A.
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Berapa banyak orang yang secara
lahiriahnya seolah menyeru kepada Allah (kebenaran), padahal sejatinya dia
sedang mengajak kepada dirinya (mempopulerkan dirinya, mencari pujian, mencari
banyak jama’ah, mendakwahkan kebathilannya dll.) Semoga Allah melindungi kita dari sifat yang
demikian.
Kami membahas tafsir Qs. Yusuf 108
untuk mengetahui bagaimana cara dakwah yang sebenarnya. Dakwah yang sesuai
dengan ajaran Rasulullah. Kita sebagai pendakwah harus mempunyai jiwa
profesionalisme dalam berdakwah. Agar dakwah yang disampaikan kepada umat bisa
diterima dengan baik dan bisa mengajak kepada kebaikan, menuju jalan yang Allah
ridhoi. Tidak sebatas untuk memperoleh ketenaran, pujian, materi dan segala
kebathilan yang lain yang bisa mengalihkan tujuan dakwah yang sesungguhnya.
Al-qur’an merupakan kitab yang Allah
turunkan sebagai kitab dakwah. Dakwah bertujuan untuk mengajak manusia ke jalan
yang benar, yaitu menuju Allah Swt dan mengikuti ajaran Rasulnya, Nabi Muhammad
Saw. Dengan adanya dakwah, manusia bisa hidup dengan terarah dan supaya bisa
mencapai apa yang Allah ridhoi. Al-qur’an secara langsung menganalisis berbagai
pendorong dan faktor terlaksananya dakwah. Al-qur’an juga menegaskan mengenai
tujuan dakwah, menampakkan metode dakwah dan teknik yang baik dalam
penyampaiannya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu :
Bagaimana isi tafsir dari QS. Yusuf
108?
Bagaimana cara dakwah yang sesuai
dengan ajaran Rasul?
3. Tujuan
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui, mendeskripsikan dan bisa
mengaplikasikan bagaimana cara dakwah yang disampaikan oleh Rasul.
B.
Pembahasan
1. Tafsir surat ayat 108
“Tentang
Profesionalisme dalam Dakwah”
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِۚ عَلَىٰ
بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
Artinya
: “ Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah
Swt denganbashirah maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang
musyrik.”
Tafsir
ayat firman Allåh:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي
Inilah
Jalanku!
- Berkata Ibnu
Zaid: “urusanku, sunnahkudan manhajku.”
- Berkata Rabi’
bin Anas: “Dakwahku.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Muqatil:
“Agamaku.”
- Berkata
Al-Qurthubi: “semua makna di atasadalah satu, yaitu (jalan dakwah yangditempuh
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bisa mengantarkan kesurga).”
(Tafsir Jami’ liAhkamil Qur`an9/179).
- Berkata Ibnu
Katsiir: Alllåh berfirmankepada Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wasallam, dengan
menyuruhnya agarmemberitahukan kepada manusia dan jin(seluruhnya), bahwa inilah
jalannya.
firman Allåh:
أَدْعُو إِلَى اللَّهِ
Aku menyerukan/mengajak (kamu) kepadaAllåh!
- Berkata Ibnu
Katsiir: Yakni jalan, jalur dansunnahnya; dalam menyeru kepadapersaksian bahwa
tiada illah (yang berhakdiibadahi) melainkan Allåh Yang Maha
Esa,tiada sekutu bagiNya.
Firman Allåh:
عَلَىٰ بَصِيرَةٍ
Diatas bashirah!
- Berkata Qatadah:
“di atas petunjuk.” (Ad-Durrul Mantsur 4/93)
- Berkata Ibnu
Jarir At-Thabari: “di ataskeyakinan dan ilmu.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Ibnu
Katsiir: Dia menyerukan itu dengan bertumpu kepada (bashirah. yang
bermakna:) dalil,
keyakinan dan
argumentasi.
- Berkata Abdur
Rahman As-Sa’di: “di atasilmu dan keyakinan dengan tanpa adakeraguan dan
pertentangan.” (Tafsir KarimirRahman fi Tafsiri Kalam 4/93)
- Berkata Abu
Bakar Al-Jazairi: “di atas ilmudan keyakinan terhadap Dzat yang aku
(Nabi)berdakwah kepada-Nya serta terhadap hasildan buah dakwah ini.” (Aisarut
Tafaasir2/653)
Firman Allåh:
ﺃَﻧَﺎﻭَﻣَﻦِﺍﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲ
Aku dan orang yang mengikutiku
- Berkata Ibnu
Jarir At-Thabari: “orang yangmengikutiku, membenarkan dan berimankepadaku.”
(At-Thabari 7/315)
- Berkata Ibnu
Katsiir : “(Maka) Setiap orangyang mengikuti Råsulullåh menyeru pulakepada apa
yang diserukan Råsul mereka (Dengan mereka menyeru) diatas hujjah,keyakinan, dan dalil yang bersifat naqlidan aqli.”
Firman Allåh:
ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَﺍﻟﻠَّﻪِﻭَﻣَﺎﺃَﻧَﺎﻣِﻦَﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ
“Maha suci Allah, dan aku tidak termasukorang-orang yang
musyrik”
- Berkata Ibnu
Jarir: “dan aku (Nabi) berlepasdiri dari ahli syirik, aku bukan dari mereka dan merekapun bukan dari golonganku.”
(At-Thabari 7/315)
- Berkata Ibnu
Katsiir: Yakni Allåh itu MahaSuci, Maha Agung, lagi Maha Besar darikeadaanNya
memiliki sekutu, atautandingan, atau anak, atau ayah, atau istri,atau
penasihat. Maha Suci, Maha Tinggi, danMaha Bersih Allåh dari semua itu.
Setelah menjelaskan sebagian besar
manusia yang enggan menerima kebenaran, dan menjelaskan pula bahwa jalan kebenaran
adalah mengesakan Allah Swt secara penuh, yang telah dibuktikan oleh sekian
banyak ayat dan tanda-tanda, maka kini Rasulullah Saw diperintahkan :
“katakanlah wahai Muhammad “inilah jalan
agamaku yang kusampaikan melalui alqur’an dan sunnah. Aku dan orang-orang yang
mengikutiku, yakni yang beriman dan benar serta meneladani aku, kami semua
mengajak seluruh manusia kapan dan dimanapun kepada Allah dengan bashirah,
yakni hujjah yang nyata dalam bentuk bukti-bukti rasional dan emosional. Maha
suci Allah, yakni aku menyucikannya dengan menetapkan segala sifat kesempurnaan
bagiNya dan menghindarkan segala sifat kekurangan bahkan kesempurnaan yang
tidak sesuai denganNya, dan aku walau seandainya hanya aku sendiri- sedikitpun
tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang musyrik.
Kata ittaba’ani terambil dari kata tabi’a, yakni upaya dari seseorang
untuk meneladani orang lain dalam langkah dan arah yang ditujunya. Ketika menafsirkan
Qs. Al-a’raff : 158, penulis mengutip uraian Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa
agama ini bukan sekedar akidah yang bersemi dihati, bukan juga sekadar
syiar-syiar agama atau ibadah ritual, tetapi agama ini adalah ikutan secara
sempurna kepada Rasulullah Saw menyangkut apa yang beliau sampaikan dari
Tuhannya dan apa yang beliau syariatkan dan sunnahkan. Beliau menyampaikan
syariat Allah dengan ucapan dan perbuatan beliau. Agama islam tidak lain
kecuali ikutan dan keteladanan kepada beliau. Seandainya agama ini semata-mata
hanya akidah saja, maka tentu cukup sudah bila dinyatakan dan orang-orang yang
percaya kepadaku atau kepada Allah dan kepadaku.
Penyebutan diri Nabi Muhammad Saw
terlebih dahulu kemudian pengikut beliau dalam firmanNya anaa wa manittaba’ani, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengisyaratkan bahwa Rasul Saw adalah patron yang harus diikuti dalam
melaksanakan dakwah, sekaligus mengisyaratkan perbedaan tingkat dan kualitas
penyampaian dakwah itu. Tidak dapat disangkal bahwa Rasul Saw mencapai puncak
dalam berdakwah dan memenuhi sepenuhnya tuntunan Allah Swt dalam menyampaikan
semua ajaran. Beliau tidak meninggalkan satu ayatpun, dan beliau menjelaskan
maknanya secara amat sempurna sambil memberi keteladanan sebaik mungkin. Tentu
saja yang berdakwah diharapkan agar pengikut-pengikut beliau hendaknya memiliki
pula sifat-sifat yang dicakup oleh kata ittaba’ani
itu serta serupa walau tentu tidak mungkin sama dengan Rasul Saw yang dakwahnya
‘ala bashirah, yakni atas dasar
bukti-bukti yang jelas serta disertai dengan keikhlasan penuh. Namun demikian,
kita sadar bahwa walaupun seseorang muslim pengikut Nabi saw telah berusaha
sekuat tenaga dan kemampuan, namun ia pasti tidak akan mungkin mencapai
peringkat dan kualitas apalagi wewenang Rasul Saw dalam berdakwah dan
menjelaskan ajaran ilahi. Karena itu, maka yang dituntut dari setiap muslim
adalah berdakwah sebatas kemampuan, walau hanya satu ayat sesuai dengan sabda
beliau : “sampaikanlah dari ajaranku walau hanya satu ayat”.
Kata subhaana terambil dari kata sabaha yang pada mulanya berarti
menjauh. Seseorang yang berenang dilukiskan dengan menggunakan akar kata yang
sama, yakni sabbah, karena dengan berenang ia menjauh dari posisinya semula.
“Bertasbih” dalam pengertian agama berarti “menjauhkan segala sifat kekurangan
dan kejelekan dari Allah Swt”. Dengan mengucapkan “Subhaana Allah” si pengucap
mengakui bahwa tidak ada sifat atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna, atau
tercela; tidak ada ketetapanNya yang tidak adil, baik terhadap orang lain
maupun terhadap si pengucap.
Kata Subhaana disini mengisyaratkan bahwa setiap ajakan menuju jalan
Allah hendaknya disertai dengan tasbih, yakni penyucian Allah Swt dari segala sesuatu
yang tidak wajar bagiNya
Benarkah engkau
menyeru kepada Allah?
Berapa banyak
orang yang secara lahiriahnyaseolah menyeru kepada Allah (kebenaran),padahal
sejatinya dia sedang mengajakkepada dirinya (mempopulerkan dirinya,mencari
pujian, mencari banyak jama’ah,mendakwahkan kebathilannya dll.) SemogaAllåh
melindungi kita dari sifat yan demikian, aamiin.
2.Ciri
khas pengikut Rasul sejati dalam
hal dakwah adalah :
1.
Kemurnian mereka untuk mengajak kepada Allah! Bukan kepada dirinya, madzhab
fiqh-nya,kelompoknya/partainya/golongan/jama’ah-nya.Bukan juga atas landasan
kepentingan,seperti: popularitas, harta, jabatan,kekuasaan, wanita, dll.
2.
Dan isi dari seruan mereka kepada manusia, yakni seruan mereka untuk memurnikan
ketaatan kepada Allah!
- Bukannya seruan
untuk menyekutukanNya,
- Bukan seruan
untuk mengajak kepada ke-bida’ah-an yang dilarang RasulNya,
- Bukan seruan
untuk bermaksiat kepadaNya,
- Bukan seruan
mengajak kepada hal-halyang melalaikan.
C.
Kesimpulan
Dalam Qs. Yusuf ayat 108 memberikan
pesan bahwa kita sebagai umat Rasulullah diperintahkan untuk selalu
menyampaikan suatu kebaikan dengan semampu kita. Tentunya dakwah yang berisi seruan
yang telah diajarkan oleh Rasul, agar ajaran-ajaran Rasul bisa sampai kepada
umatnya dengan baik. Dakwah Rasulullah sudah tidak diragukan lagi, apa yang
disampaikan oleh Rasululllah sudah pasti kebenarannya. Tidak dapat disangkal
bahwa Rasul Saw mencapai puncak dalam berdakwah dan memenuhi sepenuhnya
tuntunan Allah Swt dalam menyampaikan semua ajaran.
Tentu saja yang berdakwah diharapkan
agar pengikut-pengikut beliau hendaknya memiliki pula sifat-sifat yang dicakup
oleh kata ittaba’ani itu serta serupa
walau tentu tidak mungkin sama dengan Rasul Saw yang dakwahnya ‘ala bashirah, yakni atas dasar
bukti-bukti yang jelas serta disertai dengan keikhlasan penuh. Namun demikian,
kita sadar bahwa walaupun seseorang muslim pengikut Nabi saw telah berusaha sekuat
tenaga dan kemampuan, namun ia pasti tidak akan mungkin mencapai peringkat dan
kualitas apalagi wewenang Rasul Saw dalam berdakwah dan menjelaskan ajaran
ilahi. Karena itu, maka yang dituntut dari setiap muslim adalah berdakwah
sebatas kemampuan, walau hanya satu ayat sesuai dengan sabda beliau :
“sampaikanlah dari ajaranku walau hanya satu ayat”.
Daftar Pustaka
Shihab,M.Quraish.2002.Tafsir Al-Misbah.Jakarta.Lentera Hati
Hamka.1990.Tafsir
Al-Azhar jilid 5.Pustaka NasionalPte Ltd Singapura
Munir,Muhammad.2006.Wahyu ilahi manajemen dakwah.Jakarta.Kencana