Start

Rabu, 11 November 2015

Rieview Unsur-unsur Kebudayaan



Rieview Ilmu Budaya Dasar
Bab II
Unsur-unsur Kebudayaan
Oleh Nur’aeni
Jurusan PMI Semester 3
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai apa itu kebudayaan. Dan banyak berbagai jawaban dan pengertian yang bervariatif dalam memaknai kebudayaan itu sendiri. Di dalam kebudayaan tentunya terdapat unsur-unsur yang mendukung munculnya kebudayaan tersebut. Kebudayaan sebagai penciptaan dan perkembangan nilai meliputi segala apa yang ada dalam alam fisik, personal dan sosial yang disempurnakan untuk realisasi tenaga manusia dan masyarakat. Dan perlu kita ketahui juga bahwa bukan jumlah kuantitatif atau mutu kualitatif nilai-nilai tersendiri mengandung kemajuan kebudayaan. Yang menentukan adalah kesatuan, sintesis atau konfigurasi nilai-nilai yang wajar.
Di dalam unsur-unsur kebudayaan terdapat kebudayaan subjektif, kebudayaan objektif, perbandingan pendapat, partisipasi dalam kebudayaan, dan sentralisasi kebudayaan. Hal itu merupakan  yang mendukung adanya suatu kebudayaan.
Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-nilai batin dalam kebudayaan subjektif terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dalam hierarki nilai perwujudannya tampak dalam kesehatan badan, penghalusan perasaan, kecerdasan budi bersama dengan kecakapan untuk mengkomunikasikan hasil pemakaian budi  kepada lain-lain, serta kerohanian.. kesehatan, gaya indah, kebajikan dan kebijaksanaan merupakan puncak-puncak bakat (ultimum potentiae) dari badan, rasa, kemauan dan akal. Itulah dikonkretisasikan lebih lagi dalam ketrampilan, kecekatan, keadilan, kedermawanan elokuensi dan fungsi-fungsi lain yang diperkembangkan dalam tabiat manusia oleh pengalaman dan pendidikan.[1]
Nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus menyatakan diri dalam tata lahir sebagai materialisasi dan institusionalisasi. Disana terbentanglah dunia kebudayaan objektif yang amat luas dan serbaguna yang dihasilkan oleh usaha raksasa ratusan angkatan sepanjang sejarah. Sedikit demi sedikit dibina dengan “trial and error”, dengan maju mundur, dengan pinjam meminjam antar kebudayaan[2].
Nilai-nilai objektif itu, yang disebut hasil kebudayaan, alat (instruments), aspek-aspek, universals dan unsur-unsur kebudayaan itu dapat disistematisasikan menurut beberapa prinsip pembagian[3], diantaranya adalah  ilmu pengetahuan, teknologi, kesosialan, ekonomi, kesenian, dan agama.
Ilmu pengetahuan bertujuan untuk mengonseptualisasikan fenomen-fenomen alam dalam sebab-sebabnya, dalam urutan sebab akibat dan mencari asas-asas umum. Seluruh proses Ilmu pengetahuan dari 3000 tahun terakhir berkembang ke arah kepastian. Sebab-sebab simbolis atau mitologis makin lama makin diganti oleh sebab-sebab yang pasti yang dapat diverifikasi. Gerakan kebatinan Timutr dan kontestasi para hippies berprotes  melawan intelektualisme yang mengasingkan manusia dari tabiat asli. Jelaslah, bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat mempertahankan kedudukan sewajarnya di dalam kebudayaan, jika terus-menerus dipikirkan kembali dan diusahakan integrasinya dalam tuntutan-tuntutan hidup.[4]
Teknologi terhitung antara sikap dan hasil budaya yang penting. Berdasarkan pengetahuan alam, teknik bertujuan untuk memfaedahkan sumber-sumber alam agar terjaminlah makanan, perumahan, komunikasi, dan lain-lain hal yang perlu untuk derajat hidup yang layak. Pemikiran tentang alam semata-mata, dan kemungkinan menguasai tenaga alam tidak dengan sendirinya menghasilkan teknik. Dalam kebudayaan primitive batas-batas antara kekuasaan manusia dan tenaga alam belum disadari dan manusia mencoba menguasai alam dengan magi, dengan mantera, dan ritual.[5]
Kesosialan sebagai sifat, unsur, asas, dan alat demikian erat berhubungan dengan kebudayaan, sehingga hanya dapat dibedakan secara konseptual saja. Ini berlaku baik dalam pandangan statis maupun dinamis.  Secara statis kesosialan meliputi fungsi dalam institusi-institusi asasi sebagai keluarga monogam, masyarakat adil dan makmur, desa dan kota, bangsa dan Negara.
Ekonomi, dalam rangka kebudayaan meliputi pola kelakuan dan lembaga-lembaga yang melaksanakannya dalam bidang produksi dan konsumsi keperluan-keperluan hidup serta pelayanannya.
Lapangan ekonomi lazimnya dibagi dalam tiga sector yaitu sector primer, sector sekunder, dan sector tersier.
Kesenian, keindahan, estetika, mewujudkan nilai rasa dalam arti luas dan wajib diwakili dalam kebudayaan lengkap. Kedwisatuan manusia yang terdiri atas budi dan badan tak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja.
Agama didaftarkan oleh sosiologi dan antropologi deskriptif diantara unsur –unsur kebudayaan dan dipelajarinya sebuah kategori insani semata-mata. Pendapat itu tidak dibenarkan oleh filsafat kebudayaan. Agama sebagai keyakinan hidup rohani pemeluknya, baik perseorangan maupun sebagai jemaat, adalah jawab manusia kepada pangilan ilahi di dalam alam dan rahmat. Keyakinan itu memuat iman , sikap, sembah, rasa hormat, rasa tobat dan syukur yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia[6].
Setelah saya membaca semua bacaan yang ada pada lembar poto copi ini, jujur saya masih belum benar-benar memahami inti dari bacaan yang saya baca, meskipun saya sudah mencoba membacanya berulang. Mungkin dikarenakan banyak istilah-istilah baru yang saya temui. Mungkin nanti setelah adanya penjelasan dari diskusi bersama antara mahasiswa dengan dosen saya akan lebih paham mengenai isi dari buku ini. Akan tetapi, setidaknya saya sedikit mengerti mengenai teori-teori yang disampaikan pada bab 2 ini.
Dalam buku ini terdapat beberapa teori-teori mengenai kebudayaan yang disampaikan oleh beberapa tokoh yang berpengaruh dalam teori ini. Seperti halnya teori F. Bacon yang menyatakan “Knowledge is power” menjadi pedoman untuk menciptakan dunia ilmu pengetahuan yang semakin bercabang-cabang. Bila ilmu yang mengikuti dinamikanya tersendiri terlepas dari kesadaran akan kebutuhan masyarakat atau terlepas dari moral, itu sudah bukan mewakili nilai positif lagi. Arah baik penelitian ilmiah dijamin oleh hubungannya yang tetap dengan nilai-nilai asasi kebudayaan. Tetapi, menurut saya ilmu tidak mungkin mengikuti dinamikanya tersendiri, ilmu memang bersifat dinamis, namun selalu beriringan dengan kesadaran masyarakat yang selalu mengikuti nilai-nilai asasi kebudayaan.
Sosiologi ilmu pengetahuan adalah cabang ilmu baru yang mempertimbangkan nilai relative serta fungsi pelengkap masing-masing ilmu[7]. Itu artinya bahwa setiap individu itu mempunyai pandangan/paradigma/pemikiran yang berbeda satu sama lainnya,  dalam menilai sesuatu yang ia lihat dan yang ia rasa.
Kebudayaan diuji menurut nilai sosial dan solider[8]. Ketika nilai sosial itu tidak diterapkan dengan baik oleh masyarakat maka kebudayaan itu lama kelamaan akan pudar dan mengikis dengan sendirinya. Oleh karena itu, perlulah adanya kesetiaan dalam melestarikan kebudayaan yang sudah terbentuk untuk tercapainya tujuan universal. Kenapa demikian, karena disini kita selaku tokoh yang dimana berperan penting dalam keberadaan suatu kebudayaan.Yang semestinya mengetahui kelebihan dan kekurangan dari kebudayaan yang sudah membudaya di masyarakat.



[1]SJ, Bakker J.W.M,1984,FilsafatKebudayaan,Yogyakarta;PT Kanisius hal 37-38
[2] Ibid hal 38
[3] Ibid hal 38
[4] Ibid 38-40
[5] Ibid Hal 40
[6] Ibid hal 47
[7] Ibid hal 39
[8] Ibid hal 51

Pengendalian Dakwah



A.           PENGENDALIAN DAKWAH
Pengendalian dapat dimaksudkan sebagai sebuah kegiatan mengukur penyimpangan dari prestasi yang direncanakan dan menggerakkan tindakan korektif. Adapun unsur-unsur dasar pengendalian meliputi :
1.      Sebuah standard spesifikasi prestasi yang diharapkan. Ini dapat berupa sebuah anggaran, sebuah prosedur pengoperasian, sebuah logaritma keputusan dan sebagainya.
2.      Sebuah pengukuran proses riil.
3.      Sebuah laporan penyimpangan pada unit pengendali.
4.      Seperangkat tindakan yang dapat dilakukan oleh unit pengendali untuk mengubah prestasi sekarang kurang memuaskan, yaitu seperangkat aturan keputusan untuk memilih tanggapan yang layak.
5.      Dalam hal tindakan unit pengendali gagal membawa prestasi nyata yang kurang memuaskan ke arah yang diharapkan, sehingga ada sebuah meted tingkat perencanaan atau pengendalian lebih tinggi untuk mengubah satu atau beberapa keadaan yang tidak kondusif.[1]
Pada era sekarang ini pengendalian operasi dakwah dilakukan terintegrasi dari suatu organisasi dakwah sudah menjadi suatu kebutuhan, dan dalam pengendalian ini selalu disertakan unsur perbaikan yang berkelanjutan. Sifat perbaikan yang berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini sebagai disinyalir dalam surat Al-Mujadalah : 7, yang artinya :
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada pembicaraan antara lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka dimana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Sementara hadist Nabi :
“Tidak ada seorang pun diberi kepercayaan oleh Allah untuk memimpin kemudian ia memelihara dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan kepadanya bau surga”.

Program untuk pengendalian dan peningkatan mutu dakwah dapat dilaksanakan dengan beberapa cara antara lain :
1. Menentukan operasi program pengendalian dan perbaikan aktivitas dakwah.
2. Menjelaskan mengapa operasi program itu dipilih.
3. Mengkaji situasi pemantauan yang kondusif.
4. Melaksanakan agresi data.
5. Menentukan rencana perbaikan.
6. Melakukan program perbaikan dalam jangka waktu tertentu.
7. Mengevaluasi program perbaikan tersebut.
8. Melakukan tindakan koreksi jika terjadi penyimpangan atas standard yang ada[2].
Menurut Jemes A.F Stoner dan R. Edward Freeman, bahwa definisi dari pengendalian adalah sebuah proses untuk memastikan, bahwa aktivitas sebenarnya sesuai dengan aktivitas yang telah direncanakan [the process of ensuring that actual activities conform to plannet activitie]. Sementara itu Robert J. Mockler mendefinisikan bahwa elemen esensial dari proses pengendalian manajemen adalah suatu tindakan sistematis untuk menetapkan sebuah standard prestasi kerja dengan tujuan perencanaan untuk mendesain system umpan balik informasi, untuk membandingkan prestasi yang sesungguhnya dengan standard yang telah ditetapkan terlebih dahulu, untuk menetapkan apakah ada deviasi serta untuk mengukur signifikasinya, serta mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa sumber daya perusahaan telah dilaksanakan secara seefektif dan seefesien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.[3]
Jadi, jika melihat dari kedua pengertian di atas, pengendalian merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk mensukseskan segala aktivitas yang akan dilakukan agar bisa dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, dan dengan mempertimbangkan keefektifan dan keefesienan waktu yang ada. Dan dengan adanya pengendalian tersebut dapat melaksanakan segala aktivitas yang telah direncanakan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
B.            UNSUR DAN PROSES PENGENDALIAN MANAJEMEN DAKWAH
Pengendalian manajemen dakwah lebih bersifat komprehensif dimana lebih mengarah pada upaya yang dilakukan manajemen agar tujuan organisasi tercapai. Dalam hal ini unsur-unsur yang terkait, meliputi detektor, selector, efektor, dan komunikator. Unsur-unsur tersebut semuanya saling berkaitan satu sama lain. Al-qur’an dan as-sunnah merupakan sebuah acuan yang normative dalam hal yang berkaitan mengenai pengendalian dakwah ini.
Islam melakukan koreksi terhadap kekeliruan berdasarkan atas :
1. Tawa shau bi al-haqqi [ saling menasihati atas dasar kebenaran dan norma yang jelas].
2. Tawa shau bis shabri [ saling menasihati atas dasar kesabaran].
3. Tawa shau bil marhamah [ saling menasihati atas dasar kasih sayang].
Pada dasarnya proses pengendalian manajemen dakwah yang efektif itu bersifat formal, namun pada realitasnya pengendalian informal lebih dominan. Tahapan dalam proses pengendalian terdiri dari:
1.        Pemprograman (programming)
2.        Penganggaran (budgeting)
Anggaran jika ditinjau dari aspek penggunaannya dibagi menjadi empat yaitu :
a.       Rencana yang terpadu
b.      Financial quantification
c.       Operasi dan sumber daya
Adapun fungsi dari anggaran dakwah adalah :
1.      Sebagai dukungan finansial dalam setiap aktivitas organisasi dakwah.
2.      Sebagai sarana utama untuk pengendalian serta alat utama koordinasi dalam aktivitas dakwah.
3.      Operasi dan akuntansi.
4.      Laporan dan analisis.
Langkah-langkah dari proses pengendalian itu dikategorikan menjadi empat macam, yaitu :
a.       Menempatkan standard, metode, dan prestasi kerja.
b.      Pengukuran prestasi kerja.
c.       Menetapkan apakah prestasi kerja sesuai dengan standard.
d.      Pengambilan tindakan korektif.
C.           FUNGSI PENGENDALIAN DAKWAH
Secara spesifik pengendalian dakwah ini dibutuhkan untuk untuk :
1.      Menciptakan suatu mutu dakwah yang lebih baik.
2.      Dapat menciptakan sebuah siklus yang lebih cepat.
3.      Untuk mempermudah pendelegasian da’I dan kerja tim.
Elemen yang perlu diperhatikan untuk peningkatan strategi dan efektivitas organisasi dakwah meliputi antara lain :
Ø  Pengembangan profesionalitas
Ø  Hubungan interpersonal
·         Homofili
·         Kredibilitas
·         Dominasi dan submisi

D.           EVALUASI DAKWAH
Evaluasi dakwah ini dirancang untuk memberikan penilaian kepada orang yang dinilai dan orang yang menilai atau pimpinan dakwah tentang informasi mengenai hasil karya. Tujuan dari program evaluasi ini adalah untuk mencapai konklusi dakwah yang evaluative dan memberi pertimbangan mengenai hasil karya serta untuk mengembangkan karya dalam sebuah program.
Secara spesifik tujuan dari evaluasi dakwah itu adalah :
1.      Untuk mengidentifikasi sumber daya da’i yang potensial dalam sebuah spesifikasi pekerjaan manajerial.
2.      Untuk menentukan kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi individu dan kelompok dalam sebuah lembaga atau organisasi.
3.      Untuk mengidentifikasi para anggota yang akan diproosikan dalam penempatan posisi tertentu.
Adapun hasil dari evaluasi itu diperoleh dari :
a.       Motivasi
b.      Promosi
c.       Mutasi dan pemberhentian anggota
d.      Dukungan finansial
e.       Kesadaran yang meningkat dari tugas dan persoalan bawahan
f.          Pengertian bawahan yang meningkat mengenai pandangan manajerial tentan hasil karya.
g.      Mengidentifikasi kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan
h.      Mengevaluasi efektivitas dari keputusan seleksi dan penempatan
i.           Pemindahan
j.         Perencanaan sumber daya manusia
k.      Peringatan dan hukuman










[1][1] Munir, Muhammad, wahyu ilahi, 2006, Manajemen Dakwah, Jakarta : Kencana hal 5-6
[2] Ibid hal 169
[3] Ibid hal 170