Start

Minggu, 02 Oktober 2016

Ini Ceritaku.......





 (Nuy)

Mana ceritamu?

Saya terlahir dari keluarga yang sederhana. Hidup pas-pasan yang penting ada buat makan itu cukup buat saya. Ibu dan ayahku berlatar belakang pendidikan pesantren. Ayahku dulu hidup lama di sebuah pesantren yang ada di Cirebon, yaitu Babakan Ciwaringin. Sekitar 9 tahunan ayahku nyantri di pesantren tersebut. Begitu juga dengan ibuku, ibuku nyantri sekitar 6 tahunan di sebuah pesantren yang bernamakan pesantren Jagasatru. Kyainya bernama Kang ayip Muh, itulah panggilan akrab yang biasa dipakai oleh para santri dan jamaahnya.

            Perputaran roda kehidupan telah dialami oleh kedua orang tuaku. Ayahku pernah berprofesi sebagai pedagang dan juga pernah menjadi bos di pabrik permen yang dimiliki oleh kakekku. Ayahku telah banyak berganti-ganti profesi. Dia juga pernah berdagang asongan, dagang nasi uduk, dan lain sebagainya. Hingga suatu hari, ayahku terkena penyakit struk yang menjadikan tubuhya mati sebelah. Tubuh bagian kanannya bisa dikatakan sudah tidak berfungsi seperti sebelumnya. Saat penyakit struk itu dideritanya, ia hanya bisa berjalan dengan menggeret kaki kanannya. Hal itu sudah saya ketahui pada saat saya masih kecil. Jadi, saya sudah melihat keadaan ayah saya dalam keadaan sudah terkena struk. Meskipun begitu ayahku tidak melepaskan tanggung jawab untuk terus mencari nafkah demi anak-anak dan istrinya. Ayah dan ibuku dikaruniai banyak anak hingga sampai 8 anak. Namun, hanya tersisa 6 anak karena 2 anaknya meninggal. Satu anak meninggal karena penyakit kejang dan satu nya lagi meninggal pada saat kelahiran. Saat itu, ayahku diharuskan memilih salah satu antara ibuku dan anaknya yang mesti diselamatkan. Akhirnya, ayahku memutuskan untuk menyelamatkan ibuku saja. Dan saat itulah anak yang dilahirkan oleh ibuku tidak terselamatkan. Saya kira itu pilihan yang tersulit untuk kedua orang tuaku. Mungkin itulah jalan yang terbaik yang harus dipilih oleh ayahku.

            Disisi cerita dari pengalaman kedua orang tuaku, sayapun ingin mengalihkan tulisan ini ke pengalaman hidup yang pernah saya rasakan. Ketika saya masih kecil, saya disekolahkan oleh orang tua saya di sekolah umum, yaitu SD. Saat itu merupakan pertama kali saya dikenalkan oleh pendidikan. Disitu pula saya dapat mengenal guru, teman-teman dan belajar baca tulis dari abjad A sampai dengan Z. Dikelas satu SD sedikit demi sedikit dengan dibantu oleh usaha guru saya dibimbing untuk bisa membaca, dimulai dari jilid 1 hingga jilid 2. Saya masih ingat jelas dimana buku jilid 1 merupakan buku pertama kali yang bisa mengantarku mengenal huruf-huruf , buku itu berwarna kuning. Ketika 1 jilid sudah saya kuasai. Saya pun berlanjut ke jilid 2 untuk melancarkan cara bacaan saya agar lebih memantapkan lagi. Saat pertama kali saya sekolah disitu saya masih sangat awam sekali dalam hal belajar jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. Teman-temanku yang lain bisa dikatakan sudah mengenal lebih dulu tentang belajar, karena mereka telah diperkenalkan huruf-huruf sejak mereka sekolah TK. Saat itu saya benar-benar merasa menjadi orang yang paling bodoh karena saya pikir kok saya baru ya mengenal huruf-huruf abjad ini, berbeda dengan teman-temanku. Sehingga tidak aneh jika diawal sekolahku saya tidak mendapatkan peringkat yang bagus.  Ketika guru saya menyuruh murid-muridnya untuk belajar. Saat itu pun saya tidak mengerti bagaimana caranya belajar. Belajar yang seperti apa yang guruku maksudkan. Jadi, saya hanya mengikuti seperti air mengalir saja. Kerjaan saya saat itu hanya sekolah dan main. Orang tuaku tidak begitu perhatian mengenai pembelajaran sekolahku. Hal itu dikarenakan keawaman atau kurang pengalaman dari orang tua saya sendiri. Sehingga saat itu seolah-olah saya berjalan dan mencari tau sendiri dalam mengatasi problem-problem hidup yang saya alami saat itu. Hingga yang saya tau pada saat itu yang namanya belajar ya di sekolah. Ada guru dan ada murid, disitu kita belajar. Ketika sampai rumah letakkan tas dan kembali main bareng teman-teman. 

