Start

Minggu, 02 Oktober 2016

Ini Ceritaku.......





 (Nuy)

Mana ceritamu?

Saya terlahir dari keluarga yang sederhana. Hidup pas-pasan yang penting ada buat makan itu cukup buat saya. Ibu dan ayahku berlatar belakang pendidikan pesantren. Ayahku dulu hidup lama di sebuah pesantren yang ada di Cirebon, yaitu Babakan Ciwaringin. Sekitar 9 tahunan ayahku nyantri di pesantren tersebut. Begitu juga dengan ibuku, ibuku nyantri sekitar 6 tahunan di sebuah pesantren yang bernamakan pesantren Jagasatru. Kyainya bernama Kang ayip Muh, itulah panggilan akrab yang biasa dipakai oleh para santri dan jamaahnya.

            Perputaran roda kehidupan telah dialami oleh kedua orang tuaku. Ayahku pernah berprofesi sebagai pedagang dan juga pernah menjadi bos di pabrik permen yang dimiliki oleh kakekku. Ayahku telah banyak berganti-ganti profesi. Dia juga pernah berdagang asongan, dagang nasi uduk, dan lain sebagainya. Hingga suatu hari, ayahku terkena penyakit struk yang menjadikan tubuhya mati sebelah. Tubuh bagian kanannya bisa dikatakan sudah tidak berfungsi seperti sebelumnya. Saat penyakit struk itu dideritanya, ia hanya bisa berjalan dengan menggeret kaki kanannya. Hal itu sudah saya ketahui pada saat saya masih kecil. Jadi, saya sudah melihat keadaan ayah saya dalam keadaan sudah terkena struk. Meskipun begitu ayahku tidak melepaskan tanggung jawab untuk terus mencari nafkah demi anak-anak dan istrinya. Ayah dan ibuku dikaruniai banyak anak hingga sampai 8 anak. Namun, hanya tersisa 6 anak karena 2 anaknya meninggal. Satu anak meninggal karena penyakit kejang dan satu nya lagi meninggal pada saat kelahiran. Saat itu, ayahku diharuskan memilih salah satu antara ibuku dan anaknya yang mesti diselamatkan. Akhirnya, ayahku memutuskan untuk menyelamatkan ibuku saja. Dan saat itulah anak yang dilahirkan oleh ibuku tidak terselamatkan. Saya kira itu pilihan yang tersulit untuk kedua orang tuaku. Mungkin itulah jalan yang terbaik yang harus dipilih oleh ayahku.

            Disisi cerita dari pengalaman kedua orang tuaku, sayapun ingin mengalihkan tulisan ini ke pengalaman hidup yang pernah saya rasakan. Ketika saya masih kecil, saya disekolahkan oleh orang tua saya di sekolah umum, yaitu SD. Saat itu merupakan pertama kali saya dikenalkan oleh pendidikan. Disitu pula saya dapat mengenal guru, teman-teman dan belajar baca tulis dari abjad A sampai dengan Z. Dikelas satu SD sedikit demi sedikit dengan dibantu oleh usaha guru saya dibimbing untuk bisa membaca, dimulai dari jilid 1 hingga jilid 2. Saya masih ingat jelas dimana buku jilid 1 merupakan buku pertama kali yang bisa mengantarku mengenal huruf-huruf , buku itu berwarna kuning. Ketika 1 jilid sudah saya kuasai. Saya pun berlanjut ke jilid 2 untuk melancarkan cara bacaan saya agar lebih memantapkan lagi. Saat pertama kali saya sekolah disitu saya masih sangat awam sekali dalam hal belajar jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. Teman-temanku yang lain bisa dikatakan sudah mengenal lebih dulu tentang belajar, karena mereka telah diperkenalkan huruf-huruf sejak mereka sekolah TK. Saat itu saya benar-benar merasa menjadi orang yang paling bodoh karena saya pikir kok saya baru ya mengenal huruf-huruf abjad ini, berbeda dengan teman-temanku. Sehingga tidak aneh jika diawal sekolahku saya tidak mendapatkan peringkat yang bagus.  Ketika guru saya menyuruh murid-muridnya untuk belajar. Saat itu pun saya tidak mengerti bagaimana caranya belajar. Belajar yang seperti apa yang guruku maksudkan. Jadi, saya hanya mengikuti seperti air mengalir saja. Kerjaan saya saat itu hanya sekolah dan main. Orang tuaku tidak begitu perhatian mengenai pembelajaran sekolahku. Hal itu dikarenakan keawaman atau kurang pengalaman dari orang tua saya sendiri. Sehingga saat itu seolah-olah saya berjalan dan mencari tau sendiri dalam mengatasi problem-problem hidup yang saya alami saat itu. Hingga yang saya tau pada saat itu yang namanya belajar ya di sekolah. Ada guru dan ada murid, disitu kita belajar. Ketika sampai rumah letakkan tas dan kembali main bareng teman-teman. 

            Pada saat saya kelas 2 SD saya pernah mendapatkan suatu pengalaman yang menyedihkan ketika berkali-kali saya mendapatkan nilai nol saat mengerjakan soal latihan matematika yang diberikan oleh guru saya sehingga saya tidak boleh pulang saat itu. Namun, ketika berkali-kali mendapatkan nilai nol berkali kali juga saya mengerjakan soal tersebut sampai saya tidak mendapatkan nol lagi. Malu memang, tapi mau gimana lagi pada saat itu saya benar-benar masih menjadi orang yang terbodoh di kelas. Sudah dua tahun saya sekolah, mulai ada kemajuan sedikit dalam hal peringkat kelas. Saat kelas dua saya mulai masuk 10 besar. Dan tidak disangka ketika saya memasuki kelas 3 SD saya mendapatkan peringkat ke 3 dari 40 siswa. Disitu benar-benar saya tidak mempercayai akan hal itu. Namun, disisi lain saya sangat senang karena ketika saya masuk ke dalam 3 besar di kelas, guru-guu mulai mengenali saya dan mulai saat itulah saya merasa dianggap keberadaannya. Mungkin sebelumnya saya hanya berada diruang gelap yang tidak bisa terlihat oleh mata. Sehingga keberadaanku seolah-olah tidak ada dan merasa tidak dianggap. Setelah mendapatkan peringkat tersebut saya mulai bersemangat belajar agar bisa mendapatkan lebih dari itu. saya ingin mengejar peringkat pertama untuk menyusul temanku. Jadi, ketika saya mulai dikenal oleh guruku karena dari hasil peringkat tersebut. Saya mulai berpikiran bahwa sekolah itu untuk mengejar nilai agar bisa mendapatkan pengakuan dari guru-guru. Yang ada dipikiran saya rangking rangking dan rangking tanpa memperhatikan hal lainnya. Dengan memperoleh peringkat saya bisa mendapatkan hadiah buku dari guru. Semakin tinggi peringkat semakin tebal hadiah buku yang diberikan. Saya termotivasi oleh hadiah tersebut. Saya sempat menyombongkan diri dengan apa yang saya peroleh. Saya merasa sudah tidak bodo lagi seperti awal masuk sekolah. Kelas 3 sampai dengan kelas 6 saya selalu masuk ke peringkat 3 besar. Sudah merasakan peringkat 1, 2 dan 3. Entah betapa bodohnya saya saat itu yang sudah mengaggap bahwa rangking lah yang menjadi tujuan belajar saya. 

            Saat saya akan menyelesaikan sekolah dasarku. Saya mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan di pesantren alias mondok sekaligus melanjutkan sekolah umum. Namun, ibuku tidak mengijinkannya dikarenakan keadaan yang sudah tidak mendukung. Ayahku yang sempat mengamanahkan ke saya untuk lanjut ke pondok pesantren kini sudah meninggal dunia pada saat saya masih duduk di kelas 4 SD dan orang tua masih menanggung banyak beban yang ia tanggung. Sehingga saya pun disarankan untuk tetap lanjut di sekolah umum saja. Jika saya memaksakan keinginan saya untuk mondok ditakutkan ibu saya tidak kuat dengan biayanya. Pada akhirnya saya pun mengikuti saja. 

            Setelah menyelesaikan sekolah SD saya terus melanjutkan pendidikan saya hingga saya SMA. Dan masih dengan kebodohan yang sama bahwa sekolahku itu hanya untuk mengejar nilai semata yang menjadikan saya mempunyai tujuan untuk terus mendapatkan rangking 3 besar. Jika tidak 3 besar saya benar-benar sangat berdosa dengan diri saya sendiri dan benar-benar akan menyalahkan diri saya. Jadi, sebisa mungkin saya usahakan untuk tetap masuk peringkat 3 besar. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa hal itu tidak lah baik buat saya. Nilai akhir bukanlah prioritas utama kita dalam belajar. Namun kita harus memperhatikan benar-benar prosesnya. Proses itu lebih penting dari pada hasil. Karena proses tidak akan membohongi hasil.  

Singkat cerita saja, ketika saya kuliah. Saya harus mulai meluruskan niat untuk jangan terlalu mengejar-ngejar nilai. Karena menurutku percuma nilainya besar ketika kualitas keilmuannya masih sangat kurang. Saat ini pun ternyata saya masih tetap dengan pikiran yang sama untuk terus mendapatkan nilai besar. Namun, kini berbeda cerita. Kalau dulu pada masa sekolah saya harus mendapatkan peringkat 3 besar untuk bisa mendapat pengakuan dari guru-guru agar bisa dianggap keberadan saya. Tapi, saat kuliah ini mempertahankan nilai agar tetap bisa mendapatkan beasiswa. Karena ketika nilai ip turun dibawah standard rata-rata maka akan dicabut dengan begitu saja. Sedangkan saat ini saya kuliah masih mengandalkan uang beasiswa saja. Modal saya kuliah hanya bermodalkan nekat demi untuk mengenyam dan menuntut ilmu di perguruan tinggi. Ini bahkan lebih bodoh lagi, karena hingga detik ini saya masih merepotkan negara. Kuliah ku ini bukan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, enak, ber AC, dan punya kantor yang nyaman. Akan  tetapi, saya menuntut ilmu ini agar bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya dan mampu mengangkat derajat keluarga. Karena bisa dikatakan bahwa saya merupakan generasi pertama yang kuliah. Kakak-kakaku sebelumnya tidak ada yang menyelesaikan sekolah. Minimal hanya sampai SMK saja. Tidak heran jika jurusan yang saat ini sedang saya jalani itu jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Dengan begitu semoga bisa mengantarkan saya untuk bisa memahami dan belajar bersama masyarakat untuk bisa hidup bersama dengan kesejahteraan yang sebenarnya. Mampu mempelajari realitas kehidupan yang sesungguhnya. Dengan begitu mampu mengantarkan saya untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Menjadi manusia yang mempunyai hubungan baik dengan Tuhan dan makhluknya. 

Saya tidak memikirkan akan menjadi apakah diriku di masa depan. Yang terpenting saat ini saya harus menuntut ilmu dimanapun dan bersama siapapun. Kita tahu bukan bahwa seseorang hidup dan memiliki ilmu maka ia akan menjadi manusia bermanfaat selagi menerapkan ilmu yang diperolehnya selama ini. Tentunya bukan hanya untuk diri sendiri namun untuk kebahagiaan orang banyak.

Sukses selalu untuk semua manusia dimuka bumi ini yang masih punya hati nurani yang hidup. Yang masih punya rasa peduli terhadap manusia lainnya. Semoga perjalanan hidup kita tidak ternodai oleh hal-hal yang dapat merusak relasi kita sebagai manusia. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai “kholifah fil ard”, maka jagalah amanah besar itu….











Jumat, 30 September 2016

PLTU dan Kemanusiaan

Oleh Nur'aeni
Comdev 04'

Sebelumnya aku bertanya-tanya kenapa sih mereka menyuarakan tentang penolakan PLTU?
Yang aku tahu tentang PLTU itu ya bangunannya indah, secara kasat mata bangunannya megah, pas lah kalau buat cewe-cewe yang doyan selfie. Kaya aku.dan kawan-kawan. hehe

Berawal dari menonton film Documentary tentang dibalik megahnya PLTU Cirebon dan sekalian ikut aksi bersama aliansi mahasiswa IAIN yang sangat kontra terhadap PLTU.. Mereka mengetahui kabar berita bahwa Instansi kami akan melakukan suatu kerja sama dengan pihak CSR PLTU . Kerja sama apalah itu. pihak aliansi mahasiswa sangat tidak menginginkan hal itu terjadi. Kenapa demikian? karena mereka telah merasakan hidup bersama masyarakat yang berada di dekat bangunan PLTU Cirebon dan ternyata dibalik indahnya bangunan PLTU banyak permasalahan ekologis yang menimpa wilayah tersebut. Dan hal itu sangat merugikan masyarakat yang hidup disana. Banyak sekali masyarakat yang merasakan dampak negative dari adanya PLTU. Hal ini sangat dirasakan oleh para petani dan nelayan yang tinggal disana. Para nelayan yang biasanya bisa mendapatkan ikan dengan jarak hanya 2 km saja dari bibir pantai. Namun sekarang sudah berubah mereka harus menempuh jarak 5 km untuk bisa mendapatkan ikan. Selain nelayan disana juga ada petani garam yang dimana produktivitas garamnya mengalami penurunan dikarenakan air laut yang biasa mereka gunakan untuk menambak garam sudah mulai tercemar oleh limbah yang dihasilkan PLTU tesebut. Tidak hanya manusia saja yang mendapatkan dampak dari limbah PLTU ini. Biota laut pun sudah tercemari akibat limbahnya. Jika ditelisik lebih dalam lagi sangat banyak dampak yang ditimbulkan oleh limbah PLTU. Dan itu secara tidak langsung akan membunuh makhluk hidup yang berada disekitarnya secara perlahan. Masihkah kita membangga-banggakan adanya PLTU dengan banyaknya musibah yang akan masyarakat terima termasuk kita di dalamnya? Tak perlu dijawab disini…

