(Nuy)
Mana ceritamu?
Saya terlahir dari keluarga yang sederhana. Hidup
pas-pasan yang penting ada buat makan itu cukup buat saya. Ibu dan ayahku
berlatar belakang pendidikan pesantren. Ayahku dulu hidup lama di sebuah
pesantren yang ada di Cirebon, yaitu Babakan Ciwaringin. Sekitar 9 tahunan
ayahku nyantri di pesantren tersebut. Begitu juga dengan ibuku, ibuku nyantri
sekitar 6 tahunan di sebuah pesantren yang bernamakan pesantren Jagasatru.
Kyainya bernama Kang ayip Muh, itulah panggilan akrab yang biasa dipakai oleh
para santri dan jamaahnya.
Perputaran roda kehidupan telah
dialami oleh kedua orang tuaku. Ayahku pernah berprofesi sebagai pedagang dan
juga pernah menjadi bos di pabrik permen yang dimiliki oleh kakekku. Ayahku
telah banyak berganti-ganti profesi. Dia juga pernah berdagang asongan, dagang
nasi uduk, dan lain sebagainya. Hingga suatu hari, ayahku terkena penyakit
struk yang menjadikan tubuhya mati sebelah. Tubuh bagian kanannya bisa
dikatakan sudah tidak berfungsi seperti sebelumnya. Saat penyakit struk itu
dideritanya, ia hanya bisa berjalan dengan menggeret kaki kanannya. Hal itu
sudah saya ketahui pada saat saya masih kecil. Jadi, saya sudah melihat keadaan
ayah saya dalam keadaan sudah terkena struk. Meskipun begitu ayahku tidak
melepaskan tanggung jawab untuk terus mencari nafkah demi anak-anak dan
istrinya. Ayah dan ibuku dikaruniai banyak anak hingga sampai 8 anak. Namun,
hanya tersisa 6 anak karena 2 anaknya meninggal. Satu anak meninggal karena
penyakit kejang dan satu nya lagi meninggal pada saat kelahiran. Saat itu,
ayahku diharuskan memilih salah satu antara ibuku dan anaknya yang mesti
diselamatkan. Akhirnya, ayahku memutuskan untuk menyelamatkan ibuku saja. Dan
saat itulah anak yang dilahirkan oleh ibuku tidak terselamatkan. Saya kira itu
pilihan yang tersulit untuk kedua orang tuaku. Mungkin itulah jalan yang
terbaik yang harus dipilih oleh ayahku.
Disisi
cerita dari pengalaman kedua orang tuaku, sayapun ingin mengalihkan tulisan ini
ke pengalaman hidup yang pernah saya rasakan. Ketika saya masih kecil, saya
disekolahkan oleh orang tua saya di sekolah umum, yaitu SD. Saat itu merupakan
pertama kali saya dikenalkan oleh pendidikan. Disitu pula saya dapat mengenal
guru, teman-teman dan belajar baca tulis dari abjad A sampai dengan Z. Dikelas
satu SD sedikit demi sedikit dengan dibantu oleh usaha guru saya dibimbing
untuk bisa membaca, dimulai dari jilid 1 hingga jilid 2. Saya masih ingat jelas
dimana buku jilid 1 merupakan buku pertama kali yang bisa mengantarku mengenal
huruf-huruf , buku itu berwarna kuning. Ketika 1 jilid sudah saya kuasai. Saya
pun berlanjut ke jilid 2 untuk melancarkan cara bacaan saya agar lebih
memantapkan lagi. Saat pertama kali saya sekolah disitu saya masih sangat awam
sekali dalam hal belajar jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain.
Teman-temanku yang lain bisa dikatakan sudah mengenal lebih dulu tentang
belajar, karena mereka telah diperkenalkan huruf-huruf sejak mereka sekolah TK.
Saat itu saya benar-benar merasa menjadi orang yang paling bodoh karena saya
pikir kok saya baru ya mengenal huruf-huruf abjad ini, berbeda dengan
teman-temanku. Sehingga tidak aneh jika diawal sekolahku saya tidak mendapatkan
peringkat yang bagus. Ketika guru saya
menyuruh murid-muridnya untuk belajar. Saat itu pun saya tidak mengerti
bagaimana caranya belajar. Belajar yang seperti apa yang guruku maksudkan.
Jadi, saya hanya mengikuti seperti air mengalir saja. Kerjaan saya saat itu
hanya sekolah dan main. Orang tuaku tidak begitu perhatian mengenai
pembelajaran sekolahku. Hal itu dikarenakan keawaman atau kurang pengalaman
dari orang tua saya sendiri. Sehingga saat itu seolah-olah saya berjalan dan
mencari tau sendiri dalam mengatasi problem-problem hidup yang saya alami saat
itu. Hingga yang saya tau pada saat itu yang namanya belajar ya di sekolah. Ada
guru dan ada murid, disitu kita belajar. Ketika sampai rumah letakkan tas dan
kembali main bareng teman-teman.
Pada
saat saya kelas 2 SD saya pernah mendapatkan suatu pengalaman yang menyedihkan
ketika berkali-kali saya mendapatkan nilai nol saat mengerjakan soal latihan
matematika yang diberikan oleh guru saya sehingga saya tidak boleh pulang saat
itu. Namun, ketika berkali-kali mendapatkan nilai nol berkali kali juga saya mengerjakan
soal tersebut sampai saya tidak mendapatkan nol lagi. Malu memang, tapi mau
gimana lagi pada saat itu saya benar-benar masih menjadi orang yang terbodoh di
kelas. Sudah dua tahun saya sekolah, mulai ada kemajuan sedikit dalam hal
peringkat kelas. Saat kelas dua saya mulai masuk 10 besar. Dan tidak disangka
ketika saya memasuki kelas 3 SD saya mendapatkan peringkat ke 3 dari 40 siswa.
Disitu benar-benar saya tidak mempercayai akan hal itu. Namun, disisi lain saya
sangat senang karena ketika saya masuk ke dalam 3 besar di kelas, guru-guu
mulai mengenali saya dan mulai saat itulah saya merasa dianggap keberadaannya.
Mungkin sebelumnya saya hanya berada diruang gelap yang tidak bisa terlihat
oleh mata. Sehingga keberadaanku seolah-olah tidak ada dan merasa tidak
dianggap. Setelah mendapatkan peringkat tersebut saya mulai bersemangat belajar
agar bisa mendapatkan lebih dari itu. saya ingin mengejar peringkat pertama
untuk menyusul temanku. Jadi, ketika saya mulai dikenal oleh guruku karena dari
hasil peringkat tersebut. Saya mulai berpikiran bahwa sekolah itu untuk
mengejar nilai agar bisa mendapatkan pengakuan dari guru-guru. Yang ada
dipikiran saya rangking rangking dan rangking tanpa memperhatikan hal lainnya.
Dengan memperoleh peringkat saya bisa mendapatkan hadiah buku dari guru.
Semakin tinggi peringkat semakin tebal hadiah buku yang diberikan. Saya
termotivasi oleh hadiah tersebut. Saya sempat menyombongkan diri dengan apa
yang saya peroleh. Saya merasa sudah tidak bodo lagi seperti awal masuk sekolah.
Kelas 3 sampai dengan kelas 6 saya selalu masuk ke peringkat 3 besar. Sudah
merasakan peringkat 1, 2 dan 3. Entah betapa bodohnya saya saat itu yang sudah
mengaggap bahwa rangking lah yang menjadi tujuan belajar saya.
Saat
saya akan menyelesaikan sekolah dasarku. Saya mempunyai keinginan untuk
melanjutkan pendidikan di pesantren alias mondok sekaligus melanjutkan sekolah
umum. Namun, ibuku tidak mengijinkannya dikarenakan keadaan yang sudah tidak
mendukung. Ayahku yang sempat mengamanahkan ke saya untuk lanjut ke pondok
pesantren kini sudah meninggal dunia pada saat saya masih duduk di kelas 4 SD
dan orang tua masih menanggung banyak beban yang ia tanggung. Sehingga saya pun
disarankan untuk tetap lanjut di sekolah umum saja. Jika saya memaksakan keinginan
saya untuk mondok ditakutkan ibu saya tidak kuat dengan biayanya. Pada akhirnya
saya pun mengikuti saja.
Setelah
menyelesaikan sekolah SD saya terus melanjutkan pendidikan saya hingga saya
SMA. Dan masih dengan kebodohan yang sama bahwa sekolahku itu hanya untuk
mengejar nilai semata yang menjadikan saya mempunyai tujuan untuk terus
mendapatkan rangking 3 besar. Jika tidak 3 besar saya benar-benar sangat
berdosa dengan diri saya sendiri dan benar-benar akan menyalahkan diri saya.
Jadi, sebisa mungkin saya usahakan untuk tetap masuk peringkat 3 besar. Seiring
berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa hal itu tidak lah baik buat saya.
Nilai akhir bukanlah prioritas utama kita dalam belajar. Namun kita harus
memperhatikan benar-benar prosesnya. Proses itu lebih penting dari pada hasil.
Karena proses tidak akan membohongi hasil.
Singkat cerita saja, ketika saya kuliah. Saya harus
mulai meluruskan niat untuk jangan terlalu mengejar-ngejar nilai. Karena
menurutku percuma nilainya besar ketika kualitas keilmuannya masih sangat
kurang. Saat ini pun ternyata saya masih tetap dengan pikiran yang sama untuk
terus mendapatkan nilai besar. Namun, kini berbeda cerita. Kalau dulu pada masa
sekolah saya harus mendapatkan peringkat 3 besar untuk bisa mendapat pengakuan
dari guru-guru agar bisa dianggap keberadan saya. Tapi, saat kuliah ini
mempertahankan nilai agar tetap bisa mendapatkan beasiswa. Karena ketika nilai
ip turun dibawah standard rata-rata maka akan dicabut dengan begitu saja.
Sedangkan saat ini saya kuliah masih mengandalkan uang beasiswa saja. Modal
saya kuliah hanya bermodalkan nekat demi untuk mengenyam dan menuntut ilmu di
perguruan tinggi. Ini bahkan lebih bodoh lagi, karena hingga detik ini saya
masih merepotkan negara. Kuliah ku ini bukan untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak, enak, ber AC, dan punya kantor yang nyaman. Akan tetapi, saya menuntut ilmu ini agar bisa
menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya dan mampu mengangkat
derajat keluarga. Karena bisa dikatakan bahwa saya merupakan generasi pertama
yang kuliah. Kakak-kakaku sebelumnya tidak ada yang menyelesaikan sekolah.
Minimal hanya sampai SMK saja. Tidak heran jika jurusan yang saat ini sedang
saya jalani itu jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Dengan begitu semoga
bisa mengantarkan saya untuk bisa memahami dan belajar bersama masyarakat untuk
bisa hidup bersama dengan kesejahteraan yang sebenarnya. Mampu mempelajari
realitas kehidupan yang sesungguhnya. Dengan begitu mampu mengantarkan saya
untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Menjadi manusia yang mempunyai hubungan
baik dengan Tuhan dan makhluknya.
Saya tidak memikirkan akan menjadi apakah diriku di
masa depan. Yang terpenting saat ini saya harus menuntut ilmu dimanapun dan
bersama siapapun. Kita tahu bukan bahwa seseorang hidup dan memiliki ilmu maka
ia akan menjadi manusia bermanfaat selagi menerapkan ilmu yang diperolehnya
selama ini. Tentunya bukan hanya untuk diri sendiri namun untuk kebahagiaan
orang banyak.
Sukses selalu untuk semua manusia dimuka bumi ini yang
masih punya hati nurani yang hidup. Yang masih punya rasa peduli terhadap
manusia lainnya. Semoga perjalanan hidup kita tidak ternodai oleh hal-hal yang
dapat merusak relasi kita sebagai manusia. Manusia diciptakan oleh Allah
sebagai “kholifah fil ard”, maka
jagalah amanah besar itu….