            Pada saat saya kelas 2 SD saya pernah mendapatkan suatu pengalaman yang menyedihkan ketika berkali-kali saya mendapatkan nilai nol saat mengerjakan soal latihan matematika yang diberikan oleh guru saya sehingga saya tidak boleh pulang saat itu. Namun, ketika berkali-kali mendapatkan nilai nol berkali kali juga saya mengerjakan soal tersebut sampai saya tidak mendapatkan nol lagi. Malu memang, tapi mau gimana lagi pada saat itu saya benar-benar masih menjadi orang yang terbodoh di kelas. Sudah dua tahun saya sekolah, mulai ada kemajuan sedikit dalam hal peringkat kelas. Saat kelas dua saya mulai masuk 10 besar. Dan tidak disangka ketika saya memasuki kelas 3 SD saya mendapatkan peringkat ke 3 dari 40 siswa. Disitu benar-benar saya tidak mempercayai akan hal itu. Namun, disisi lain saya sangat senang karena ketika saya masuk ke dalam 3 besar di kelas, guru-guu mulai mengenali saya dan mulai saat itulah saya merasa dianggap keberadaannya. Mungkin sebelumnya saya hanya berada diruang gelap yang tidak bisa terlihat oleh mata. Sehingga keberadaanku seolah-olah tidak ada dan merasa tidak dianggap. Setelah mendapatkan peringkat tersebut saya mulai bersemangat belajar agar bisa mendapatkan lebih dari itu. saya ingin mengejar peringkat pertama untuk menyusul temanku. Jadi, ketika saya mulai dikenal oleh guruku karena dari hasil peringkat tersebut. Saya mulai berpikiran bahwa sekolah itu untuk mengejar nilai agar bisa mendapatkan pengakuan dari guru-guru. Yang ada dipikiran saya rangking rangking dan rangking tanpa memperhatikan hal lainnya. Dengan memperoleh peringkat saya bisa mendapatkan hadiah buku dari guru. Semakin tinggi peringkat semakin tebal hadiah buku yang diberikan. Saya termotivasi oleh hadiah tersebut. Saya sempat menyombongkan diri dengan apa yang saya peroleh. Saya merasa sudah tidak bodo lagi seperti awal masuk sekolah. Kelas 3 sampai dengan kelas 6 saya selalu masuk ke peringkat 3 besar. Sudah merasakan peringkat 1, 2 dan 3. Entah betapa bodohnya saya saat itu yang sudah mengaggap bahwa rangking lah yang menjadi tujuan belajar saya. 

            Saat saya akan menyelesaikan sekolah dasarku. Saya mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan di pesantren alias mondok sekaligus melanjutkan sekolah umum. Namun, ibuku tidak mengijinkannya dikarenakan keadaan yang sudah tidak mendukung. Ayahku yang sempat mengamanahkan ke saya untuk lanjut ke pondok pesantren kini sudah meninggal dunia pada saat saya masih duduk di kelas 4 SD dan orang tua masih menanggung banyak beban yang ia tanggung. Sehingga saya pun disarankan untuk tetap lanjut di sekolah umum saja. Jika saya memaksakan keinginan saya untuk mondok ditakutkan ibu saya tidak kuat dengan biayanya. Pada akhirnya saya pun mengikuti saja. 

            Setelah menyelesaikan sekolah SD saya terus melanjutkan pendidikan saya hingga saya SMA. Dan masih dengan kebodohan yang sama bahwa sekolahku itu hanya untuk mengejar nilai semata yang menjadikan saya mempunyai tujuan untuk terus mendapatkan rangking 3 besar. Jika tidak 3 besar saya benar-benar sangat berdosa dengan diri saya sendiri dan benar-benar akan menyalahkan diri saya. Jadi, sebisa mungkin saya usahakan untuk tetap masuk peringkat 3 besar. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa hal itu tidak lah baik buat saya. Nilai akhir bukanlah prioritas utama kita dalam belajar. Namun kita harus memperhatikan benar-benar prosesnya. Proses itu lebih penting dari pada hasil. Karena proses tidak akan membohongi hasil.  

Singkat cerita saja, ketika saya kuliah. Saya harus mulai meluruskan niat untuk jangan terlalu mengejar-ngejar nilai. Karena menurutku percuma nilainya besar ketika kualitas keilmuannya masih sangat kurang. Saat ini pun ternyata saya masih tetap dengan pikiran yang sama untuk terus mendapatkan nilai besar. Namun, kini berbeda cerita. Kalau dulu pada masa sekolah saya harus mendapatkan peringkat 3 besar untuk bisa mendapat pengakuan dari guru-guru agar bisa dianggap keberadan saya. Tapi, saat kuliah ini mempertahankan nilai agar tetap bisa mendapatkan beasiswa. Karena ketika nilai ip turun dibawah standard rata-rata maka akan dicabut dengan begitu saja. Sedangkan saat ini saya kuliah masih mengandalkan uang beasiswa saja. Modal saya kuliah hanya bermodalkan nekat demi untuk mengenyam dan menuntut ilmu di perguruan tinggi. Ini bahkan lebih bodoh lagi, karena hingga detik ini saya masih merepotkan negara. Kuliah ku ini bukan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, enak, ber AC, dan punya kantor yang nyaman. Akan  tetapi, saya menuntut ilmu ini agar bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya dan mampu mengangkat derajat keluarga. Karena bisa dikatakan bahwa saya merupakan generasi pertama yang kuliah. Kakak-kakaku sebelumnya tidak ada yang menyelesaikan sekolah. Minimal hanya sampai SMK saja. Tidak heran jika jurusan yang saat ini sedang saya jalani itu jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Dengan begitu semoga bisa mengantarkan saya untuk bisa memahami dan belajar bersama masyarakat untuk bisa hidup bersama dengan kesejahteraan yang sebenarnya. Mampu mempelajari realitas kehidupan yang sesungguhnya. Dengan begitu mampu mengantarkan saya untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Menjadi manusia yang mempunyai hubungan baik dengan Tuhan dan makhluknya. 

Saya tidak memikirkan akan menjadi apakah diriku di masa depan. Yang terpenting saat ini saya harus menuntut ilmu dimanapun dan bersama siapapun. Kita tahu bukan bahwa seseorang hidup dan memiliki ilmu maka ia akan menjadi manusia bermanfaat selagi menerapkan ilmu yang diperolehnya selama ini. Tentunya bukan hanya untuk diri sendiri namun untuk kebahagiaan orang banyak.

Sukses selalu untuk semua manusia dimuka bumi ini yang masih punya hati nurani yang hidup. Yang masih punya rasa peduli terhadap manusia lainnya. Semoga perjalanan hidup kita tidak ternodai oleh hal-hal yang dapat merusak relasi kita sebagai manusia. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai “kholifah fil ard”, maka jagalah amanah besar itu….











Tidak ada komentar: