Start

Rabu, 04 Maret 2015

Tafsir Surat Yusuf Ayat 108 Tentang Profesionalisme dalam Dakwah



A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Berapa banyak orang yang secara lahiriahnya seolah menyeru kepada Allah (kebenaran), padahal sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya (mempopulerkan dirinya, mencari pujian, mencari banyak jama’ah, mendakwahkan kebathilannya dll.) Semoga Allah melindungi kita dari sifat yang demikian.
Kami membahas tafsir Qs. Yusuf 108 untuk mengetahui bagaimana cara dakwah yang sebenarnya. Dakwah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Kita sebagai pendakwah harus mempunyai jiwa profesionalisme dalam berdakwah. Agar dakwah yang disampaikan kepada umat bisa diterima dengan baik dan bisa mengajak kepada kebaikan, menuju jalan yang Allah ridhoi. Tidak sebatas untuk memperoleh ketenaran, pujian, materi dan segala kebathilan yang lain yang bisa mengalihkan tujuan dakwah yang sesungguhnya.
Al-qur’an merupakan kitab yang Allah turunkan sebagai kitab dakwah. Dakwah bertujuan untuk mengajak manusia ke jalan yang benar, yaitu menuju Allah Swt dan mengikuti ajaran Rasulnya, Nabi Muhammad Saw. Dengan adanya dakwah, manusia bisa hidup dengan terarah dan supaya bisa mencapai apa yang Allah ridhoi. Al-qur’an secara langsung menganalisis berbagai pendorong dan faktor terlaksananya dakwah. Al-qur’an juga menegaskan mengenai tujuan dakwah, menampakkan metode dakwah dan teknik yang baik dalam penyampaiannya.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu :
Bagaimana isi tafsir dari QS. Yusuf 108?
Bagaimana cara dakwah yang sesuai dengan ajaran Rasul?

3.      Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui, mendeskripsikan dan bisa mengaplikasikan bagaimana cara dakwah yang disampaikan oleh Rasul.

B.     Pembahasan
1.      Tafsir surat ayat 108
“Tentang Profesionalisme dalam Dakwah”
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Artinya : “ Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah Swt denganbashirah maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.”
Tafsir ayat firman Allåh:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي
Inilah Jalanku!
- Berkata Ibnu Zaid: “urusanku, sunnahkudan manhajku.”
- Berkata Rabi’ bin Anas: “Dakwahku.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Muqatil: “Agamaku.”
- Berkata Al-Qurthubi: “semua makna di atasadalah satu, yaitu (jalan dakwah yangditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bisa mengantarkan kesurga).” (Tafsir Jami’ liAhkamil Qur`an9/179).
- Berkata Ibnu Katsiir: Alllåh berfirmankepada Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wasallam, dengan menyuruhnya agarmemberitahukan kepada manusia dan jin(seluruhnya), bahwa inilah jalannya.
firman Allåh:

