Start

Senin, 02 Mei 2016

Ingatan Tentang Revolusi Hijau



By Nur’aeni
Community Development Of Islam

Teman-teman pernah mendengar dengan istilah Revolusi Hijau?
Jika belum mendengar saya rasa itu tidak mungkin, apalagi jika anda sebagai seseorang yang akan mengembangkan masyarakat, maka sangat diharuskan sekali untuk terlebih dahulu mengenal apa itu Revolusi Hijau dan bagaimana dampak dari Revolusi Hijau tersebut. 

Disini saya akan mencoba menceritakan sedikit pengetahuan tentang Revolusi Hijau yang saat ini masih menjadi topic atau bahan pembahasan perkuliahan saya. Revolusi Hijau merupakan sebuah program yang diberikan oleh pemerintah Orde Baru kepada masyarakat tani agar bisa memperoleh peningkatan produksi padi di ranah Nasional. Munculnya program ini dimulai dengan adanya pengenalan mengenai bibit unggul, obat pemberantas hama, alat-alat produksi modern seperti traktor yang bisa lebih efisien dalam menggarap lahan petani padi itu yang dimana dapat mengalihkan peran tenaga manusia dengan alat mesin yang lebih canggih. Program Revolusi Hijau ini mulai di intensifikasi kepada masyarakat di tahun 1968. 

Memang diakui, adanya penerapan program ini telah berhasil meningkatkan produksi padi setiap tahunnya. Yang dulu hanya panen satu kali, berkat adanya program baru ini bisa menjadi dua sampai tiga kali panen pertahun. Sedikit memaksakan sekali ya! Memang itulah yang diharapkan oleh pemerintah orde baru, karena tidak ingin mengulang sejarah sebelumnya yang pernah mengalami kelangkaan sumber pangan. Dengan adanya Revolusi Hijau mampu memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Indah  bukan cita-citanya. Namun, sejatinya tidak demikian.

Dulu, para petani masih sangat bebas dalam menentukan bibit untuk menanam padi. Ketika Revolusi Hijau mulai dikhutbahkan oleh Pemerintah Orde Baru, maka masyarakat saat itu harus mengikuti intruksi dari khutbah tersebut agar memakai bibit-bibit padi varietas unggul yang diberikan oleh pemerintah yang dimana dengan menggunakan bibit tersebut mampu meningkatkan kuantitas produksi padi itu sendiri. Hal itu berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara yang berswasembada beras di tahun 1984 dan sudah tidak lagi menjadi negara pengimpor beras.

Jika kita lihat dari tujuannya memanglah dinilai sangat bagus. Namun, disisi lain revolusi hijau ini hanya menguntungkan petani lapisan menengah ke atas yang memiliki tanah diatas 0,5 hektar[1]. Dengan memiliki tanah yang luas maka petani itu mampu menerapkan program revolusi hijau berupa traktorisasi dengan tidak merugikan mereka. Lalu? Bagaimana dengan petani biasa yang hanya memiliki sepetak tanah? Ia tidak mungkin menerapkan program revolusi hijau tersebut dikarenakan jika ia menerapkan, yang ada hanya kerugian yang ia dapatkan. Bukannya untung malah buntung. Apalagi, program ini hanya memberikan subsidi kepada petani yang sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu yang dimana kriteria tersebut menganaktirikan petani kecil. Bisa dikatakan juga sebagai pemiskinan secara perlahan.

Dengan berjalannya waktu, setelah Indonesia berhasil mengalami peningkatan produksi padi yang signifikan. Namun, lama-kelamaan produksi padi kembali menurun. Hal itu dakibatkan karena efek dari pemberian pupuk kimia secara berlebihan yang memaksakan untuk bisa panen lebih cepat setiap tahunnya. Hal itu lah yang menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan produksi padi. Dengan terlalu seringnya memberikan pupuk berbahan kimia atas nama revolusi hijau tersebut dapat mengurangi kesuburan tanah yang ada. 

Selain itu juga, adanya revolusi hijau berhasil merombak system perekonomian desa yang dulunya bersifat subsisten berubah menjadi komersial. Itu artinya program revolusi hijau telah sukses dalam mendokrin atau mengubah idiologi masyarakat terdahulu menjadi idiologi baru yang mereka programkan. Akibat program ini, manusia sudah teralineasi dari system kerjanya. Dulu bekerja untuk memenuhi kebutuhan perut dan lebih berdaulat. Sedangkan sekarang sudah tidak demikian lagi. Maksud dari berdaulat itu, para petani yang menggarap sawahnya, hasil dari sawahnya itu untuk makan mereka sendiri tidak menjadikan padi sebagai barang komoditas yang pada akhirnya menyengsarakan nasib mereka sendiri dan mengntungkan para pemodal yang membeli padi mereka dengan harga yang sangat murah. Kalau seperti ini gimana petani mau sejahtera?

Orang miskin saat ini bukan hanya yang tidak mempunyai harta. Namun, orang miskin itu yang dimana tidak mempunyai akses untuk memperoleh harta itu. Sebenarnya apa yang salah? System kah? Pikirkan saja. Ketidak sejahteraan ini terjadi bukan karena tiba-tiba atau sekonyong-konyong ada, melainkan itu semua memang diciptakan sedemikian rupa untuk memperlancar tujuan mereka orang-orang capital agar negara yang ditargetkannya tetap menjadi negara yang miskin yang tidak akan mampu menyaingi mereka. 

Kita sebagai calon pengembangan masyarakat mampukah untuk mengembalikan idiologi mereka yang dulu? Saya rasa itu sangatlah sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat telah berhasil diserang pemikirannya untuk mengikuti intruksi tersebut dan dengan berjalannya waktu mereka pun hanyut ke dalamnya tanpa mereka sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang dulu sudah mulai pudar secara tidak langsung lenyap ditelan masa.

Jika kita membayangkan pemandangan para petani yang sedang melakukan aktivitasnya di sawah, perasaan kagum dan bahagia itu sudah pasti ada. Karena kita tidak hanya melihat cangkul dan padi saja. Namun, dibalik makna dari aktivitas tersebut sangatlah mengandung banyak arti. Dalam aktivitas yang mereka lakukan itu menandakan bahwa mereka sedang mempraktikan hubungan kemanusiaan mereka dengan manusia lainnya, menerapkan keramah tamahan, saling membantu satu sama lain dan banyak hal yang didapatkan dari aktivitasa keseharian tersebut.

Para petani yang dulu bertani, mereka bukan hanya semata-mata untuk mencari uang saja, tetapi ada system sosial ketika mereka sedang melakukan aktivitas di sawahnya. Jadi, bisa dikatakan dulu kegiatan berekonomi itu merupakan kegiatan bersosialiasi mereka. Namun sekarang? Sudah berbeda. Semuanya sudah dikomersialkan, logikanya sudah berubah menjadi logika capital dan logika uang semata. Kebersamaan itu semakin berkurang antar masyarakatnya. Dulu juga bisa dikatakan “hubunganku denganmu adalah yuk sama-sama hidup bareng, kita punya sawah mari digarap bersama”. Ditambah lagi, selain ada perubahan di sector pertanian. Revolusi hijau juga menyerang di sector non pertanian yang dimana para petani-petani kecil yang dulu menggarap tanahnya. Akibat dari revjau tersebut mereka akhirnya tersingkirkan juga dan beralih pekerjaan ke sector non pertanian, seperti menjadi pedagang kecil, dll. Namun, tidak hanya berbicara di sector pertanian saja, melainkan di sector non pertanian pun sama masih dijajah dengan system capital seperti halnya di pertanian. Bisa juga dikatakan dengan istilah keluar kandang singa masuk kandang macan. Mengertikah dengan istilah ini? Filosofis dan ironis sekali ya.

Ketika mereka beralih ke non pertanian, bukan berarti masalah yang ada itu selesai begitu saja. Namun, semakin lebih kompleks masalahnya. Mereka berhasil menggiring masyarakat untuk masuk ke roda perkapitalisan mereka yang dimana ketika masyarakat beralih ke sector non pertanian, apa yang masyarakat perdagangkan? Masayarakat memperdagangkan produk-produk mereka. Dengan begitu semakin lancarlah roda perputaran itu. Mungkin ya tidak masalah jika petani yang beralih ke non pertanian memperdagangkan produk asli mereka sendri, seperti menjual hasil taninya. Hal itu bisa dikatakan lebih berdaulat.

Lalu bagaimana solusinya?
Coba pikirkan lalu bagikan ya disini :D



[1] Data dari hasil penelitian IRE (institute For Research and Empowerment) Yogyakarta

1 komentar:

Unknown mengatakan...

the green revolutions itu awal dari kehancuran petani...