Ini bukan berbicara soal keegoisan kita, namun tentang kemanusiaan. kemanusiaan itu tentang hati nurani. Sudahkah nurani kita tergerak untuk melakukan pembelaan terhadap saudara-saudara kita? Jika bukan kita yang membela mereka siapa lagi? Kita mahasiswa. Mahasiswa juga bagian dari masyarakat. Jangan membuat sekat-sekat karena kita mahasiswa jadi kita lebih ekslusif dan tidak perduli terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang ada disekitar kita dan lebih memilih untuk memisahkan diri. Cobalah sedikit demi sedikit kita melebur bersama tanpa ada perbedaan. Aku benar-benar merasa bersalah dan menyesali karena selama ini, ternyata aku masih tertidur. Tertidur pulas tanpa mampu melihat, merasakan dan mendengar jeritan-jeritan rakyat yang terampas ruang hidupya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Aku menutup mataku, menutup telinga dan hatiku dari isu sosial yang ada. Aku masih terlalu sibuk memikirkan urusanku sendiri tanpa memikirkan hidup orang lain yang berada disekitarku. Astaghfirullah. Namun, kini hidayahpun datang kepadaku untuk ikut barisan bersama mereka dalam melakukan suatu perlawanan tentang ketidakadilan ini.


Harapan dalam hidupku adalah menjadi orang yang bermanfaat bagi manusia lainnya seperti halnya hadist Nabi. Dan mungkin inilah salah satu cara agar ku bisa memberikan manfaat bagi yang lain. Aku harap Allah meridhoi apa yang aku lakukan saat ini. Jangan menodai kata Agen Of Change yang diperuntukkan mahasiswa. Memang untuk melakukan suatu perubahan tidak semudah dengan kita membalikkan telapak tangan. Tidak semudah itu. semuanya butuh perjuangan dan perjuangan butuh persatuan yang kuat untuk menghimpun kekuatan. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Semoga suara rakyat bisa didengar oleh para birokrat yang katanya pro rakyat.
Aamiinn…..

Kepentingan Rakyat atau Korporat?

Oleh Nur’aeni
Comdev 04'
 
Masalah PLTU tidak berhenti di Cirebon saja. Namun, setiap ada bangunan PLTU sudah pasti dampak ekologis itu ada. Sekarang aku beralih ke bangunan PLTU yang ada di Indramayu,  tepatnya  di Desa Mekar Sari. Aku coba ikut belajar bersama kawan-kawan lainnya untuk mengkaji dan mengamati keadaan disana. Kita melakukan pemetaan dan diskusi bersama. Kebetulan di Indramayu sedang ada tim riset dari Sains (Sajogyo Institut) Bogor. Jadi, kami bisa diskusi bersama terkait permasalahan yang saat ini sedang dirasakan oleh masyarakat Indramayu.

Setiap perusahaan pasti ada limbah yang tersisa. Seperti halnya PLTU,  total limbah dari bangunan PLTU 1 di Indramayu sebanyak 72.000  ton. Bayangkan saja limbah sebanyak itu apakah tidak menimbulkan dampak? Ga mungkin kan. Ditambah lagi dari pihak PLTU sendiri pun  tidak ada izin untuk pengelolaan limbah itu sendiri. Kasian lah pantai Indramayu. Pantainya kini telah tercemari oleh limbah sebanyak itu. Miris sekali.

Kita tahu batu baterai? Itulah kandungan kimia yang ada di batubara. Jika penasaran dengan bahan kimia yang terkandung di dalam batubara coba saja bedah batu baterai lalu kita gosok-gosokkan ke badan kita? Dan pasti badan kita akan mengalami gatal-gatal dan lain hal. Itu merupakan contoh kecil saja soal batu baterai. Karena dampak dalam skala besarnya terdapat pada kandungan kimia yang terkandung dalam batubara yang dimana digunakan sebagai bahan baku PLTU.

Bangunan PLTU itu ada yang menggunakan teknologi dari china dan ada juga yang menggunakan teknologi dari Jepang. Perbedaannya, untuk yang menggunakan teknolgi dari china maksimal 1 turbin hanya bisa mencapai 300 Mega Watt. Sedangkan untuk teknologi dari Jepang bisa mencapai maksimal 350 Mega Watt.

Cerobongnya pun sama, ada yang menggunakan teknologi dari Jepang dan China. Cerobong dari China dinamakan Super critical Boiler. Sedangkan dari Jepang namanya Ultra Super Critical Boiler. Tingginya cerobong  tersebut hanya menekan karbon saja tidak menekan emisi. Ultra super critical boiler merupakan energy terbaru di Indonesia, katanya… dan lebih baik dari Super Critical Broiler yang berasal dari China. Tapi, perlu kita tahu bahwa Ultra Super Critical Boiler itu sudah ditinggalkan 10 tahun yang lalu oleh orang Jepangnya sendiri. Energy baru terbarukan yang seperti apa sebenarnya? Di luar negeri sudah ga kepakai malah di Indonesia dibangga-banggakan.

Lalu, kenapa pemerintah membangun PLTU??? Padahal tanpa adanya PLTU pun masyarakat sudah menggunakan listrik. Mereka tidak kekurangan listrik. Buat apa pemerintah terus-terusan melakukan pembangunan PLTU tersebut? Yang sudah jelas-jelas merusak lingkungan. Perlu kita selidiki, sebenernya PLTU dibangun untuk kepentingan rakyat ataukah bukan?

Kita tahu kan bahwa di Indonesia ini semakin banyak Industri, terutama di pulau Jawa. Dengan semakin banyaknya Industri tentu saja pasokan listrik yang dibutuhkan pun harus lebih banyak lagi. Semua industry tersebut lebih banyak membutuhkan energy listrik. Kalau tidak ada cadangan listrik yang besar mereka akan rugi bandar jika perusahaannya kekurangan listrik, karena tanpa listrik mereka tidak bisa beroperasi. Oleh karena itulah pemerintah terus-terusan membuat cadangan listrik sebanyak-banyakanya selama 10 tahun ke depan sebanyak 35.000 Megawatt. Dengan cara apalagi kalau tidak membangun proyek besar itu, ya PLTU. Bangunan yang katanya untuk kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk golongan kaya yang ada di Indonesia dan hampir semuanya itu investor asing. Selain itu juga memperbanyak bangunan PLTU oleh pemerintah Indonesia supaya perusahaan tambang di Indonesia tidak bangkrut. PLTU benar-benar sebagai penyelamat bagi perusahaan tambang batu bara, terutama yang ada di Kalimantan sana. Bayangkan saja PLTU sendiri paling banyak memproduksi batubara dibanding perusahaan lain. Dalam sehari, PLTU bisa memproduksi sampai 500 ton perhari untuk 900 Mega watt. Sedangkan perusahaan yang lain seperti Danone hanya 10 ton saja perhari. Perbandingan yang sangat jauh berbeda. Jauh sekali. Bisa dikatakan PLTU lah yang paling besar memproduksi batu bara di Indonesia.

Apa sih PLTU ???
Setelah ditelisik lebih dalam ternyata PLTU itu ialah salah satu bisnis merusak lingkungan dan bisnis membunuh manusia secara perlahan lebih kasar lagi merupakan bisnis busuk. Cari keuntungan kok modelnya begitu? Dimanakah hati nuranimu? Lagi-lagi hati nuranilah yang akan berkata. Jangan biarkan hati nurani kita didustakan. Jangan hianati hati nurani. Karena jiwa kemanusiaan kita akan ada ketika hati nurani kita masih tetap hidup. Tidak menutup diri. Telah banyak jiwa yang menjadi korban PLTU. Bukan puluhan, bukan ratusan, bahkan sudah mencapai ribuan. Sekitar 6500 jiwa telah terbunuh (terbunuh ruang hidupnya) oleh PLTU. Lalu sampai menunggu berapa jiwa lagi yang akan menjadi korban dari dampak PLTU?
Di Indramayu sendiri, masyarakatnya sudah sadar bahwa PLTU itu membawa dampak negative yang begitu besar bagi masyarakatnya. Mereka yang mayoritasnya sebagai petani, semenjak adanya PLTU hasil panennya mengalami penurunan. Hal itu dikarenakan cuaca yang semakin panas dan struktur tanah yang berubah. Tidak seperti dulu lagi. Salah satu petani kebun bercerita kepadaku bahwa dulu, dari tanah seluas 100 bata bisa menghasilkan 25 kwintal bawang. Namun, sekarang sudah tidak demikian, ia hanya bisa menghasilkan bawang sebanyak 15 kwintal bahkan kurang dari itu. Selain beliau, masih banyak lagi masyarakat yang merasakan dampak dari adanya bangunan PLTU 1 tersebut.

Ditambah lagi, saat ini pemerintah sedang akan merancang pembangunan PLTU 2 di desa mekar sari, sumur adem dan patrol baru, yang mana itu akan terjadi pembebasan lahan. Lahan yang akan digunakan sebanyak 244 hektar bahkan lebih. Mereka tidak berpikir bahwa disana ada masyarakat yang dimana untuk menyambung hidupnya dari hasil bertani. Memang benar, bahwa orang-orang yang memiliki sawah luas sudah menyetujui bahkan sudah menanda tangani persetujuan itu. hal itu karena mereka telah tergiur oleh uang. Mereka akan mendapatkan harga 3x lipat yang dimana akan menjadikan hidup mereka lebih baik lagi. Tapi, untuk sementara waktu saja. Ingat itu! Tidak memikirkan anak cucu mereka nanti ketika sawah sudah tidak ada, dari mana mereka akan mendapatkan penghasilan? Mereka pasti harus pergi berhijrah ke tempat lain untuk mencari-cari pekerjaan. Entah itu menjadi buruh pabrik ataukah lainnya. Padahal dulu, wilayahnya merupakan surga bagi mereka. Mereka bisa menikmati hasil panen dan hasil lautnya tanpa jauh-jauh pergi ke kota.  Mereka hanya berpikir untuk hidup saat ini saja. Biarlah mereka akan sadar dengan sendirinya. Baik dalam kurun waktu 5 tahun lagi bahkan 10 tahun mendatang mereka akan menyesali karena sudah menjual tanahnya kepada pihak investor yang sebenarnya merampas ruang hidup mereka dalam jangka panjang.

Selamatkan ruang hidup kami!

Jangan merusak keindahan kami!

Jangan mengambil surga kami!

Jagalah ciptaan Tuhan kami!



Jumat, 27 Mei 2016

Kronologis Kapitalisme menguasai dunia





Selamat membaca.

Cara Kapitalisme Menguasai Dunia: Sistem ekonomi kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital (modal). Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan. Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”. Lalu siapakah yang akan memanfaatkan uang di bank tersebut? Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari bank, yaitu: fix return dan agunan. Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini. Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Nah, apakah adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa? Yaitu dengan pasar modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat dengan iming-iming akan diberi deviden. Siapakah yang memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk menjadi emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini. Siapa mereka itu? Kaum kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Adanya tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa lagi? Cara selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”. Bagaimana caranya? Menurut teori Karl Marx, dalam pasar persaingan bebas, ada hukum akumulasi kapital (the law of capital accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil. Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya. Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal. Agar perusahaan kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan persaingan pasar. Persaingan pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dsb. Lantas, dengan cara apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut? Lagi-lagi, tentu saja dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika perusahaan kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN). Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis, seperti: sektor telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi, dsb. Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi. Lantas bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu per satu BUMN tersebut. Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika dengan cara ini kaum kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara mengatasinya? Caranya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri. Kaum kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap sebagai pengusaha. Untuk menjadi penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, sebab biaya kampanye itu tidak murah. Bagi kaum kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika kaum kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka hegemoni (pengaruh) ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini? Tentu saja belum. Ternyata hegemoni ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup. Mereka justru akan menghadapi problem baru. Apa problemnya? Problemnya adalah terjadinya ekses produksi. Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen. Lantas, kemana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya? Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya, yaitu dengan melakukan hegemoni di tingkat dunia. Caranya adalah dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat penduduknya. Teknisnya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi). Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya. Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya. Yaitu dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) atau perusahaan lintas negara, di negara-negara sasarannya. Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah. Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya. Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal. Apakah dengan membuka MNC sudah cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi. Caranya? Yaitu dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut. Untuk melancarkan jalannya ini, kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut. Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi). Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah: UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dsb. Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu. Dengan cara apa? Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah. Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya. Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan sistem kurs mengambang bebas bagi mata uang lokal tersebut. Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut? Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka. Jika ingin lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya. Cara selanjutnya adalah dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara tersebut. Teknisnya adalah dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya. Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi bagi pendidikannya. Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya. Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan sarjana. Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara dan maunya digaji tinggi. Sebagaimana telah diuraikan di atas, cara-cara hegemoni kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan intervesi UU. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan cara yang lain lagi. Nah, cara inilah yang akan menjamin proses intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan menempatkan penguasa boneka. Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum kapitalis dunia. Bagaimana strateginya? Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi boneka. Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya. Nah, apakah ini sudah cukup? Tentu saja belum cukup. Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru. Apa problemnya? Jika hegemoni kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut. Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum kapitalis itu sendiri. Mengapa? Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka. Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua? Di sinilah diperlukan cara berikutnya. Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan. Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Kaum kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu: masyarakat akan tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya. Sampai di titik ini kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi? Jawabnya ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman krisis ekonomi. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa ekonomi kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya krisis ini. Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya. Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa itu? Ternyata sangat sederhana. Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bailout) atau stimulus ekonomi. Dananya berasal dari mana? Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian, jika terjadi krisis ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya. Jawabnya adalah: rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya. Bagaimana hasil akhir dari semua ini? Kaum kapitalis akan tetap jaya dan rakyat selamanya akan tetap menderita. Dimanapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama. Itulah produk dari hegemoni kapitalisme dunia. [Dwi Condro Triyono, Ph.D]

Top of Form

Senin, 02 Mei 2016

Ingatan Tentang Revolusi Hijau



By Nur’aeni
Community Development Of Islam

Teman-teman pernah mendengar dengan istilah Revolusi Hijau?
Jika belum mendengar saya rasa itu tidak mungkin, apalagi jika anda sebagai seseorang yang akan mengembangkan masyarakat, maka sangat diharuskan sekali untuk terlebih dahulu mengenal apa itu Revolusi Hijau dan bagaimana dampak dari Revolusi Hijau tersebut. 

Disini saya akan mencoba menceritakan sedikit pengetahuan tentang Revolusi Hijau yang saat ini masih menjadi topic atau bahan pembahasan perkuliahan saya. Revolusi Hijau merupakan sebuah program yang diberikan oleh pemerintah Orde Baru kepada masyarakat tani agar bisa memperoleh peningkatan produksi padi di ranah Nasional. Munculnya program ini dimulai dengan adanya pengenalan mengenai bibit unggul, obat pemberantas hama, alat-alat produksi modern seperti traktor yang bisa lebih efisien dalam menggarap lahan petani padi itu yang dimana dapat mengalihkan peran tenaga manusia dengan alat mesin yang lebih canggih. Program Revolusi Hijau ini mulai di intensifikasi kepada masyarakat di tahun 1968. 

Memang diakui, adanya penerapan program ini telah berhasil meningkatkan produksi padi setiap tahunnya. Yang dulu hanya panen satu kali, berkat adanya program baru ini bisa menjadi dua sampai tiga kali panen pertahun. Sedikit memaksakan sekali ya! Memang itulah yang diharapkan oleh pemerintah orde baru, karena tidak ingin mengulang sejarah sebelumnya yang pernah mengalami kelangkaan sumber pangan. Dengan adanya Revolusi Hijau mampu memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Indah  bukan cita-citanya. Namun, sejatinya tidak demikian.

Dulu, para petani masih sangat bebas dalam menentukan bibit untuk menanam padi. Ketika Revolusi Hijau mulai dikhutbahkan oleh Pemerintah Orde Baru, maka masyarakat saat itu harus mengikuti intruksi dari khutbah tersebut agar memakai bibit-bibit padi varietas unggul yang diberikan oleh pemerintah yang dimana dengan menggunakan bibit tersebut mampu meningkatkan kuantitas produksi padi itu sendiri. Hal itu berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara yang berswasembada beras di tahun 1984 dan sudah tidak lagi menjadi negara pengimpor beras.

Jika kita lihat dari tujuannya memanglah dinilai sangat bagus. Namun, disisi lain revolusi hijau ini hanya menguntungkan petani lapisan menengah ke atas yang memiliki tanah diatas 0,5 hektar[1]. Dengan memiliki tanah yang luas maka petani itu mampu menerapkan program revolusi hijau berupa traktorisasi dengan tidak merugikan mereka. Lalu? Bagaimana dengan petani biasa yang hanya memiliki sepetak tanah? Ia tidak mungkin menerapkan program revolusi hijau tersebut dikarenakan jika ia menerapkan, yang ada hanya kerugian yang ia dapatkan. Bukannya untung malah buntung. Apalagi, program ini hanya memberikan subsidi kepada petani yang sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu yang dimana kriteria tersebut menganaktirikan petani kecil. Bisa dikatakan juga sebagai pemiskinan secara perlahan.

Dengan berjalannya waktu, setelah Indonesia berhasil mengalami peningkatan produksi padi yang signifikan. Namun, lama-kelamaan produksi padi kembali menurun. Hal itu dakibatkan karena efek dari pemberian pupuk kimia secara berlebihan yang memaksakan untuk bisa panen lebih cepat setiap tahunnya. Hal itu lah yang menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan produksi padi. Dengan terlalu seringnya memberikan pupuk berbahan kimia atas nama revolusi hijau tersebut dapat mengurangi kesuburan tanah yang ada. 

Selain itu juga, adanya revolusi hijau berhasil merombak system perekonomian desa yang dulunya bersifat subsisten berubah menjadi komersial. Itu artinya program revolusi hijau telah sukses dalam mendokrin atau mengubah idiologi masyarakat terdahulu menjadi idiologi baru yang mereka programkan. Akibat program ini, manusia sudah teralineasi dari system kerjanya. Dulu bekerja untuk memenuhi kebutuhan perut dan lebih berdaulat. Sedangkan sekarang sudah tidak demikian lagi. Maksud dari berdaulat itu, para petani yang menggarap sawahnya, hasil dari sawahnya itu untuk makan mereka sendiri tidak menjadikan padi sebagai barang komoditas yang pada akhirnya menyengsarakan nasib mereka sendiri dan mengntungkan para pemodal yang membeli padi mereka dengan harga yang sangat murah. Kalau seperti ini gimana petani mau sejahtera?

Orang miskin saat ini bukan hanya yang tidak mempunyai harta. Namun, orang miskin itu yang dimana tidak mempunyai akses untuk memperoleh harta itu. Sebenarnya apa yang salah? System kah? Pikirkan saja. Ketidak sejahteraan ini terjadi bukan karena tiba-tiba atau sekonyong-konyong ada, melainkan itu semua memang diciptakan sedemikian rupa untuk memperlancar tujuan mereka orang-orang capital agar negara yang ditargetkannya tetap menjadi negara yang miskin yang tidak akan mampu menyaingi mereka. 

Kita sebagai calon pengembangan masyarakat mampukah untuk mengembalikan idiologi mereka yang dulu? Saya rasa itu sangatlah sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat telah berhasil diserang pemikirannya untuk mengikuti intruksi tersebut dan dengan berjalannya waktu mereka pun hanyut ke dalamnya tanpa mereka sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang dulu sudah mulai pudar secara tidak langsung lenyap ditelan masa.

Jika kita membayangkan pemandangan para petani yang sedang melakukan aktivitasnya di sawah, perasaan kagum dan bahagia itu sudah pasti ada. Karena kita tidak hanya melihat cangkul dan padi saja. Namun, dibalik makna dari aktivitas tersebut sangatlah mengandung banyak arti. Dalam aktivitas yang mereka lakukan itu menandakan bahwa mereka sedang mempraktikan hubungan kemanusiaan mereka dengan manusia lainnya, menerapkan keramah tamahan, saling membantu satu sama lain dan banyak hal yang didapatkan dari aktivitasa keseharian tersebut.

Para petani yang dulu bertani, mereka bukan hanya semata-mata untuk mencari uang saja, tetapi ada system sosial ketika mereka sedang melakukan aktivitas di sawahnya. Jadi, bisa dikatakan dulu kegiatan berekonomi itu merupakan kegiatan bersosialiasi mereka. Namun sekarang? Sudah berbeda. Semuanya sudah dikomersialkan, logikanya sudah berubah menjadi logika capital dan logika uang semata. Kebersamaan itu semakin berkurang antar masyarakatnya. Dulu juga bisa dikatakan “hubunganku denganmu adalah yuk sama-sama hidup bareng, kita punya sawah mari digarap bersama”. Ditambah lagi, selain ada perubahan di sector pertanian. Revolusi hijau juga menyerang di sector non pertanian yang dimana para petani-petani kecil yang dulu menggarap tanahnya. Akibat dari revjau tersebut mereka akhirnya tersingkirkan juga dan beralih pekerjaan ke sector non pertanian, seperti menjadi pedagang kecil, dll. Namun, tidak hanya berbicara di sector pertanian saja, melainkan di sector non pertanian pun sama masih dijajah dengan system capital seperti halnya di pertanian. Bisa juga dikatakan dengan istilah keluar kandang singa masuk kandang macan. Mengertikah dengan istilah ini? Filosofis dan ironis sekali ya.

Ketika mereka beralih ke non pertanian, bukan berarti masalah yang ada itu selesai begitu saja. Namun, semakin lebih kompleks masalahnya. Mereka berhasil menggiring masyarakat untuk masuk ke roda perkapitalisan mereka yang dimana ketika masyarakat beralih ke sector non pertanian, apa yang masyarakat perdagangkan? Masayarakat memperdagangkan produk-produk mereka. Dengan begitu semakin lancarlah roda perputaran itu. Mungkin ya tidak masalah jika petani yang beralih ke non pertanian memperdagangkan produk asli mereka sendri, seperti menjual hasil taninya. Hal itu bisa dikatakan lebih berdaulat.

Lalu bagaimana solusinya?
Coba pikirkan lalu bagikan ya disini :D



[1] Data dari hasil penelitian IRE (institute For Research and Empowerment) Yogyakarta