أَدْعُو إِلَى اللَّهِ
Aku menyerukan/mengajak (kamu) kepadaAllåh!
- Berkata Ibnu Katsiir: Yakni jalan, jalur dansunnahnya; dalam menyeru kepadapersaksian bahwa tiada illah (yang berhakdiibadahi) melainkan Allåh Yang Maha Esa,tiada sekutu bagiNya.
Firman Allåh:
عَلَىٰ بَصِيرَةٍ
Diatas bashirah!
- Berkata Qatadah: “di atas petunjuk.” (Ad-Durrul Mantsur 4/93)
- Berkata Ibnu Jarir At-Thabari: “di ataskeyakinan dan ilmu.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Ibnu Katsiir: Dia menyerukan itu dengan bertumpu kepada (bashirah. yang
bermakna:) dalil, keyakinan dan argumentasi.
- Berkata Abdur Rahman As-Sa’di: “di atasilmu dan keyakinan dengan tanpa adakeraguan dan pertentangan.” (Tafsir KarimirRahman fi Tafsiri Kalam 4/93)
- Berkata Abu Bakar Al-Jazairi: “di atas ilmudan keyakinan terhadap Dzat yang aku (Nabi)berdakwah kepada-Nya serta terhadap hasildan buah dakwah ini.” (Aisarut Tafaasir2/653)
Firman Allåh:
ﺃَﻧَﺎﻭَﻣَﻦِﺍﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲ
Aku dan orang yang mengikutiku
- Berkata Ibnu Jarir At-Thabari: “orang yangmengikutiku, membenarkan dan berimankepadaku.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Ibnu Katsiir : “(Maka) Setiap orangyang mengikuti Råsulullåh menyeru pulakepada apa yang diserukan Råsul mereka (Dengan mereka menyeru) diatas hujjah,keyakinan, dan dalil yang bersifat naqlidan aqli.”
Firman Allåh:
ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَﺍﻟﻠَّﻪِﻭَﻣَﺎﺃَﻧَﺎﻣِﻦَﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ
“Maha suci Allah, dan aku tidak termasukorang-orang yang musyrik”
- Berkata Ibnu Jarir: “dan aku (Nabi) berlepasdiri dari ahli syirik, aku bukan dari mereka    dan merekapun bukan dari golonganku.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Ibnu Katsiir: Yakni Allåh itu MahaSuci, Maha Agung, lagi Maha Besar darikeadaanNya memiliki sekutu, atautandingan, atau anak, atau ayah, atau istri,atau penasihat. Maha Suci, Maha Tinggi, danMaha Bersih Allåh dari semua itu.
Setelah menjelaskan sebagian besar manusia yang enggan menerima kebenaran, dan menjelaskan pula bahwa jalan kebenaran adalah mengesakan Allah Swt secara penuh, yang telah dibuktikan oleh sekian banyak ayat dan tanda-tanda, maka kini Rasulullah Saw diperintahkan : “katakanlah wahai Muhammad  “inilah jalan agamaku yang kusampaikan melalui alqur’an dan sunnah. Aku dan orang-orang yang mengikutiku, yakni yang beriman dan benar serta meneladani aku, kami semua mengajak seluruh manusia kapan dan dimanapun kepada Allah dengan bashirah, yakni hujjah yang nyata dalam bentuk bukti-bukti rasional dan emosional. Maha suci Allah, yakni aku menyucikannya dengan menetapkan segala sifat kesempurnaan bagiNya dan menghindarkan segala sifat kekurangan bahkan kesempurnaan yang tidak sesuai denganNya, dan aku walau seandainya hanya aku sendiri- sedikitpun tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang musyrik.
Kata ittaba’ani terambil dari kata tabi’a, yakni upaya dari seseorang untuk meneladani orang lain dalam langkah dan arah yang ditujunya. Ketika menafsirkan Qs. Al-a’raff : 158, penulis mengutip uraian Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa agama ini bukan sekedar akidah yang bersemi dihati, bukan juga sekadar syiar-syiar agama atau ibadah ritual, tetapi agama ini adalah ikutan secara sempurna kepada Rasulullah Saw menyangkut apa yang beliau sampaikan dari Tuhannya dan apa yang beliau syariatkan dan sunnahkan. Beliau menyampaikan syariat Allah dengan ucapan dan perbuatan beliau. Agama islam tidak lain kecuali ikutan dan keteladanan kepada beliau. Seandainya agama ini semata-mata hanya akidah saja, maka tentu cukup sudah bila dinyatakan dan orang-orang yang percaya kepadaku atau kepada Allah dan kepadaku.
Penyebutan diri Nabi Muhammad Saw terlebih dahulu kemudian pengikut beliau dalam firmanNya anaa wa manittaba’ani, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengisyaratkan bahwa Rasul Saw adalah patron yang harus diikuti dalam melaksanakan dakwah, sekaligus mengisyaratkan perbedaan tingkat dan kualitas penyampaian dakwah itu. Tidak dapat disangkal bahwa Rasul Saw mencapai puncak dalam berdakwah dan memenuhi sepenuhnya tuntunan Allah Swt dalam menyampaikan semua ajaran. Beliau tidak meninggalkan satu ayatpun, dan beliau menjelaskan maknanya secara amat sempurna sambil memberi keteladanan sebaik mungkin. Tentu saja yang berdakwah diharapkan agar pengikut-pengikut beliau hendaknya memiliki pula sifat-sifat yang dicakup oleh kata ittaba’ani itu serta serupa walau tentu tidak mungkin sama dengan Rasul Saw yang dakwahnya ‘ala bashirah, yakni atas dasar bukti-bukti yang jelas serta disertai dengan keikhlasan penuh. Namun demikian, kita sadar bahwa walaupun seseorang muslim pengikut Nabi saw telah berusaha sekuat tenaga dan kemampuan, namun ia pasti tidak akan mungkin mencapai peringkat dan kualitas apalagi wewenang Rasul Saw dalam berdakwah dan menjelaskan ajaran ilahi. Karena itu, maka yang dituntut dari setiap muslim adalah berdakwah sebatas kemampuan, walau hanya satu ayat sesuai dengan sabda beliau : “sampaikanlah dari ajaranku walau hanya satu ayat”.
Kata subhaana terambil dari kata sabaha yang pada mulanya berarti menjauh. Seseorang yang berenang dilukiskan dengan menggunakan akar kata yang sama, yakni sabbah, karena dengan berenang ia menjauh dari posisinya semula. “Bertasbih” dalam pengertian agama berarti “menjauhkan segala sifat kekurangan dan kejelekan dari Allah Swt”. Dengan mengucapkan “Subhaana Allah” si pengucap mengakui bahwa tidak ada sifat atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna, atau tercela; tidak ada ketetapanNya yang tidak adil, baik terhadap orang lain maupun terhadap si pengucap.
Kata Subhaana disini mengisyaratkan bahwa setiap ajakan menuju jalan Allah hendaknya disertai dengan tasbih, yakni penyucian Allah Swt dari segala sesuatu yang tidak wajar bagiNya
Benarkah engkau menyeru kepada Allah?
Berapa banyak orang yang secara lahiriahnyaseolah menyeru kepada Allah (kebenaran),padahal sejatinya dia sedang mengajakkepada dirinya (mempopulerkan dirinya,mencari pujian, mencari banyak jama’ah,mendakwahkan kebathilannya dll.) SemogaAllåh melindungi kita dari sifat yan demikian, aamiin.
2.Ciri khas pengikut Rasul sejati dalam hal dakwah adalah :
1. Kemurnian mereka untuk mengajak kepada Allah! Bukan kepada dirinya, madzhab fiqh-nya,kelompoknya/partainya/golongan/jama’ah-nya.Bukan juga atas landasan kepentingan,seperti: popularitas, harta, jabatan,kekuasaan, wanita, dll.
2. Dan isi dari seruan mereka kepada manusia, yakni seruan mereka untuk memurnikan ketaatan kepada Allah!
- Bukannya seruan untuk menyekutukanNya,
- Bukan seruan untuk mengajak kepada ke-bida’ah-an yang dilarang RasulNya,
- Bukan seruan untuk bermaksiat kepadaNya,
- Bukan seruan mengajak kepada hal-halyang melalaikan.
C.    Kesimpulan
Dalam Qs. Yusuf ayat 108 memberikan pesan bahwa kita sebagai umat Rasulullah diperintahkan untuk selalu menyampaikan suatu kebaikan dengan semampu kita. Tentunya dakwah yang berisi seruan yang telah diajarkan oleh Rasul, agar ajaran-ajaran Rasul bisa sampai kepada umatnya dengan baik. Dakwah Rasulullah sudah tidak diragukan lagi, apa yang disampaikan oleh Rasululllah sudah pasti kebenarannya. Tidak dapat disangkal bahwa Rasul Saw mencapai puncak dalam berdakwah dan memenuhi sepenuhnya tuntunan Allah Swt dalam menyampaikan semua ajaran.
Tentu saja yang berdakwah diharapkan agar pengikut-pengikut beliau hendaknya memiliki pula sifat-sifat yang dicakup oleh kata ittaba’ani itu serta serupa walau tentu tidak mungkin sama dengan Rasul Saw yang dakwahnya ‘ala bashirah, yakni atas dasar bukti-bukti yang jelas serta disertai dengan keikhlasan penuh. Namun demikian, kita sadar bahwa walaupun seseorang muslim pengikut Nabi saw telah berusaha sekuat tenaga dan kemampuan, namun ia pasti tidak akan mungkin mencapai peringkat dan kualitas apalagi wewenang Rasul Saw dalam berdakwah dan menjelaskan ajaran ilahi. Karena itu, maka yang dituntut dari setiap muslim adalah berdakwah sebatas kemampuan, walau hanya satu ayat sesuai dengan sabda beliau : “sampaikanlah dari ajaranku walau hanya satu ayat”.

Daftar Pustaka
Shihab,M.Quraish.2002.Tafsir Al-Misbah.Jakarta.Lentera Hati
Hamka.1990.Tafsir Al-Azhar jilid 5.Pustaka NasionalPte Ltd Singapura
Munir,Muhammad.2006.Wahyu ilahi manajemen dakwah.Jakarta.Kencana






Tidak ada komentar: