By Nur’aeni
Community Development Of Islam
Teman-teman pernah mendengar dengan istilah Revolusi
Hijau?
Jika belum mendengar saya rasa itu tidak mungkin,
apalagi jika anda sebagai seseorang yang akan mengembangkan masyarakat, maka
sangat diharuskan sekali untuk terlebih dahulu mengenal apa itu Revolusi Hijau
dan bagaimana dampak dari Revolusi Hijau tersebut.
Disini saya akan mencoba menceritakan sedikit
pengetahuan tentang Revolusi Hijau yang saat ini masih menjadi topic atau bahan
pembahasan perkuliahan saya. Revolusi Hijau merupakan sebuah program yang
diberikan oleh pemerintah Orde Baru kepada masyarakat tani agar bisa memperoleh
peningkatan produksi padi di ranah Nasional. Munculnya program ini dimulai
dengan adanya pengenalan mengenai bibit unggul, obat pemberantas hama,
alat-alat produksi modern seperti traktor yang bisa lebih efisien dalam
menggarap lahan petani padi itu yang dimana dapat mengalihkan peran tenaga
manusia dengan alat mesin yang lebih canggih. Program Revolusi Hijau ini mulai
di intensifikasi kepada masyarakat di tahun 1968.
Memang diakui, adanya penerapan program ini telah
berhasil meningkatkan produksi padi setiap tahunnya. Yang dulu hanya panen satu
kali, berkat adanya program baru ini bisa menjadi dua sampai tiga kali panen
pertahun. Sedikit memaksakan sekali ya! Memang itulah yang diharapkan oleh
pemerintah orde baru, karena tidak ingin mengulang sejarah sebelumnya yang
pernah mengalami kelangkaan sumber pangan. Dengan adanya Revolusi Hijau mampu
memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Indah
bukan cita-citanya. Namun, sejatinya tidak demikian.
Dulu, para petani masih sangat bebas dalam menentukan
bibit untuk menanam padi. Ketika Revolusi Hijau mulai dikhutbahkan oleh
Pemerintah Orde Baru, maka masyarakat saat itu harus mengikuti intruksi dari
khutbah tersebut agar memakai bibit-bibit padi varietas unggul yang diberikan
oleh pemerintah yang dimana dengan menggunakan bibit tersebut mampu
meningkatkan kuantitas produksi padi itu sendiri. Hal itu berhasil menjadikan
Indonesia sebagai negara yang berswasembada beras di tahun 1984 dan sudah tidak
lagi menjadi negara pengimpor beras.
Jika kita lihat dari tujuannya memanglah dinilai
sangat bagus. Namun, disisi lain revolusi hijau ini hanya menguntungkan petani
lapisan menengah ke atas yang memiliki tanah diatas 0,5 hektar[1].
Dengan memiliki tanah yang luas maka petani itu mampu menerapkan program
revolusi hijau berupa traktorisasi dengan tidak merugikan mereka. Lalu?
Bagaimana dengan petani biasa yang hanya memiliki sepetak tanah? Ia tidak
mungkin menerapkan program revolusi hijau tersebut dikarenakan jika ia
menerapkan, yang ada hanya kerugian yang ia dapatkan. Bukannya untung malah
buntung. Apalagi, program ini hanya memberikan subsidi kepada petani yang
sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu yang dimana kriteria tersebut
menganaktirikan petani kecil. Bisa dikatakan juga sebagai pemiskinan secara
perlahan.
Dengan berjalannya waktu, setelah Indonesia berhasil mengalami
peningkatan produksi padi yang signifikan. Namun, lama-kelamaan produksi padi
kembali menurun. Hal itu dakibatkan karena efek dari pemberian pupuk kimia
secara berlebihan yang memaksakan untuk bisa panen lebih cepat setiap tahunnya.
Hal itu lah yang menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan
produksi padi. Dengan terlalu seringnya memberikan pupuk berbahan kimia atas
nama revolusi hijau tersebut dapat mengurangi kesuburan tanah yang ada.
Selain itu juga, adanya revolusi hijau berhasil merombak
system perekonomian desa yang dulunya bersifat subsisten berubah menjadi
komersial. Itu artinya program revolusi hijau telah sukses dalam mendokrin atau
mengubah idiologi masyarakat terdahulu menjadi idiologi baru yang mereka
programkan. Akibat program ini, manusia sudah teralineasi dari system kerjanya.
Dulu bekerja untuk memenuhi kebutuhan perut dan lebih berdaulat. Sedangkan
sekarang sudah tidak demikian lagi. Maksud dari berdaulat itu, para petani yang
menggarap sawahnya, hasil dari sawahnya itu untuk makan mereka sendiri tidak
menjadikan padi sebagai barang komoditas yang pada akhirnya menyengsarakan
nasib mereka sendiri dan mengntungkan para pemodal yang membeli padi mereka
dengan harga yang sangat murah. Kalau seperti ini gimana petani mau sejahtera?
Orang miskin saat ini bukan hanya yang tidak mempunyai
harta. Namun, orang miskin itu yang dimana tidak mempunyai akses untuk
memperoleh harta itu. Sebenarnya apa yang salah? System kah? Pikirkan saja.
Ketidak sejahteraan ini terjadi bukan karena tiba-tiba atau sekonyong-konyong
ada, melainkan itu semua memang diciptakan sedemikian rupa untuk memperlancar
tujuan mereka orang-orang capital agar negara yang ditargetkannya tetap menjadi
negara yang miskin yang tidak akan mampu menyaingi mereka.
Kita sebagai calon pengembangan masyarakat mampukah
untuk mengembalikan idiologi mereka yang dulu? Saya rasa itu sangatlah sulit,
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat telah berhasil diserang
pemikirannya untuk mengikuti intruksi tersebut dan dengan berjalannya waktu
mereka pun hanyut ke dalamnya tanpa mereka sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan baik
yang dulu sudah mulai pudar secara tidak langsung lenyap ditelan masa.
Jika kita membayangkan pemandangan para petani yang
sedang melakukan aktivitasnya di sawah, perasaan kagum dan bahagia itu sudah
pasti ada. Karena kita tidak hanya melihat cangkul dan padi saja. Namun,
dibalik makna dari aktivitas tersebut sangatlah mengandung banyak arti. Dalam
aktivitas yang mereka lakukan itu menandakan bahwa mereka sedang mempraktikan
hubungan kemanusiaan mereka dengan manusia lainnya, menerapkan keramah tamahan,
saling membantu satu sama lain dan banyak hal yang didapatkan dari aktivitasa
keseharian tersebut.
Para petani yang dulu bertani, mereka bukan hanya
semata-mata untuk mencari uang saja, tetapi ada system sosial ketika mereka
sedang melakukan aktivitas di sawahnya. Jadi, bisa dikatakan dulu kegiatan berekonomi
itu merupakan kegiatan bersosialiasi mereka. Namun sekarang? Sudah berbeda.
Semuanya sudah dikomersialkan, logikanya sudah berubah menjadi logika capital
dan logika uang semata. Kebersamaan itu semakin berkurang antar masyarakatnya.
Dulu juga bisa dikatakan “hubunganku denganmu adalah yuk sama-sama hidup
bareng, kita punya sawah mari digarap bersama”. Ditambah lagi, selain ada
perubahan di sector pertanian. Revolusi hijau juga menyerang di sector non
pertanian yang dimana para petani-petani kecil yang dulu menggarap tanahnya.
Akibat dari revjau tersebut mereka akhirnya tersingkirkan juga dan beralih
pekerjaan ke sector non pertanian, seperti menjadi pedagang kecil, dll. Namun,
tidak hanya berbicara di sector pertanian saja, melainkan di sector non pertanian
pun sama masih dijajah dengan system capital seperti halnya di pertanian. Bisa
juga dikatakan dengan istilah keluar kandang singa masuk kandang macan.
Mengertikah dengan istilah ini? Filosofis dan ironis sekali ya.
Ketika mereka beralih ke non pertanian, bukan berarti
masalah yang ada itu selesai begitu saja. Namun, semakin lebih kompleks
masalahnya. Mereka berhasil menggiring masyarakat untuk masuk ke roda
perkapitalisan mereka yang dimana ketika masyarakat beralih ke sector non
pertanian, apa yang masyarakat perdagangkan? Masayarakat memperdagangkan
produk-produk mereka. Dengan begitu semakin lancarlah roda perputaran itu.
Mungkin ya tidak masalah jika petani yang beralih ke non pertanian
memperdagangkan produk asli mereka sendri, seperti menjual hasil taninya. Hal
itu bisa dikatakan lebih berdaulat.
Lalu bagaimana solusinya?
Coba pikirkan lalu bagikan ya disini :D
1 komentar:
the green revolutions itu awal dari kehancuran petani...
Posting Komentar