Start

Rabu, 04 Maret 2015

Merokok dalam Kajian Ushul Fiqh



A.    Merokok dalam Kajian Ushul Fiqh
Budaya merokok termasuk gejala yang relatif baru di dunia Islam. Tak lama setelah Chirstopher Columbus dan penjelajah-penjelajah Spanyol lainnya mendapati kebiasaan bangsa Aztec (kebiasaan merokok) pada tahun 1500, rokok kemudian tersebar dengan cepatnya ke semenanjung Siberia dan daerah Mediterania. Dunia Islam, pada saat itu berada di bawah kekhilafahan Ustmaniyah yang berpusat di Turki. Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang mulai terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh penguasa Islam saat itu untuk menetapkan hukum tentang merokok.
 Karena tidak adanya nash, maka membuahkan sebuah tafshil dimana hukum pendapat pertama dari tiga pendapat yang akan dijelaskan ialah mubah  dengan menimbang terlebih dahulu qaidah dalam  ushul fiqh yang menyebutkan :

Asal dari sesuatu ialah mubah kecuali terdapat indicator yang menyebabkan sesuatu tersebut tidak mubah. Dan pada reedaksi lain dengan menggunakan lafadh فى الحكم
Menurut pendapat ini rokok ialah boleh karena tidak ada dalil yang mengharamkan. Allah menghalalkan benda-benda baik yang mengandung unsur menyenangkan manusia dan mendatangkan manfaat. Rokok merupakan makanan baik dan tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sementara itu bahaya rokok tidak selalu menjangkiti pengkonsumsi lantas menyebabkan haram bagi seluruh manusia. “Dia-lah yang menciptakan bagi kalian apa yang ada di dalam bumi semuanya.” (Al-Baqarah : 29)
Rokok dapat membantu mengurangi risiko parkinson. Parkinson adalah hilangnya sel-sel otak yang memunculkan zat kimia dopamin, sehingga berdampak gemetar, dingin, gerak lambat dan ber-masalah dengan keseimbangan tubuh.  Tentu, bukan berarti semua orang harus merokok untuk menghindari Parkinson, sebab banyak cara menghambat zat kimia yang meracuni otak. 
Salah seorang dokter spesialis paru-paru seperti Dr. Prajna Paramita Sp. P mengemukakan manfaat rokok yang bisa berguna untuk peningkatan konsentrasi, kemampuan belajar, mengurangi stress & lelah, meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah ketika menghisap.
Pendapat kedua, adalah tidak mengharamkan dan menghalalkan secara mutlak. Hal ini bisa saja kalau rokok itu dilarang dalam satu kondisi dan diperbolehkan dalam kondisi yang lain. Bisa jadi tingkatan pelarangan menjadi tegas sehingga sampai pada keharaman dan bisa saja melemah sehingga berada dalam hukum mubah. Pendukung pendapat ini beralasan kalau rokok bisa menjadi tuntutan dan bukan sekedar mubah saja, seperti saat pengobatan darurat yang harus dengan menggunakan rokok dan tidak ada obat selain rokok.
Apabila pada pendapat yang pertama dinilai tidak menunjukkan kepastian hukum halal atau haram karena bergantung pada illa ma dalla ad-dalilu ‘ala khilafihi, maka pada pendapat kedua ini sengaja membiarkan hukum rokok terjadi sesuai pengaruh yang ditimbulkan oleh rokok. Karena mereka khawatir  untuk mengharamkan sesuatu yang mungkin dihalalkan oleh Allah.
Bagi yang menilai hukum rokok sampai pada batas keharaman karena beberapa argument yang ia yakini kevalidannya secara paripurna, tidak hanya  dampak positif dan negatifnya tapi  semua yang berkaitan dengan rokok, maka ia harus konsisten tindakannya itu. Di sisi lain, bagi penolak haramnya rokok, dampak buruk rokok juga diakui, tetapi tidak bisa dipukul rata. Sifatnya kasuistis dan relatif. Kadar bahayanya masih dalam dosis yang belum bisa dikualifikasi ''haram mutlak''.
Terlepas dari rokok itu haram atau halal, manfaat rokok bagi mereka tidak bisa disepelekan. Terutama manfaat sosial-ekonomi, seperti penyerapan tenaga kerja, kelangsungan hidup petani tembakau, pasokan pendapatan negara, dan kiprah sosial industri rokok. Aspek kesehatan dan ekonomi rokok itu kemudian dikaji dengan seperangkat konsep teoretik tentang mekanisme penggalian status hukum Islam (istinbath).
Ada pendapat yang menggunakan argumen general. Menimbang bahaya rokok lebih besar dari manfaatnya, maka rokok otomatis haram mutlak. Premis ini dianalogikan pada ayat Al-Quran yang berbicara tentang minuman keras (khamr). Diakui, minuman keras memiliki manfaat, tapi bahayanya lebih besar (Al-Baqarah: 219)
Tapi argumen tersebut dibantah pendapat lain. Alasan hukum ('illat) haramnya minuman keras bukan karena besarnya madharat, melainkan karena sifatnya yang memabukkan (muskir). Bila muskir, ulama sepakat hukumnya haram. Tapi, bila hanya mudhir, tidak bisa langsung disimpulkan haram. Tergantung kadar bahayanya. Dianalogikan dengan kandungan formalin dan zat kimia lainnya dalam makanan. Bila dalam dosis wajar dan tidak terlalu berbahaya, statusnya halal. Tapi, bila melampaui standar sehingga sampai mematikan, baru haram.
Pendapat ketiga, haram.  Sebelumnya kembali kami nyatakan, bahwa tidak ada nash qathí pada bab rokok ini, sehingga dalam pemutusan pendapat ketiga ini pun menggunakan petunjuk makna ayat yang umum (dilalah áammah) yang mengandung makna pasti. 
B.     Ulama Yang Mengharamkan Rokok
Segolongan ulama telah menyatakan bahwa hukum merokok adalah haram. Diantara ulama yang mengharamkan rokok tersebut adalah Syaikh Asy-Syihab Al-Qalyubi. Dia menjelaskan hukum merokok ini pada Bab Najis dalam hasyiyahnya atas kitab karangan al-jalal al-mahali yang mengomentari kitab al-minhajnya Imam Nawawi. Setelah al-Qalyubi menerangkan bahwa setiap benda cair yang memabukkan seperti arak dan sejenisnya adalah najis, dia berkata :
“Berbeda dengan benda cair yang memabukkan tersebut, benda-benda (non cair) seperti candu dan benda lain yang dapat membahayakan pikiran tidak dihukumi najis. Artinya, barang-barang seperti itu hukumnya, meskipun haram menggunakannya mengingat barang tersebut dapat membahayakan. Beberapa guru kami berkata bahwa rokok termasuk barang yang diserupakan dengan candu. Jadi, tembakaunya tetap suci, namun haram digunakan. Sebab, salah satu efek rokok adalah membuka saluran tubuh sehingga mempermudah masuknya penyakit berbahaya ke dalam tubuh. Oleh sebab itulah, merokok kerap kali menimbulkan lesu dan sesak nafas, ataupun gejala lain yang sejenis. Bahkan, sumber yang dapat dipercaya menyatakan bahwa sesungguhnya meroko dapat menimbulkan perasaan kepala berputar-putar alias punyeng.”[1]
Selain Al-Qalyubi masih banyak ulama lain yang mengharamkan rokok dengan berbagai penjelasannya, seperti Al-Laqquni, Al’Allamah al-faqih ath-Tharabisyi, Al-Muhaqqiq al-Bujairim, Syaikh Hasan As-Syaranbila, Sayyid al-Husain Ibn Abi Bakr, Ibnu ‘Alan, Syaikh Abdullah Ibn Ahmad Basudan, dan Syekh Abdullah Ibn Alwi Al-Haddad.
Guru penulis, Syaikh Abdullah Ibn Alwi al-Haddad, menukil suatu keterangan bahwa sejarawan masa zhuhur sekitar 1012 tahun setelah Nabi telah menyusun kata-kata indah  dalam bentu syair yang berisi peringatan tentang rokok. Oleh karena itu, diperkirakan pada tahun 1012 itulah tembakau mulai muncul dan menjadi fenomena.
Pendapat-pendapat ulama yang mengharamkan rokok dikarenakaan mereka melihatnya dari empat perspektif, diantaranya[2] :
1.      Rokok dapat membahayakan kesehatan berdasarkan pendapat para dokter yang ahli. Rokok menyebabkan kanker, impotensi, kanker tenggorokan, gigi jelek, kanker paru-paru, keguguran, mata rusak,  kulit keriput, suara serak, kanker ginjal, leukemia, tulang rapuh serta di dalam rokok terdapat nikotin yang memilki efek candu yang lebih besar dibanding narkotika kecuali heroin dan semuanya bisa menyebabkan kematian, maka merokok menyebabkan kematian. Hukum tentang perbuatan semacam ini secara terang dijelaskan dalam syariat Islam, antara lain ayat Al-Quran yang terjemahannya adalah:"...dan janganlah kamu membunuh diri kalian sendiri..." (QS An-Nisa/4:29)
2.      Dalam pandangan mereka,rokok termasuk barang yang memabukkan/melemahkan badan, yang secara syar’i tidak boleh dikonsumsi. Tubuh kita pada dasarnya adalah amanah dari Allah yang harus dijaga. Mengkonsumsi barang-barang yang bersifat mengganggu fungsi raga dan akal hukumnya haram, misalnya alkohol, ganja dan sebangsanya. Perhatikan firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib adalah kekejian, termasuk perbuatan setan.Jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu sukses" (QS Al-Midah/5:90). Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadist yang dikumpulkan oleh Muslim dan Abu Dawud, dimana Nabi Saw berkata,"Setiap yang mengganggu fungsi akal adalah khamr dan setiap khamr adalah haram".
3.      Bau rokok sangat tidak disenangi sehingga dapat menyakitkan hati orang-orang yang tidak menghisap rokok, khususnya pada saat-saat semisal lagi sholat berjamaah. Merokok hampir selalu menyebabkan gangguan pada orang lain. Asap rokok yang langsung diisapnya berakibat negatif tidak saja pada dirinya sendiri, tapi juga orang lain di sekitarnya. Asap rokok yang berasal dari ujung puntung maupun yang dikeluarkan kembali dari mulut dan hidung si perokok, menjadi "jatah" orang-orang disekelilingnya. Ini yang disebut passive smoking atau side stream smoking yang berakibat sama saja dengan mainstream smoking. Berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya (mudharat) bagi diri sendiri apalagi orang lain, adalah hal yang terlarang menurut syariat. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Laa dharar wa laa dhiraar".
4.      Merokok dipandang sebagai suatu pemborosan dan cerminan sifat berlebih-lebihan.  Harta yang kita miliki tidaklah pantas untuk dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, misalnya dengan membakarnya menjadi abu dan asap rokok. Perhatikan ayat-ayat Alquran sebagai berikut: "...dan janganlah menghambur-hamburkan hartamu secara boros. " (QS 17: 26).  Dan  “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang boros” (QS Al A’raf : 31).

C.    Kesimpulan
Jadi, kesimpulannya adalah selama rokok tidak dicampur/dibumbui dengan Khamr (sejenis minuman keras) dan selama rokok tidak mendatangkan akibat-akibat yang telah disesbutkan dalam pembahasan tersebut, hukumnya adalah makruh. Dalam kitab Tuhfahnya, Ibn Hajar menyatakan bahwa polemik hebat disekitar haram tidaknya rokok secara otomatis mengantarkan rokok pada hukum makruh. Adapun keharaman rokok yang bersifat spesifik dipandang sebagai hukum yang kurang mengikat atau tidak pasti (ghairu al-jazim).

Daftar Pustaka
Jampes, Syaikh Ihsan.2009.Kitab Kopi dan Rokok.Yogyakarta.Pustaka Pesantren


[1]Syaikh Ihsan Jampes, Kitab Kopi dan Rokok, 2009,Pustaka Pesantren hal. 35-36
[2] Syaikh Ihsan Jampes, Kitab Kopi dan Rokok, 2009,Pustaka Pesantren hal. 48

Tidak ada komentar: