Start

Rabu, 11 November 2015

Dakwah Bil Mujadalah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dakwah merupakan tugas kita bersama untuk menjadikan manusia melakukan suatu perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Namun dalam perjalanan menyampaikan suatu kebaikan, harus bisa melihat situasi dan kondisi tempat dan sasaran dakwah dengan tepat. Dalam menyampaikannya tidak sembarang begitu saja, terdapat beberapa metode bagaimana caranya agar dakwah tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Adapun caranya, bisa melalui dengan bil-hikmah, mauidzoh khasanah, dan mujadalah atau yang biasa kita kenal dengan berdebat dengan cara yang baik.  Dalam mujadalah ini sangat diperlukan sekali untuk para juru dakwah yang akan berinteraksi langsung dengan si penerima dakwah. Dalam mujadalah pun di dalamnya terdapat suatu perdebatan mengenai masalah agama yang masih perlu diperdebatkan. Dan tentunya harus mempunyai landasan yang tepat agar mujadalah ini bisa dilakukan dengan baik dan tanpa adanya kekecewaan antar dua belah pihak.
Oleh karean itu, perlulah disusun makalah mengenai mujadalah ini agar para juru dakwah dapat memahami dan melaksanakan dakwah dengan cara mujadalah yang sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan.
B.     Rumusan Masalah
Dalam penyusan makalah tentang mujadalah ini, mempunyai rumusan masalah, sebagai berikut :
1.      Bagaimana dakwah dengan cara mujadalah menurut metodolgi dakwah Islam ?

C.    Tujuan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini mempunyai tujuan agar pembaca bisa memahami dan mengaplikasikan apa itu dakwah melalui mujadalah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Metode dan Dakwah
Al-uslub (metode) adalah kata yang berasal dari fi’il (kata kerja) salaba yang artinya menang atau membunuh. Sedangkan al-istilab adalah al-ikhtilas atau al-salb yang artinya adalah berjalan pelan namun cepat. Sedangkan al-uslub adalah cara atau seni. Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan, cara). Sumber lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab disebut thariq. Dalam bahasa latin metode berasal dari kata methodus yang berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa inggris method dijelaskan dengan methode atau cara[1].
Menurut al-Bustaniy, perkataan dakwah adalah perkataan Arab yang pada asalnya berarti seruan, panggilan, jemputan atau undangan. Manakala dari segi istilah pula, para ulama telah mengemukakan beberapa definisi. Menurut al-Ghalwasy, perkataan dakwah dua pengertian, yaitu agama Islam dan kegiatan menyebarkan agama Islam. Sheikh Prof. dr. Abdul Karim Zaidan pula menyatakan bahwa dakah ialah panggilan atau seruan ke jalan Allah ta’ala. Yaitu agama Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Manakala menurut Al-Ansari, usaha membentuk perbuatan atau percakapan untuk menarik manusia kepada kebaikan dan mendapat petunjuk Allah Ta’ala dalam kehidupan mereka[2]
Jadi, dari beberapa pengertian yang telah disebutkan saya mengartikan bahwa dakwah merupakan usaha seseorang untuk menyampaikan suatu kebaikan agar orang yang diajak tersebut bisa mengikuti dan menjalankan suatu kebaikan yang telah disampaikan tersebut.

            Kaitannya dengan metode dakwah, ada beberapa pendapat tentang definisi metode dakwah, antara lain:
Ø  Menurut Al-Bayanuni metode dakwah adalah cara yang ditempuh oleh pendakwah dalam berdakwah atau cara menerapkan strategi dakwah.
Ø  Menurut Said bin Ali al-Qahthani, metode dakwah adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara berkomunikasi secara langsung dan mengatasi kendala-kendalanya.
Ø  Menurut ‘Abd al-Karim Zaidan, metode dakwah (Uslub al-da’wah) adalah ilmu yang terkait dengan cara melangsungkan penyampaian pesan dakwah dan mengatasi kendala-kendalanya.
Banyaknya ayat Al-Qur’an yang mengungkap masalah dakwah. Tetapi dari sekian banyak ayat yang memuat prinsip-prinsip dakwah itu ada satu ayat yang memuat sandaran dasar dan fundamen pokok bagi metodologi dakwah. Tentunya metodologi tersebut sebaiknya tidak dilewatkan oleh para juru dakwah demi kesuksesan dakwahnya. Ayat al-Qur’an yang dimaksudkan adalah QS. An-Nahl : 125. Begitu pentingnya ayat tersebut untuk kepentingan metodologi dakwah sehingga kita harus memahaminya lewat pendekatan tafsir. Dari situlah kita akan dapat mengenal garis besar metodologi dakwah Islam. Sebagai langkah awal dalam memperbincangkan ayat tersebut, kita sebaiknya mengetahui kosa kata yang terdapat pada ayat tersebut. Lewat konteks etimologis dan terminologis. Sehingga dengan metodologi kajian seperti itu, kita akan mengetahui keistimewaan ayat tersebut, disamping untuk menghindari kerancuan pemikiran kita, juga untuk menjauhi penyimpangan dari jalan yang benar dalam memahami makna, maksud dan hikmah yang ada dalam al-Qur’an.[3]
B.     Mujadalah
Al-Mujadalah berasal dari perkataan jadal yang bermaksud berdebat, berselisih, dan berbalah. Tetapi, mujadalah dalam konteks dakwah pula bermaksud diskusi atau bertukar pikiran dan pendapat[4].
Dakwah bil Mujadalah adalah berdakwah dengan mengadakan tukar pikiran yang sebaik-baiknya. Sayid Qutub menjelaskan dalam Fi zhilal Al-Qur’an tentang cara dialog yang baik, yaitu bertukar pikiran (dialog yang lembut tidak memberatkan pihak yang diajak berdialog dan tidak melecehkannya). Tujuan dari mujadalah adalah untuk menyingkapi kebenaran kepada subyek dan obyek dakwah keduanya sanggup menerima kebenaran dengan lapang dada, perlu diperhatikan oleh seorang da’I bahwa berdialog bukan untuk memenangnkan pendapat pribadi dan mengalahkan pihak lain tetapi mengunggulkan kebenaran islam. Da’I tidak boleh terlalu ambisius tetapi bersikap tenang sehingga tidak kehilangan control diri. Tugas utama seorang da’I adalah menjelaskan risalah dengan cara yang terbaik, urusan diterima atau tidaknya risalah tersebut hanya Allah yang mengetahui orang yang sesat dari jalannya dan mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Keutamaan berdebat (mujadalah) terletak pada kemenangannya dalam mempertahankan banteng islam. Oleh sebab itu, seorang da’I dalam menggunakan mujadalah ini diharuskan memiliki persiapan-persiapan sebagai berikut :

a.       Memiliki kemampuan dan ketrampilan tentang teknik debat yang baik.
b.      Menguasai betul tentang materi dakwah. Mengetahui kelebihan dan kelemahan musuh dan sebagainya[5].

Al-Qur’an telah mempertimbangkan dan membuat perhitungan khusus atas orang-orang kafir dan para pengikut akidah sesat. Al-Qur’an tahu para juru dakwah pasti akan saling berbenturan dengan mereka, karena kontradiksi keyakinan mereka dengan dakwah itu sendiri, baik karena perbedaan pemikiran mereka dengan dakwah maupun karena arah dakwah yang berlawanan dengan akidah atau keyakinan mereka. Al-Qur’an telah mengantisipasi itu semua dengan seksama. Bahkan al-Qur’an pun telah mengetahui akibat yang akan dialami oleh para juru dakwah bersama orang-orang kafir dan sesat itu bila tabiat mereka dibiarkan begitu saja[6].
Ajakan untuk mengikuti jalan yang terbaik dalam berdebat, berdiskusi, dan pertentangan pemikiran bukanlah sesuatu yang baru dalam Al-Qur’an. Ia juga bukan ajakan yang terbatas pada ruang lingkup dakwah saja. Bahkan, ajakan mengikuti jalan yang terbaik merupakan ajaran al-Qur’an yang harus dilaksanakan manusia dalam semua hubungannya dengan sesamanya dalam berbagai medan pertentangan[7]. Itulah ajakan Allah Swt kepada manusia lewat firmannya Qs. Fushilat : 34, yang artinya :
“Tidaklah [kejahatan itu] dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan [itu] seolah-olah telah menjadi kawan yang sangat setia”.
Dalam surat Al-Isra’: 53, yang artinya :
“ Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu, hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”.
Dan dalam surat Az-Zumar : 55, yang artinya :
“ Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.






BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dakwah merupakan usaha seseorang untuk menyampaikan suatu kebaikan agar orang yang diajak tersebut bisa mengikuti dan menjalankan suatu kebaikan yang telah disampaikan tersebut.
            Kaitannya dengan metode dakwah, ada beberapa pendapat tentang definisi metode dakwah, antara lain:
Ø  Menurut Al-Bayanuni metode dakwah adalah cara yang ditempuh oleh pendakwah dalam berdakwah atau cara menerapkan strategi dakwah.
Ø  Menurut Said bin Ali al-Qahthani, metode dakwah adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara berkomunikasi secara langsung dan mengatasi kendala-kendalanya.
Ø  Menurut ‘Abd al-Karim Zaidan, metode dakwah (Uslub al-da’wah) adalah ilmu yang terkait dengan cara melangsungkan penyampaian pesan dakwah dan mengatasi kendala-kendalanya.
Seorang da’i dalam menggunakan mujadalah ini diharuskan memiliki persiapan-persiapan sebagai berikut :
a.       Memiliki kemampuan dan ketrampilan tentang teknik debat yang baik.
b.      Menguasai betul tentang materi dakwah. Mengetahui kelebihan dan kelemahan musuh dan sebagainya.
B.                 Saran
Seorang juru dakwah harus mempunyai pengetahuan agama yang luas, dan mampu memahamkan orang-orang yang masih ragu dalam menanggapi kebenaran yang disampaikan oleh para juru dakwah kepada penerima dakwah tersebut. Dengan mempunyai pengetahuan yang luas, maka ketika ada seseorang yang ingin mengajaknya untuk bermujadalah bisa diterima dengan baik dan bisa meluruskan kesalahpahaman yang terjadi tanpa adanya suatu perselisihan.

















[1] PDF, Samsuri,2010,Metode Dakwah Ali Bin Abi Thalib, Jakarta, hal 11
[2] Muslim Mukmin Muttaqin. Konsep Dakwah Dan Al-Mujadalah (Siri 1).2010.Amirosafwan.blogspot.in/2010/04/konsep-dakwah-dan-al-mujadalah-siri-1.html?m=1. 2 November 2015

[3] Fadhlullah, Muhammad Husain, 1997, Metodologi Dakwah dalam Islam, Jakarta, Lentera hal 38-39
[4] Muslim Mukmin Muttaqin. Konsep Dakwah Dan Al-Mujadalah (Siri 1).2010.Amirosafwan.blogspot.in/2010/04/konsep-dakwah-dan-al-mujadalah-siri-1.html?m=1. 2 November 2015
[5]PDF, Jiddan, Masrur 2009,Metode Dakwah Tgkh Muhammad Zaenuddin Abdul Majid, Yogyakarta, hal 11
[6] Ibid 49-50
[7] Muslim Mukmin Muttaqin. Konsep Dakwah Dan Al-Mujadalah (Siri 1).2010.Amirosafwan.blogspot.in/2010/04/konsep-dakwah-dan-al-mujadalah-siri-1.html?m=1. 2 November 2015

Maqamat dan Ahwal








BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Maqamat
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqom, yang dari segi bahasa berarti kedudukan dan tempat berpijak kedua kaki[1]. Sedangkan dalam ilmu tasawuf, istilah maqom mengandung arti “kedudukan seorang hamba dalam pandangan Allah berdasarkan dengan apa yang telah diusahakannya, baik berupa perjuangan (mujadalah), latihan-latihan spiritual (riyadoh) dan perjalanan menujunya”[2]. Pengertian maqom menurut para sufi disebut juga sebagai tingkatan seorang hamba dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa secara sungguh-sungguh dengan melakukan sejumlah kewwajiban, yang berguna untuk mencapai makrifat[3].
Jadi, dari ketiga pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa maqom merupakan posisi atau tingkatan kedekatan seorang hamba di hadapan Allah sesuai dengan kadar ibadah yang dilakukannya.
Macam-macam maqam menurut al-Syuhrawadi dalam bukunya ‘Awarif al-Ma’rif merumuskan maqam sebagai berikut :
  •  Tobat
Menurut Qamar Kailani dalam karyanya fi al tasawuf al-islami, yang dimaksud dengan tobat ialah ‘’ rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dan mendalam disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa’’, sedangkan menurut Imam  al-Ghazali, tobat diklasifikasikan kepada tiga tinglatan : pertama, meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya, dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada Allh, kedua, beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi ke yang lebih baik lagi , ketiga, rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata  karena ketaatan  dan kecintaan kepada allah.[4]
  •   Zuhud
Menurut Harun nasution, station yang paling penting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kemareterian.
Secara etimologi, zuhud berarti raghaba’ ansyai’in watarakahu, artinya tidak tertarik  terhadap sesuatu dan meninggalkanya.[5] Sedangkan menurut  menurut al- Palimbani zuhud terbagi tiga macam yaitu: pertama bersungguh-sungguh meninggalkan esenangan dunia, kedua meninggalkan kesenangan duniawi karena memperoleh kesenangan ahkerat , ketiga, tidak condong pada dunia, dan tidak pula membencunya serta tidak meninggalkan sesuatu selain Allah semata-mata karena cinta kepada allah.[6]
  •   Faqr
Yaitu bentuk pluralnya fuqara’ artinya membutuhkan atau memerlukan. Istilah ini dalam al-qur’an digunakan dalam mengacu pada dua pengertian. Pertama digunakan dalam konteks sosial ekonomi, kedua dalam konteks eksistensi manusia.
Faqr juga dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam menjalani kehidupan dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa terlambat pada selain Allah.
Sikap faqr selanjutnya akan memunculkan sikap wara’. Wara’ menurut para sufi adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya[7].
  •  Sabar
Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sikap sabar dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak Allah Swt. Tercapainya karakter sabar merupakan respon dari keyakinan yang dipertahankan. Kayakinan adalah landasan sabar. Apabila telah yakin jalan yang ditempuh benar seserang akan teguh dalam pendiriannya walaupun aral melintang. Sabar menurut Al-Ghozali, jika dipandang sebagai pengekangan atau tuntutan nafsu atau amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa, sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sabar badani. Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berebihan[8]  
  •   Syukur


Syukur lahir atas pengetahuan tentang nikmat Allah yang meliputi : pertama, mengetahui bahwa segala nikmat berasal dari Allah bukan selain dariNya. Kedua, mengetahui dan menerima nikmat dari Allah Swt, lantas mengagungkan dan merendahkan diri atau mengetahui sifat kedermawanan Allah Swt. Ketiga, mempergunakan nikmat yang diberikan Allah kepada apa-apa yang disenangi Allah dan menghindari apa yang dibenci Allah[9].
  • Ridha
Ridho berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan oleh Allah. Sikap mental ridha merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Istilah ridha mengandung pengertian menerima dengan lapang dada dan hti terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agamamaupun yang berkenaan dengan masalah diri sendiri[10]
  •  Tawakkal
Tawakkal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Hakikat Tawakkal menurut AL-Palimbani adalah berpegang teguh kepada Allah secara total dan tidak gentar ketika tidak memiliki sesuatu. Beberapa Al-qur’an sebagai dasar pentingnya tawakkal diantaranya Al-Imron : 109, al-thalaq : 23, al-Maidah : 23 dan lain-lain.

B.                 Pengertian Ahwal
Di samping istilah maqom, terdapat istilah hal. Istilah hal yang dimaksud disini adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqom tertentu yang sifatnya temporer dan mudah hilang.
Macam-macam Ahwal, diantaranya :
1.      Muroqobah (Waspada)
Berasal dari kata roqib yang berarti penjaga atau pengawal. Secara terminologis muroqobah berarti melestarikan pengamatan terhadap Allah dengan hati, sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukumnya. Jadi, muroqobah berate merasa diawasi Allah.
Selanjutnya, menurut Al-Ghozali menjelaskan bahwa muroqobah terdiri dari dua derajat. Yaitu : derajat muroqobah shiddiqin dan derajat muroqobah ashbab al-yamin.
2.      Mahabbah (Cinta)
Cinta dalam pandangan tasawuf merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal. Sama seperti tobat yang menjadikan kemuliaan maqom. Karena cinta pada dasarnya adalah anugerah yang menjadikan sebagai pijakan bagi segenap hal. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan.
Menurut Syuhrawardi mengatakan dalam “sesungguhnya cinta adalah suatu mata rantai keselarasan yang mengikat kepada kekasihnya, yang menarik sang pencinta kepadanya dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya sehingga pertam-tama ia menguasai sifat dalam dirinya, kemudian menangkap Zatnya daam genggaman Qudrah.
3.      Raja’ (Berharap) dan Khauf (Takut)
Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Sedangkan menurut Ahmad farid menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan oleh Allah untuk mengiringi hamba-hambanya menuju ilmu dan amal sehingga dekat dengan Allah Swr. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri dimasa yang akan datang. Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, apabila sifat raja’ begitu besar hal itu akan membuat seseorang menjadi sombong dan angkuh dan meremehkn amalan-amalannya.
4.      Syauq (rindu)
Syauq pada prinsipnya merupakan kondisi kejiwaan yang menyertai cinta. Yaitu rasa rindu yang memancar dari qolbu karena gelora cinta yang murni. Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan.
5.      Al-Uns (Kedekatan spiritual)
Yaitu keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada satu titik sentrum, yakni Allah, tidak ada yang dirasa, yang diingat dan diharapkan kecuali Allah.


C.    Perbedaan Maqom dan Ahwal
Para sufi sendiri menegaskan perbedaan maqom dan hal. Maqom menurut mereka ditandai oleh kemapanan. Sementara hal justru mudah hilang. Maqom dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh seseorang tanpa disengaja. Hal sama dengan bakat. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqom diperoleh dengan berupaya. Namun perlu dicatat maqom dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang.




BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Maqom merupakan posisi atau tingkatan kedekatan seorang hamba di hadapan Allah sesuai dengan kadar ibadah yang dilakukannya.
Maqom terbagi menjadi tujuh macam, diantaranya tobat, zuhud, ridha, sabar, faqr, syukur dan tawakkal.
Sedangkan ahwal yaitu keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqom tertentu yang sifatnya temporer dan mudah hilang.
Ahwal terbagi menjadi lima macam, diantaranya : Muroqobah, Mahabbah, Raja’ dan Khauf, Syauq, dan Al-Uns.
Maqom dan hal keduanya tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berhubungan satu sama lain. Karena keduanya merupakan suatu jalan menuju kedekatan kepada Allah Swt yang ditempuh oleh kaum sufi.


DAFTAR PUSTAKA
Selamat, Kasmuri, sanusi,Ihsan.2011.Akhlak Tasawuf.Jakarta: Kalam Mulya hal
Mahfud. 2011.Akhlak Tasawuf.Cirebon:Al-Tarbiyah Press


[1] Selamat, Kasmuri, sanusi,Ihsan.2011.Akhlak Tasawuf.Jakarta: Kalam Mulya hal 115
[2] Mahfud. 2011.Akhlak Tasawuf.Cirebon:Al-Tarbiyah Press hal 67
[3] Opcit hal 115
[4] Ibid hal 68
[5] Ibid hal 69
[6] Opcit hal 118
[7] Ibid hal 76-77
[8] Ibid hal 77-78
[9] Opcit hal 119
[10] Ibid 79

Kamis, 29 Oktober 2015

Globalisasi




Oleh
Nur’aeni
Jurusan PMI Smester 3
IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Sudah banyak tahu tentang apa itu globalisasi. Jadi sudah tidak asing lagi ketika kita mendengar kata globalisasi. Lalu, bayangan apa yang ada dibenak kita ketika kata globalisasi itu disebutkan. Saya sendiri ketika mendengar kata globalisasi yang terbayang yaitu teknologi, orang asing, kemewahan, persaingan, keributan dan ketidakadilan. Banyak sekali hal-hal yang dipengaruhi dari adanya globalisasi. Dari berubahnya nilai-nilai yang sudah ada, seolah-olah nilai itu bergeser begitu saja ketika munculnya globalisasi ditengah-tengah kehidupan, terutama di Negara kita, Indonesia. Apakah globalisasi itu sebuah ancaman buat kita? Ataukah sebuah tantangan? Globalisasi bisa menjadi sebuah ancaman buat kita, ketika kita tidak mampu memegang prinsip hidup bernegara dalam tata nilai yang sudah terbentuk, berupa nilai positif. Dan bisa juga menjadi sebuah tantangan bagi kita, karena dengan adanya globalisasi ini kita akan terus berpikir kreatif dan berinovasi untuk berpikir bagaimana agar kita maju dan tidak tertinggal oleh yang lainnya.
Globalisasi tidak mengenal batas wilayah, batas wilayah sudah bukan menjadi penghalang lagi. Dengan demikian, pergaulan antar bangsa begitu sangat mudah dan tentunya bisa menjadi peluang buat kita untuk selalu berinovasi dalam segala aspek kehidupan yang kita hadapi saat ini. Namun, dengan adanya pergaulan antar bangsa tersebut, munculah suatu percampuran budaya yang biasa kita sebut dengan akulturasi budaya. akulturasi bisa dikatakan sebagai produk dari globalisasi itu sendiri. Yang dimana dalam akulturasi tersebut saling memperngaruhi antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Kita bisa meniru budaya yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Lalu, apakah kita bisa mempertahankan budaya yang sudah ada agar tidak luntur begitu saja ketika munculnya akulturasi ini, ataukah sebaliknya? Seharusnya kita tetap mepertahankan tata nilai yang ada, yang dimana tata nilai itu merupakan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia.
Sikap ramah tamah dan gotong royong merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Namun, pengaruh adanya globalisasi sikap gotong royong semakin kesini semakin terkikis oleh masa. Dibuktikan dengan apa? Dengan banyaknya berkembang sikap individualistis, yang dimana sikap individualistis itu lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dibanding kepentingan orang lain. Coba kita lihat salah satu contoh saja yaitu Hp, dengan banyaknya perkembangan teknologi yang kita alami saat ini, Hp semakin bervariatif model dan bentuknya. Hp yang dulunya bersifat biasa atau klasik yang hanya bisa buat nelfon dan sms saja. Namun,  ketika teknologi itu semakin canggih, beralihlah Hp tersebut menjadi Hp android yang saat ini sudah kita nikmati dalam keseharian kita, kita sudah merasakan kelebihan dari Hp tersebut. Segala apapun bisa diakses dari Hp itu. Hanya sekedar memegang Hp kita sudah bisa mengenal dunia. Sehingga terkadang kita lupa akan sekeliling kita. Kita lebih asik memainkan Hp tanpa menghiraukan urusan lainnya. Tanpa kita sadari, dari situlah sikap individualistis tumbuh dalam diri kita. Selain individualistis, sifat materialistis pun hadir disini, dimana kita akan lebih condong kepada sifat kebendaan, sehingga kekayaan dijadikan prioritas utama agar kita bisa menikmati semua kemajuan teknologi dengan mudah. Hanya karena ingin memiliki sesuatu yang diinginkan, segala usaha dilakukan, meskipun terkadang ada yang mendapatkannya dengan cara yang salah yang semestisnya tidak pantas untuk dilakukan. Itulah akibat dari adanya globalisasi dalam hal kemajuan teknologi. Baik buruknya sudah pasti ada.
Tulisan ini masih dalam proses pembelajaran, jika ada suatu kesalahan kata ataupun kalimat yang tidak tepat, silahkan komentar dan berikan pula masukan, agar bisa membantu saya untuk terus belajar menulis. Terima Kasih  ^^

Ditulis tanggal 29 Oktober 2015, 11.47