A.
Merokok
dalam Kajian Ushul Fiqh
Budaya merokok termasuk gejala yang relatif baru di
dunia Islam. Tak lama setelah Chirstopher Columbus dan penjelajah-penjelajah
Spanyol lainnya mendapati kebiasaan bangsa Aztec (kebiasaan merokok) pada tahun
1500, rokok kemudian tersebar dengan cepatnya ke semenanjung Siberia dan daerah
Mediterania. Dunia Islam, pada saat itu berada di bawah kekhilafahan Ustmaniyah
yang berpusat di Turki. Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang
mulai terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh
penguasa Islam saat itu untuk menetapkan hukum tentang merokok.
Karena tidak adanya nash, maka membuahkan sebuah
tafshil dimana hukum pendapat pertama dari tiga pendapat yang akan dijelaskan
ialah mubah dengan menimbang terlebih dahulu qaidah dalam ushul
fiqh yang menyebutkan :
Asal dari sesuatu ialah mubah kecuali terdapat
indicator yang menyebabkan sesuatu tersebut tidak mubah. Dan pada reedaksi lain
dengan menggunakan lafadh فى الحكم
Menurut pendapat ini rokok ialah boleh karena tidak
ada dalil yang mengharamkan. Allah menghalalkan benda-benda baik yang
mengandung unsur menyenangkan manusia dan mendatangkan manfaat. Rokok merupakan
makanan baik dan tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sementara itu bahaya
rokok tidak selalu menjangkiti pengkonsumsi lantas menyebabkan haram bagi
seluruh manusia. “Dia-lah yang menciptakan bagi kalian apa yang ada di dalam
bumi semuanya.” (Al-Baqarah : 29)
Rokok dapat membantu mengurangi risiko parkinson.
Parkinson adalah hilangnya sel-sel otak yang memunculkan zat kimia dopamin,
sehingga berdampak gemetar, dingin, gerak lambat dan ber-masalah dengan
keseimbangan tubuh. Tentu, bukan berarti semua orang harus merokok untuk
menghindari Parkinson, sebab banyak cara menghambat zat kimia yang meracuni
otak.
Salah seorang dokter spesialis paru-paru seperti Dr.
Prajna Paramita Sp. P mengemukakan manfaat rokok yang bisa berguna untuk
peningkatan konsentrasi, kemampuan belajar, mengurangi stress & lelah,
meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah ketika menghisap.
Pendapat kedua, adalah tidak mengharamkan dan
menghalalkan secara mutlak. Hal ini bisa saja kalau rokok itu dilarang dalam
satu kondisi dan diperbolehkan dalam kondisi yang lain. Bisa jadi tingkatan pelarangan
menjadi tegas sehingga sampai pada keharaman dan bisa saja melemah sehingga
berada dalam hukum mubah. Pendukung pendapat ini beralasan kalau rokok bisa
menjadi tuntutan dan bukan sekedar mubah saja, seperti saat pengobatan darurat
yang harus dengan menggunakan rokok dan tidak ada obat selain rokok.
Apabila pada pendapat yang pertama dinilai tidak
menunjukkan kepastian hukum halal atau haram karena bergantung pada illa ma dalla ad-dalilu ‘ala khilafihi,
maka pada pendapat kedua ini sengaja membiarkan hukum rokok terjadi sesuai
pengaruh yang ditimbulkan oleh rokok. Karena mereka khawatir untuk
mengharamkan sesuatu yang mungkin dihalalkan oleh Allah.
Bagi yang menilai hukum rokok sampai pada batas
keharaman karena beberapa argument yang ia yakini kevalidannya secara
paripurna, tidak hanya dampak positif dan negatifnya tapi semua
yang berkaitan dengan rokok, maka ia harus konsisten tindakannya itu. Di sisi
lain, bagi penolak haramnya rokok, dampak buruk rokok juga diakui, tetapi tidak
bisa dipukul rata. Sifatnya kasuistis dan relatif. Kadar bahayanya masih dalam
dosis yang belum bisa dikualifikasi ''haram mutlak''.
Terlepas dari rokok itu haram atau halal, manfaat
rokok bagi mereka tidak bisa disepelekan. Terutama manfaat sosial-ekonomi,
seperti penyerapan tenaga kerja, kelangsungan hidup petani tembakau, pasokan
pendapatan negara, dan kiprah sosial industri rokok. Aspek kesehatan dan
ekonomi rokok itu kemudian dikaji dengan seperangkat konsep teoretik tentang
mekanisme penggalian status hukum Islam (istinbath).
Ada pendapat yang menggunakan argumen general.
Menimbang bahaya rokok lebih besar dari manfaatnya, maka rokok otomatis haram
mutlak. Premis ini dianalogikan pada ayat Al-Quran yang berbicara tentang
minuman keras (khamr). Diakui, minuman keras memiliki manfaat, tapi bahayanya
lebih besar (Al-Baqarah: 219)
Tapi argumen tersebut dibantah pendapat lain. Alasan
hukum ('illat) haramnya minuman keras bukan karena
besarnya madharat, melainkan karena sifatnya yang memabukkan
(muskir). Bila muskir, ulama sepakat hukumnya haram. Tapi, bila
hanya mudhir, tidak bisa langsung disimpulkan haram. Tergantung kadar
bahayanya. Dianalogikan dengan kandungan formalin dan zat kimia lainnya dalam
makanan. Bila dalam dosis wajar dan tidak terlalu berbahaya, statusnya halal.
Tapi, bila melampaui standar sehingga sampai mematikan, baru haram.
Pendapat ketiga, haram. Sebelumnya kembali kami
nyatakan, bahwa tidak ada nash qathí pada bab rokok ini, sehingga dalam
pemutusan pendapat ketiga ini pun menggunakan petunjuk makna ayat yang umum
(dilalah áammah) yang mengandung makna pasti.
B.
Ulama
Yang Mengharamkan Rokok
Segolongan ulama telah menyatakan bahwa hukum merokok
adalah haram. Diantara ulama yang mengharamkan rokok tersebut adalah Syaikh
Asy-Syihab Al-Qalyubi. Dia menjelaskan hukum merokok ini pada Bab Najis dalam hasyiyahnya atas kitab karangan al-jalal
al-mahali yang mengomentari kitab al-minhajnya Imam Nawawi. Setelah al-Qalyubi
menerangkan bahwa setiap benda cair yang memabukkan seperti arak dan sejenisnya
adalah najis, dia berkata :
“Berbeda
dengan benda cair yang memabukkan tersebut, benda-benda (non cair) seperti
candu dan benda lain yang dapat membahayakan pikiran tidak dihukumi najis.
Artinya, barang-barang seperti itu hukumnya, meskipun haram menggunakannya
mengingat barang tersebut dapat membahayakan. Beberapa guru kami berkata bahwa
rokok termasuk barang yang diserupakan dengan candu. Jadi, tembakaunya tetap
suci, namun haram digunakan. Sebab, salah satu efek rokok adalah membuka
saluran tubuh sehingga mempermudah masuknya penyakit berbahaya ke dalam tubuh.
Oleh sebab itulah, merokok kerap kali menimbulkan lesu dan sesak nafas, ataupun
gejala lain yang sejenis. Bahkan, sumber yang dapat dipercaya menyatakan bahwa
sesungguhnya meroko dapat menimbulkan perasaan kepala berputar-putar alias
punyeng.”[1]
Selain Al-Qalyubi masih banyak ulama lain yang
mengharamkan rokok dengan berbagai penjelasannya, seperti Al-Laqquni,
Al’Allamah al-faqih ath-Tharabisyi, Al-Muhaqqiq al-Bujairim, Syaikh Hasan
As-Syaranbila, Sayyid al-Husain Ibn Abi Bakr, Ibnu ‘Alan, Syaikh Abdullah Ibn
Ahmad Basudan, dan Syekh Abdullah Ibn Alwi Al-Haddad.
Guru penulis, Syaikh Abdullah Ibn Alwi al-Haddad,
menukil suatu keterangan bahwa sejarawan masa zhuhur sekitar 1012 tahun setelah Nabi telah menyusun kata-kata
indah dalam bentu syair yang berisi
peringatan tentang rokok. Oleh karena itu, diperkirakan pada tahun 1012 itulah
tembakau mulai muncul dan menjadi fenomena.
Pendapat-pendapat ulama yang mengharamkan rokok
dikarenakaan mereka melihatnya dari empat perspektif, diantaranya[2] :
1.
Rokok dapat membahayakan kesehatan
berdasarkan pendapat para dokter yang ahli. Rokok menyebabkan kanker,
impotensi, kanker tenggorokan, gigi jelek, kanker paru-paru, keguguran, mata
rusak, kulit keriput, suara serak, kanker ginjal, leukemia, tulang rapuh
serta di dalam rokok terdapat nikotin yang memilki efek candu yang lebih besar
dibanding narkotika kecuali heroin dan semuanya bisa menyebabkan kematian, maka
merokok menyebabkan kematian. Hukum tentang perbuatan semacam ini secara terang
dijelaskan dalam syariat Islam, antara lain ayat Al-Quran yang terjemahannya
adalah:"...dan janganlah kamu membunuh diri kalian
sendiri..." (QS An-Nisa/4:29)
2.
Dalam pandangan mereka,rokok termasuk
barang yang memabukkan/melemahkan badan, yang secara syar’i tidak boleh
dikonsumsi. Tubuh kita pada dasarnya adalah amanah dari Allah yang harus
dijaga. Mengkonsumsi barang-barang yang bersifat mengganggu fungsi raga dan
akal hukumnya haram, misalnya alkohol, ganja dan sebangsanya. Perhatikan firman
Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi,
berkorban untuk berhala dan mengundi nasib adalah kekejian, termasuk perbuatan
setan.Jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu sukses" (QS
Al-Midah/5:90). Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadist yang
dikumpulkan oleh Muslim dan Abu Dawud, dimana Nabi Saw berkata,"Setiap
yang mengganggu fungsi akal adalah khamr dan setiap khamr adalah haram".
3.
Bau rokok sangat tidak disenangi sehingga
dapat menyakitkan hati orang-orang yang tidak menghisap rokok, khususnya pada
saat-saat semisal lagi sholat berjamaah. Merokok hampir selalu menyebabkan
gangguan pada orang lain. Asap rokok yang langsung diisapnya berakibat negatif
tidak saja pada dirinya sendiri, tapi juga orang lain di sekitarnya. Asap rokok
yang berasal dari ujung puntung maupun yang dikeluarkan kembali dari mulut dan
hidung si perokok, menjadi "jatah" orang-orang disekelilingnya. Ini
yang disebut passive smoking atau side stream smoking yang berakibat sama saja
dengan mainstream smoking. Berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya
(mudharat) bagi diri sendiri apalagi orang lain, adalah hal yang terlarang
menurut syariat. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Laa dharar wa laa
dhiraar".
4.
Merokok dipandang sebagai suatu pemborosan
dan cerminan sifat berlebih-lebihan. Harta
yang kita miliki tidaklah pantas untuk dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak
bermanfaat, misalnya dengan membakarnya menjadi abu dan asap rokok. Perhatikan
ayat-ayat Alquran sebagai berikut: "...dan janganlah
menghambur-hamburkan hartamu secara boros. " (QS 17: 26). Dan “Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang boros” (QS Al A’raf : 31).
C.
Kesimpulan
Jadi, kesimpulannya adalah selama
rokok tidak dicampur/dibumbui dengan Khamr
(sejenis minuman keras) dan selama rokok tidak mendatangkan akibat-akibat yang
telah disesbutkan dalam pembahasan tersebut, hukumnya adalah makruh. Dalam
kitab Tuhfahnya, Ibn Hajar menyatakan
bahwa polemik hebat disekitar haram tidaknya rokok secara otomatis mengantarkan
rokok pada hukum makruh. Adapun keharaman rokok yang bersifat spesifik dipandang
sebagai hukum yang kurang mengikat atau tidak pasti (ghairu al-jazim).
Daftar
Pustaka
Jampes,
Syaikh Ihsan.2009.Kitab Kopi dan Rokok.Yogyakarta.Pustaka
Pesantren
Tidak ada komentar:
Posting Komentar