Start

Rabu, 11 November 2015

Pengendalian Dakwah



A.           PENGENDALIAN DAKWAH
Pengendalian dapat dimaksudkan sebagai sebuah kegiatan mengukur penyimpangan dari prestasi yang direncanakan dan menggerakkan tindakan korektif. Adapun unsur-unsur dasar pengendalian meliputi :
1.      Sebuah standard spesifikasi prestasi yang diharapkan. Ini dapat berupa sebuah anggaran, sebuah prosedur pengoperasian, sebuah logaritma keputusan dan sebagainya.
2.      Sebuah pengukuran proses riil.
3.      Sebuah laporan penyimpangan pada unit pengendali.
4.      Seperangkat tindakan yang dapat dilakukan oleh unit pengendali untuk mengubah prestasi sekarang kurang memuaskan, yaitu seperangkat aturan keputusan untuk memilih tanggapan yang layak.
5.      Dalam hal tindakan unit pengendali gagal membawa prestasi nyata yang kurang memuaskan ke arah yang diharapkan, sehingga ada sebuah meted tingkat perencanaan atau pengendalian lebih tinggi untuk mengubah satu atau beberapa keadaan yang tidak kondusif.[1]
Pada era sekarang ini pengendalian operasi dakwah dilakukan terintegrasi dari suatu organisasi dakwah sudah menjadi suatu kebutuhan, dan dalam pengendalian ini selalu disertakan unsur perbaikan yang berkelanjutan. Sifat perbaikan yang berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini sebagai disinyalir dalam surat Al-Mujadalah : 7, yang artinya :
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada pembicaraan antara lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka dimana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Sementara hadist Nabi :
“Tidak ada seorang pun diberi kepercayaan oleh Allah untuk memimpin kemudian ia memelihara dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan kepadanya bau surga”.

Program untuk pengendalian dan peningkatan mutu dakwah dapat dilaksanakan dengan beberapa cara antara lain :
1. Menentukan operasi program pengendalian dan perbaikan aktivitas dakwah.
2. Menjelaskan mengapa operasi program itu dipilih.
3. Mengkaji situasi pemantauan yang kondusif.
4. Melaksanakan agresi data.
5. Menentukan rencana perbaikan.
6. Melakukan program perbaikan dalam jangka waktu tertentu.
7. Mengevaluasi program perbaikan tersebut.
8. Melakukan tindakan koreksi jika terjadi penyimpangan atas standard yang ada[2].
Menurut Jemes A.F Stoner dan R. Edward Freeman, bahwa definisi dari pengendalian adalah sebuah proses untuk memastikan, bahwa aktivitas sebenarnya sesuai dengan aktivitas yang telah direncanakan [the process of ensuring that actual activities conform to plannet activitie]. Sementara itu Robert J. Mockler mendefinisikan bahwa elemen esensial dari proses pengendalian manajemen adalah suatu tindakan sistematis untuk menetapkan sebuah standard prestasi kerja dengan tujuan perencanaan untuk mendesain system umpan balik informasi, untuk membandingkan prestasi yang sesungguhnya dengan standard yang telah ditetapkan terlebih dahulu, untuk menetapkan apakah ada deviasi serta untuk mengukur signifikasinya, serta mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa sumber daya perusahaan telah dilaksanakan secara seefektif dan seefesien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.[3]
Jadi, jika melihat dari kedua pengertian di atas, pengendalian merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk mensukseskan segala aktivitas yang akan dilakukan agar bisa dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, dan dengan mempertimbangkan keefektifan dan keefesienan waktu yang ada. Dan dengan adanya pengendalian tersebut dapat melaksanakan segala aktivitas yang telah direncanakan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
B.            UNSUR DAN PROSES PENGENDALIAN MANAJEMEN DAKWAH
Pengendalian manajemen dakwah lebih bersifat komprehensif dimana lebih mengarah pada upaya yang dilakukan manajemen agar tujuan organisasi tercapai. Dalam hal ini unsur-unsur yang terkait, meliputi detektor, selector, efektor, dan komunikator. Unsur-unsur tersebut semuanya saling berkaitan satu sama lain. Al-qur’an dan as-sunnah merupakan sebuah acuan yang normative dalam hal yang berkaitan mengenai pengendalian dakwah ini.
Islam melakukan koreksi terhadap kekeliruan berdasarkan atas :
1. Tawa shau bi al-haqqi [ saling menasihati atas dasar kebenaran dan norma yang jelas].
2. Tawa shau bis shabri [ saling menasihati atas dasar kesabaran].
3. Tawa shau bil marhamah [ saling menasihati atas dasar kasih sayang].
Pada dasarnya proses pengendalian manajemen dakwah yang efektif itu bersifat formal, namun pada realitasnya pengendalian informal lebih dominan. Tahapan dalam proses pengendalian terdiri dari:
1.        Pemprograman (programming)
2.        Penganggaran (budgeting)
Anggaran jika ditinjau dari aspek penggunaannya dibagi menjadi empat yaitu :
a.       Rencana yang terpadu
b.      Financial quantification
c.       Operasi dan sumber daya
Adapun fungsi dari anggaran dakwah adalah :
1.      Sebagai dukungan finansial dalam setiap aktivitas organisasi dakwah.
2.      Sebagai sarana utama untuk pengendalian serta alat utama koordinasi dalam aktivitas dakwah.
3.      Operasi dan akuntansi.
4.      Laporan dan analisis.
Langkah-langkah dari proses pengendalian itu dikategorikan menjadi empat macam, yaitu :
a.       Menempatkan standard, metode, dan prestasi kerja.
b.      Pengukuran prestasi kerja.
c.       Menetapkan apakah prestasi kerja sesuai dengan standard.
d.      Pengambilan tindakan korektif.
C.           FUNGSI PENGENDALIAN DAKWAH
Secara spesifik pengendalian dakwah ini dibutuhkan untuk untuk :
1.      Menciptakan suatu mutu dakwah yang lebih baik.
2.      Dapat menciptakan sebuah siklus yang lebih cepat.
3.      Untuk mempermudah pendelegasian da’I dan kerja tim.
Elemen yang perlu diperhatikan untuk peningkatan strategi dan efektivitas organisasi dakwah meliputi antara lain :
Ø  Pengembangan profesionalitas
Ø  Hubungan interpersonal
·         Homofili
·         Kredibilitas
·         Dominasi dan submisi

D.           EVALUASI DAKWAH
Evaluasi dakwah ini dirancang untuk memberikan penilaian kepada orang yang dinilai dan orang yang menilai atau pimpinan dakwah tentang informasi mengenai hasil karya. Tujuan dari program evaluasi ini adalah untuk mencapai konklusi dakwah yang evaluative dan memberi pertimbangan mengenai hasil karya serta untuk mengembangkan karya dalam sebuah program.
Secara spesifik tujuan dari evaluasi dakwah itu adalah :
1.      Untuk mengidentifikasi sumber daya da’i yang potensial dalam sebuah spesifikasi pekerjaan manajerial.
2.      Untuk menentukan kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi individu dan kelompok dalam sebuah lembaga atau organisasi.
3.      Untuk mengidentifikasi para anggota yang akan diproosikan dalam penempatan posisi tertentu.
Adapun hasil dari evaluasi itu diperoleh dari :
a.       Motivasi
b.      Promosi
c.       Mutasi dan pemberhentian anggota
d.      Dukungan finansial
e.       Kesadaran yang meningkat dari tugas dan persoalan bawahan
f.          Pengertian bawahan yang meningkat mengenai pandangan manajerial tentan hasil karya.
g.      Mengidentifikasi kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan
h.      Mengevaluasi efektivitas dari keputusan seleksi dan penempatan
i.           Pemindahan
j.         Perencanaan sumber daya manusia
k.      Peringatan dan hukuman










[1][1] Munir, Muhammad, wahyu ilahi, 2006, Manajemen Dakwah, Jakarta : Kencana hal 5-6
[2] Ibid hal 169
[3] Ibid hal 170

Dakwah Bil Mujadalah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dakwah merupakan tugas kita bersama untuk menjadikan manusia melakukan suatu perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Namun dalam perjalanan menyampaikan suatu kebaikan, harus bisa melihat situasi dan kondisi tempat dan sasaran dakwah dengan tepat. Dalam menyampaikannya tidak sembarang begitu saja, terdapat beberapa metode bagaimana caranya agar dakwah tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Adapun caranya, bisa melalui dengan bil-hikmah, mauidzoh khasanah, dan mujadalah atau yang biasa kita kenal dengan berdebat dengan cara yang baik.  Dalam mujadalah ini sangat diperlukan sekali untuk para juru dakwah yang akan berinteraksi langsung dengan si penerima dakwah. Dalam mujadalah pun di dalamnya terdapat suatu perdebatan mengenai masalah agama yang masih perlu diperdebatkan. Dan tentunya harus mempunyai landasan yang tepat agar mujadalah ini bisa dilakukan dengan baik dan tanpa adanya kekecewaan antar dua belah pihak.
Oleh karean itu, perlulah disusun makalah mengenai mujadalah ini agar para juru dakwah dapat memahami dan melaksanakan dakwah dengan cara mujadalah yang sesuai dengan ajaran yang telah ditentukan.
B.     Rumusan Masalah
Dalam penyusan makalah tentang mujadalah ini, mempunyai rumusan masalah, sebagai berikut :
1.      Bagaimana dakwah dengan cara mujadalah menurut metodolgi dakwah Islam ?

C.    Tujuan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini mempunyai tujuan agar pembaca bisa memahami dan mengaplikasikan apa itu dakwah melalui mujadalah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Metode dan Dakwah
Al-uslub (metode) adalah kata yang berasal dari fi’il (kata kerja) salaba yang artinya menang atau membunuh. Sedangkan al-istilab adalah al-ikhtilas atau al-salb yang artinya adalah berjalan pelan namun cepat. Sedangkan al-uslub adalah cara atau seni. Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan, cara). Sumber lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab disebut thariq. Dalam bahasa latin metode berasal dari kata methodus yang berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa inggris method dijelaskan dengan methode atau cara[1].
Menurut al-Bustaniy, perkataan dakwah adalah perkataan Arab yang pada asalnya berarti seruan, panggilan, jemputan atau undangan. Manakala dari segi istilah pula, para ulama telah mengemukakan beberapa definisi. Menurut al-Ghalwasy, perkataan dakwah dua pengertian, yaitu agama Islam dan kegiatan menyebarkan agama Islam. Sheikh Prof. dr. Abdul Karim Zaidan pula menyatakan bahwa dakah ialah panggilan atau seruan ke jalan Allah ta’ala. Yaitu agama Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Manakala menurut Al-Ansari, usaha membentuk perbuatan atau percakapan untuk menarik manusia kepada kebaikan dan mendapat petunjuk Allah Ta’ala dalam kehidupan mereka[2]
Jadi, dari beberapa pengertian yang telah disebutkan saya mengartikan bahwa dakwah merupakan usaha seseorang untuk menyampaikan suatu kebaikan agar orang yang diajak tersebut bisa mengikuti dan menjalankan suatu kebaikan yang telah disampaikan tersebut.

            Kaitannya dengan metode dakwah, ada beberapa pendapat tentang definisi metode dakwah, antara lain:
Ø  Menurut Al-Bayanuni metode dakwah adalah cara yang ditempuh oleh pendakwah dalam berdakwah atau cara menerapkan strategi dakwah.
Ø  Menurut Said bin Ali al-Qahthani, metode dakwah adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara berkomunikasi secara langsung dan mengatasi kendala-kendalanya.
Ø  Menurut ‘Abd al-Karim Zaidan, metode dakwah (Uslub al-da’wah) adalah ilmu yang terkait dengan cara melangsungkan penyampaian pesan dakwah dan mengatasi kendala-kendalanya.
Banyaknya ayat Al-Qur’an yang mengungkap masalah dakwah. Tetapi dari sekian banyak ayat yang memuat prinsip-prinsip dakwah itu ada satu ayat yang memuat sandaran dasar dan fundamen pokok bagi metodologi dakwah. Tentunya metodologi tersebut sebaiknya tidak dilewatkan oleh para juru dakwah demi kesuksesan dakwahnya. Ayat al-Qur’an yang dimaksudkan adalah QS. An-Nahl : 125. Begitu pentingnya ayat tersebut untuk kepentingan metodologi dakwah sehingga kita harus memahaminya lewat pendekatan tafsir. Dari situlah kita akan dapat mengenal garis besar metodologi dakwah Islam. Sebagai langkah awal dalam memperbincangkan ayat tersebut, kita sebaiknya mengetahui kosa kata yang terdapat pada ayat tersebut. Lewat konteks etimologis dan terminologis. Sehingga dengan metodologi kajian seperti itu, kita akan mengetahui keistimewaan ayat tersebut, disamping untuk menghindari kerancuan pemikiran kita, juga untuk menjauhi penyimpangan dari jalan yang benar dalam memahami makna, maksud dan hikmah yang ada dalam al-Qur’an.[3]
B.     Mujadalah
Al-Mujadalah berasal dari perkataan jadal yang bermaksud berdebat, berselisih, dan berbalah. Tetapi, mujadalah dalam konteks dakwah pula bermaksud diskusi atau bertukar pikiran dan pendapat[4].
Dakwah bil Mujadalah adalah berdakwah dengan mengadakan tukar pikiran yang sebaik-baiknya. Sayid Qutub menjelaskan dalam Fi zhilal Al-Qur’an tentang cara dialog yang baik, yaitu bertukar pikiran (dialog yang lembut tidak memberatkan pihak yang diajak berdialog dan tidak melecehkannya). Tujuan dari mujadalah adalah untuk menyingkapi kebenaran kepada subyek dan obyek dakwah keduanya sanggup menerima kebenaran dengan lapang dada, perlu diperhatikan oleh seorang da’I bahwa berdialog bukan untuk memenangnkan pendapat pribadi dan mengalahkan pihak lain tetapi mengunggulkan kebenaran islam. Da’I tidak boleh terlalu ambisius tetapi bersikap tenang sehingga tidak kehilangan control diri. Tugas utama seorang da’I adalah menjelaskan risalah dengan cara yang terbaik, urusan diterima atau tidaknya risalah tersebut hanya Allah yang mengetahui orang yang sesat dari jalannya dan mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Keutamaan berdebat (mujadalah) terletak pada kemenangannya dalam mempertahankan banteng islam. Oleh sebab itu, seorang da’I dalam menggunakan mujadalah ini diharuskan memiliki persiapan-persiapan sebagai berikut :

a.       Memiliki kemampuan dan ketrampilan tentang teknik debat yang baik.
b.      Menguasai betul tentang materi dakwah. Mengetahui kelebihan dan kelemahan musuh dan sebagainya[5].

Al-Qur’an telah mempertimbangkan dan membuat perhitungan khusus atas orang-orang kafir dan para pengikut akidah sesat. Al-Qur’an tahu para juru dakwah pasti akan saling berbenturan dengan mereka, karena kontradiksi keyakinan mereka dengan dakwah itu sendiri, baik karena perbedaan pemikiran mereka dengan dakwah maupun karena arah dakwah yang berlawanan dengan akidah atau keyakinan mereka. Al-Qur’an telah mengantisipasi itu semua dengan seksama. Bahkan al-Qur’an pun telah mengetahui akibat yang akan dialami oleh para juru dakwah bersama orang-orang kafir dan sesat itu bila tabiat mereka dibiarkan begitu saja[6].
Ajakan untuk mengikuti jalan yang terbaik dalam berdebat, berdiskusi, dan pertentangan pemikiran bukanlah sesuatu yang baru dalam Al-Qur’an. Ia juga bukan ajakan yang terbatas pada ruang lingkup dakwah saja. Bahkan, ajakan mengikuti jalan yang terbaik merupakan ajaran al-Qur’an yang harus dilaksanakan manusia dalam semua hubungannya dengan sesamanya dalam berbagai medan pertentangan[7]. Itulah ajakan Allah Swt kepada manusia lewat firmannya Qs. Fushilat : 34, yang artinya :
“Tidaklah [kejahatan itu] dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan [itu] seolah-olah telah menjadi kawan yang sangat setia”.
Dalam surat Al-Isra’: 53, yang artinya :
“ Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu, hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”.
Dan dalam surat Az-Zumar : 55, yang artinya :
“ Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.






BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dakwah merupakan usaha seseorang untuk menyampaikan suatu kebaikan agar orang yang diajak tersebut bisa mengikuti dan menjalankan suatu kebaikan yang telah disampaikan tersebut.
            Kaitannya dengan metode dakwah, ada beberapa pendapat tentang definisi metode dakwah, antara lain:
Ø  Menurut Al-Bayanuni metode dakwah adalah cara yang ditempuh oleh pendakwah dalam berdakwah atau cara menerapkan strategi dakwah.
Ø  Menurut Said bin Ali al-Qahthani, metode dakwah adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara berkomunikasi secara langsung dan mengatasi kendala-kendalanya.
Ø  Menurut ‘Abd al-Karim Zaidan, metode dakwah (Uslub al-da’wah) adalah ilmu yang terkait dengan cara melangsungkan penyampaian pesan dakwah dan mengatasi kendala-kendalanya.
Seorang da’i dalam menggunakan mujadalah ini diharuskan memiliki persiapan-persiapan sebagai berikut :
a.       Memiliki kemampuan dan ketrampilan tentang teknik debat yang baik.
b.      Menguasai betul tentang materi dakwah. Mengetahui kelebihan dan kelemahan musuh dan sebagainya.
B.                 Saran
Seorang juru dakwah harus mempunyai pengetahuan agama yang luas, dan mampu memahamkan orang-orang yang masih ragu dalam menanggapi kebenaran yang disampaikan oleh para juru dakwah kepada penerima dakwah tersebut. Dengan mempunyai pengetahuan yang luas, maka ketika ada seseorang yang ingin mengajaknya untuk bermujadalah bisa diterima dengan baik dan bisa meluruskan kesalahpahaman yang terjadi tanpa adanya suatu perselisihan.

















[1] PDF, Samsuri,2010,Metode Dakwah Ali Bin Abi Thalib, Jakarta, hal 11
[2] Muslim Mukmin Muttaqin. Konsep Dakwah Dan Al-Mujadalah (Siri 1).2010.Amirosafwan.blogspot.in/2010/04/konsep-dakwah-dan-al-mujadalah-siri-1.html?m=1. 2 November 2015

[3] Fadhlullah, Muhammad Husain, 1997, Metodologi Dakwah dalam Islam, Jakarta, Lentera hal 38-39
[4] Muslim Mukmin Muttaqin. Konsep Dakwah Dan Al-Mujadalah (Siri 1).2010.Amirosafwan.blogspot.in/2010/04/konsep-dakwah-dan-al-mujadalah-siri-1.html?m=1. 2 November 2015
[5]PDF, Jiddan, Masrur 2009,Metode Dakwah Tgkh Muhammad Zaenuddin Abdul Majid, Yogyakarta, hal 11
[6] Ibid 49-50
[7] Muslim Mukmin Muttaqin. Konsep Dakwah Dan Al-Mujadalah (Siri 1).2010.Amirosafwan.blogspot.in/2010/04/konsep-dakwah-dan-al-mujadalah-siri-1.html?m=1. 2 November 2015