana otonomi
daerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk menjawab
permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap telah usang dan
perlu diganti. Inilah yang menjadi latar belakang otonomi daeraqh di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas , diantaranya :
1. Bagaimana sejarah otonomi daerah
di Indonesia?
2. Apa sajakah prinsip-prinsip
otonomi daerah di Indonesia?
3.Bagaimana pembagian kekuasaan
dalam pusat dan daerah?
4. Apa itu otonomi daerah dan
demokratisasi?
C.
Tujuan Masalah
Adapun
tujuan dari permasalahan ini, diantaranya :
1. Untuk mengetahui sejarah otonomi
daerah di Indonesia dengan lebih jelas lagi.
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip
otonomi daerah di Indonesia.
3. Untuk mengetahui pembagian
kekuasaan dalam pusat dan daerah.
4. untuk mengetahui apa itu otonomi
daerah dan demokratisasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Peraturan perundang-undangan pertama
kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan
adalah UU Noomor 1 tahun 1945. Ditetapkannnya undang-undang ini erupakan hasil
(resultante) dari berbagai
pertimbangan tentang sejarah pemerintahan dimasa kerajaan-kerajaan serta pada
masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek
cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan badan perwakilan
tiap daerah. Dalam undang-undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu
karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat
terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belum da peraturan pemerintahan
yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah.
Undang-undang ini berumur lebih kurang tiga gtahun karena diganti dengan Undang-undang
Nomor 22 tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus
pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam
undang-undang ini ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa
dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah yaitu provinsi,
kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-undang
Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah
telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah
berdasarkan Undang-undang tentang pembentukan, telah dirinci lebih lanjut
pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan sebagaian
urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di
Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang
menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada suatu sisi menandai
dinamika orientasi pembangunan daerah di Indoneia dari masa kemasa. Tapi disisi
lain hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik”
penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah di Indonesia
pasca UU Nomor 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang
pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 (sebagai pngaturan tunggal
pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU Nomor 18 tahun 1965 ( yang menganut sistem
otonomi yang seluas-luasnya) dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur
pokok-pokok penyelenggara pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di
daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi
“otonomi yang riil dan luas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat
menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian
otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN
yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur
paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-undang nomor 22
tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntunan reformasi
dikomandangkan.
Kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu,
dimana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk
melakukan reformasi disemua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang Istimewa MPR tahun 1998 yang lalu
menetapkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR?1998 tentang penyelenggaraan otonomi
daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Satu hal yang paling menonjol dari
pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan substansi
desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang
tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada undang-undang tersebut. Beberapa
butir yang terkandung di dalam kedua undang-undang tersebut (UU No. 22 tahun
1999 dan No. 25 tahun 1999) secara teoritis akan menghasilkan suatu kesimpulan bahwa
desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada
corak dekonsentrasi. Sedangkan desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 22
tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika
dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah
sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepangjangan tangan dari pemerintah.
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kenyataan menunjukkan
peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih
dominan dibanding sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena kepala
daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan
bukan kepada DPRD sebagai representasi dari rakyatdi daerah yang memilihnya.
Momentum otonomi daerah di Indonesia
semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18
UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan
bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan
politik.
B.
PRINSIP-PRINSIP OTONOMI DAERAH DALAM UU NO. 22 TAHUN 1999
Prinsip-prinsip
pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah :
1. Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta
potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan
pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas
utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota, sedangkan pada daerah provinsi
merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai
dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah serta antar daerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih
meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten
dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih
meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi,
fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi
diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi
untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan
dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah Kepada Daerah, tetapi juga dari
pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
C. PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DALAM
UU NO. 22 TAHUN 1999
Pembagian kekuasaan antara Pusat dan
Daerah Indonesia dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan
semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani Pusat hampir sama yang
ditangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar
negeri,pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai
jenis urusan yang memang lebih efesien ditangani secara sentral oleh pemerintah
pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi
pemerintah, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumber daya manusia.
Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat disebutkan secara
spesifik dalam UU terebut.
Selain itu, otonomi daerah yang
diserahkan itu bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab. Disebut luas karena
kewenangan sisa justru berada pada pemerintah pusat (seperti pada negara
federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut
yang diperlukan. Tumbuh dan hidup, dan berkembang didaerah; dan disebut
bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan
demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan
daerah dan antar daerah. Di samping itu otonomi seluas-luasnya (keleluasan
otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengadilan, dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada
daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula diertai penyerahan dan
pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.
Karena di samping daerah otonom
propinsi juga meruoakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani
Propinsi/Gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentralisasi dan
dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Propinsi dalam
rangka desengtralisasi mencakup:
a. Kewenangan yang bersifat lintas
Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum,
perhubungan, kehutanan, dan perkebunan;
b. Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu
perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan
bidang alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah
Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup,
promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan
perencanaan tata ruang propinsi;
c. Kewenangan kelautan yang meliputi
eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan
kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum,dan bantuan
penegakan keamanan dan kedaulatan negara; dan
d. Kewenangan yang tidak atau belum dapat
ditangani daerah kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada propinsi
dengan pernyataan dari Daerah Otonom Kabupaten atau Kota tersebut.
Dalam
rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukan
kewenangan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan
pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah
otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan
kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah seperti berikut: Pengawasan ini
tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu Bupati dan Gubernur bertindak
sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi
secara preventif perundang-undangan , yaitu setiap Perda memerlukan persetujuan
Pusat untuk dapt berlaku.
Menurut
UU baru ini, Bupati dan Walikota spenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang
diplih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD
pada masa jabatannya tetapi penetapan atau pun pemberhentian kepala daerah
secara administratif (pembuatan Surat Keputusan) masih diberikan kepada
Presiden Gubernur pada pihak lain masih merangkap sebagai wakil Pusat dan
kepala daerah otonom. Pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah otonom
menurut UU baru ini dilakukan berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap
setiap Perda yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah langsung dapat berlaku
tanpa memerlukan persetujuan pemerintah pusat. Akan tetapi pemerintah pusat
setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu dinilai
bertentangan dengan Konstitusi, UU dan kepentingan umum. Sebaliknya, bila
daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai justru tindakan pemerintah pusat
menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan dengan konstitusi, UU atau
kepentngan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada
Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pemerintah pusat dan
daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.
Terdapat
11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada Daerah Otonon Kabupaten dan
Daerah Otonom Kota, yaitu:
1. Pertanahan,
2. Pertanian,
3. Pendidikan dan Kebudayaan,
4. Tenaga kerja
5. Kesehatan,
6. Lingkungan hidup,
7. Pekerjan umum,
8. Perhubungan,
9. Perdagangan dan industri,
10. Penanaman modal, dan
11. Koperasi.
Selain
itu, kabupaten atau kota yang mempunyai batas laut juga diberi kewenangan
kedaulatan seluas 1/3 dan luas kewenangan propinsi yang 12 mil. Jenis
kewenangan lain yang dapat diselenggarakan oleh daerah otonom kabupaten dan
daerah otonom kota ialah kerwenangan pilihan, yaitu jenis kewenangan yng tidak
termasuk yang ditangani Pusat dan Propinsi. Penjabaran kesebelas kewenangan
itu, dalam arti lingkup kegiatan dan tingkat kewenangan yang akan diserahkan
kepada daerah otonom Kabupaten dan Kota, masih harus menunggu penyesuaian
seumlah UU yang sejalan denga paradigma dan jiwa UU No. 22 Tahun 1999.
Namun
bila diperhatikan secara seksama, maka kesebelas jenis kewenangan itu termsuk
kategori pelayanan publik baik berupa infrastruktur, seperti pekerjaan umum dan
perhubungan maupun kebutuhan dasar seperti pertanahan, kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan, dan lingkungan hidup; baik yang menyangkut penyiapan tenaga
kerja, seperti pendidikan, tenaga kerja dan kesehatan maupun penciptaan
kesempatan kerja, seperti pertanian, koperasi, perdagangan dan industri, dan
penanama modal. Apakah bentuk dan arah kebijakan dalam 11 jenis kewenangan itu
menunjang pelayanan publik infrastruktur dan kebutuhan dasar, atau mengarah
pada penyiapan pekerja dan kesempatan kerja ataukah tidak sangatlah tergantung
kepada dua faktor berikut: bentuk dan arah penyesuaian sejumlah UU yang selama
ini mengatur 11 jenis kewenangan itu dengan paradigma dan jiwa UU No. 22 Tahun
1999; dan bentuk dan arah kebijakan (Perda) yang akan dibuat oleh DPRD dan
Pemda Kabupaten/Pemda Kota. DPRD dan Pemda Kabupaten dan Pemda Kota yang akan
mengatur lebih rinci 11 kewenangan itu, mengenakan beban yang harus ditanggung
oleh warga masyarakat dalam 11 jenis kewenangan itu, dan mengalokasikan manfaat
yang bakal diterima oleh berbagai kalangan masyarakat mengenai 1 jenis
kewenangan itu.
Penyerahan
kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom
kota dilandasi oleh sejumlah pemikiran berikut:
Pertama,
makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat
yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau
pelayanan publiktersebut. Hal ini disebabkan karena DPRD dan Pemda sebagai
produsen dan distributor pelayanan publik dinilai lebih memahami aspirasi warga
daerah, lebih mengetahui kemampuan warga daerah, lebih mengetahui potensi dan
kendala daerah, dan lebih mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik
yang berlingkup lokal daripada Propini dan Pusat.
Kedua,
penyerahan 11 jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah
otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal
dan sumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa,
berkreativitas dan melkukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas,
memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi, dan akuntabilitas mengnai 11 jenis
kewenangan itu berada pada para aktor politik lokal dan sumber daya manusia
lokal yang berkualitas. Hal ini berarti budaya lokal berupa pengetahuan lokal (local knowledge), keahlian lokal (local genius), kearifan lokal (local wisdom), potensi lokal dan manusia
lokal akan dapat didayagunakan secara maksimal.
Ketiga,
karena distribusi sumber daya manusia
yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar
lainnya, maka penyerahan 11 jenis kewenangan ini juga dimaksudkan agar sumber
daya manusia yang berkualitas di kota-kota besar diredistribusikan dari Jakarta
ke daerah otonom Kabupaten dan Kota.
Keempat,
pengangguran dan kesmikinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja
hanya dipikulkan kepada pemerintah pusat semata. Akan tetapi dengan adanya
pelimpahan kewenangan terseebut, diharapkan terjadi diseminasi kepedulian dan
tanggung jawab untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan masalah tersebut
sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan awal otonomi daerah.
D.
OTONOMI DAERAH DAN DEMOKRATISASI
Eksistensi kebijakan otonomi daerah
kiranya sangat penting dipahami sebagai bagian dari agenda demokratisasi
kehidupan bangsa. Dengan kata lain, keberadaan kebijakan otonomi daerah tidak
boleh dipandang sebagai a final
destination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan
demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya dapat dimengerti
apabila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah
sebagai upaya untuk mewujudkan political
equality, local accountability, dan local sponsiveness. Diantara prsyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai
tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan
yang jelas (local own income);
memiliki badan perwakilan (local
resentative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah; dan adanya kepala
daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader rxecutive by election).
Dengan rumusan dan tujuan otonomi
daerah semacam ini, keberadaan kebijakan otonomi daerah akan mampu menciptakan
sistem pemerintahan yang demokratis. Argumen dasarnya adalah, dengan konsep
tersebut diaumsikan masyarakat akan memiliki akses yang lebih besar dalam
mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sementara, pada sisi lain,
pemerintah daerah sendiri, akan lebih responsif terhadap berbagai tuntutan yang
datang dari komunitasnya. Dengan demikian, agenda demokratisasi merupakan
sesuatu yang tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaan otonomi derah apabila
keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat daerah menjadi
target pencapaian.
Keterkaitan otonomi daerah dengan
demokratisasi pernah diungkapkan oleh Mohammad Hatta, proklamator RI, dalam
suatu kesepakatan,
...Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti
melaksanakan demokratis, tetapi mendorong berkembangnya Auto-aktiviteit artinya
bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi
lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto activitet tercapailah apa yang
dimaksud dengan demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat,
untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan
terutama memperbaiki nasibnya sendiri.
Pentingnya
agenda emoratisasi dalam rangka otonomi daerah antara lain bertolak dari asumsi
bahwa cita-cita demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh unsur
bangsa tidak semata-mata ditentukan bentuk negara (negara kesatuan dan negara
federal), melainkan melalui sistem politik yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan
secara sehat dan fair, adanya
akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia
(HAM), serta struktur ekonomi yang adil dan berorientasi kerakyatan. Kesemua
itu jauh lebih penting dari “sekadar” bentuk negara.
Krisis multidimensi dan ancaman
disintegrasi nasional dewasa ini tidak semata-mata bersumber pada “kesalahan”
bentuk negara, tetepi lebih pada format politik sentralistik-otoriter dan
struktur ekonomi kapitalistik-eksploitatif yang diwariskan rezim Orde Baru.
Karena itu, pemberian otonomi bagi daerah tidak bisa dipandang sebagai agenda
yang terpisah dari agenda besar demokratisasi kehidupan bangsa. Kesalahan
aplikasi kebijakan pemerintahan daerah melalui UU No. 5 tahun 1974 di masa Orde
Baru antara lain karena tujuan utama dari kebijakan tersebut lebih
dititikberatkan pada upaya menciptakan efesiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di derah, ketimbang sebagai agenda
yang menyatu dengan proses demokratisasi.
Konsekuensi logis dari cara pandang
di atas adalah, pertama otonomi
daerah harus dipandang sebagai instrumen desentralisasi-demokratisasi dalam
rangka mempertahankan keutuhan serta keberagaman bangsa. Dalam kaitan ini,
otonomi daerah bukan tujuan, melainkan cara demokratis untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan bagi semua unsur bangsa tanpa kecuali. Kedua, otonomi daerah harus
didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah, bukan otonomi pemerintahan
daerah (pemda), juga bukan otonomi bagi “daerah” dalam pengertian suatu wilayah
atau teritorial tertentu di tingkat lokal. Kalaupun pada akhirnya implementasi
otonomi daerah dilakukan oleh pemda, kewenangan itu
diperoleh karena pemda dipilih melalui pemilu yang adil, jujur, dan demokratis.
Argumen yang mendasari pemikiran ini adalah substansi demokrasi atau
demokratisasi itu sendiri ialah terwujudnya cita-cita kedaulatan rakyat. Di
mana rakyat dapat menentukan kehendaknya melalui ruang partisipasi seluas
mungkin dalam proses penyelenggaraan negara. Ketiga, otonomi daerah merupakan hak rakyat daerah yang sudah
seharusnya inheren didalam agenda demokrasi atau demokratisasi. Dengan begitu,
otonomi daerah tidak bisa didistorsikan sekadar sebagai persoalan “penyerahan
urusan’ atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Penyerahan urusan atau pelimpahan kewenangan hanyalah instrumen
administratif bagi implementasi hak daerah dalam mengurus rumah tangga
daerahnya masing-masing. Keempat,
daerah tidak bisaq lagi dilihat sebagai subordinasi dari pusat. Hubungan
pusat-daerah harus dipandang bersifat komplementer bagi keduanya, dalam
pengertian saling membutuhkan secara timbal balik. Ini berarti bahwa kebijakan
otonomi bagi setiap daerah harus dipandang sebagai perjanjian atau “kontrak”
antara pusat-daerah yang cakupannya didasarkan pada hasil dialog dan musyawarah
antara pemerintah pusat dan wakil-wakil rakyat daerah.
Sebagai bagian dari agenda
demokratisasi, otonomi daerah mensyaratkan pula adanya perubahan struktur
perwakilan politik, berlakunya akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi
hukum, dan rasionalitas birokrasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena
itu, otonomi daerah sebagai paradigma baru mengharukan perubahan struktur
lembaga kenegaraan, sistem pemilu, restrukturisasi lembaga keadilan, dan
perbahan birokrasi patrimonial yang mengabdi pada kekuasaan menjadi birokrasi
rasional yang melayani kepentingan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar