Start

Rabu, 16 September 2015

Musnahkan Ruh Plagiarisme



Musnahkan Ruh Plagiarisme
Oleh
Nur’aeni
Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Semester 2
Mata Kuliah
Ilmu Sosial Dasar


Ruh plagiarisme? Adakah disini? Di kampus IAIN SNJ Cirebon khususnya. Ruh itu sesuatu yang tak tampak di mata, namun sejatinya ada. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu dan mampu melihatnya. Apakah kita sudah mampu melihat kenampakkannya? Entahlah...
Sebenarnya, kebanyakan informan mengetahui bagaimana seharusnya mengantisipasi agar tidak terjadinya plagiarisme. Sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu, kenapa sih plagiarisme bisa terjadi di dunia pendidikan, khususnya dikalangan mahasiswa???  Karena, mahasiswa tidak mempunyai minat baca yang tinggi, meskipun tidak semuanya mahasiswa seperti itu, itu hanya sebagian saja. Seorang mahasiswa yang masih saja malas untuk membaca, maka harus bisa lebih rajin lagi dalam membaca banyak buku. Dengan banyak membaca, maka akan muncul rasa cinta akan keilmuan-keilmuan yang diperoleh dari hasil membaca tersebut, wawasan semakin bertambah, dan dari mencintai dan menyenangi dunia keilmuan akan muncul inovasi dan kreativitas yang baru yang lebih baik. Kemudian, usaha-usaha yang mesti dilakukan selain itu, tambahkan rasa keingin tahuan yang lebih besar akan sesuatu yang akan membuat kita selalu ingin mencari dan mencari dalam menambah ilmu pengetahuan. Kita harus selalu merasa kurang dengan ilmu yang kita punya, agar kita tidak berhenti dalam memperoleh tambahan ilmu yang baru.
Salah satu cara agar terbebas  dari tindakan plagiarisme adalah ketika kita mengutip hasil karya orang lain, maka kita harus mencantumkan identitas-identitas yang ada pada rujukan tersebut. Karena kemungkinan besar seseorang yang akan membuat sebuah karya ilmiah tentunya membutuhkan bahan-bahan materi untuk dijadikan sebagai rujukannya, siapapun orangnya. Tidak menutup kemungkinan seorang professor. Professor juga dalam membuat karya ilmiyahnya harus mengutip dari buku rujukan.
Ketika seorang mahasiswa ditugaskan oleh dosennya untuk membuat makalah, mahasiswa pun diperbolehkan untuk mengutip dari internet, asalkan mencantumkan Sumber. Dan jika dari buku juga harus mencatumkan sumber rujukan yang jelas. Jangan sampai kita menjiplak makalah yang sudah jadi dari internet. Jadi, kalau mau mengutip dari buku ataupun dari internet harus mencantumkan sumbernya.
Selain dengan cara seperti itu, seorang dosen juga harus bisa menegaskan kepada para mahasiswanya ketika  memberikan tugas apapun tidak boleh asal jiplak-jiplak begitu saja. Baik itu dalam memberikan tugas terstruktur ataupun tugas mandiri. Untuk memberikan efek jera kepada mahasiswanya, maka dosen harus memberikan ancaman atau sanksi yang harus diterima bagi mahasiswa yang mengerjakan tugasnya dari hasil jiplakan internet tanpa mencantumkan sumber yang jelas itu, maka tugas yang dikerjakannya itu tidak boleh atau tidak akan diterima hasilnya oleh dosen yang memberikan tugas tersebut. Dengan hal itu, mahasiswa akan lebih hati-hati lagi dalam mengerjakannya.
Bagaimana sih seorang plagiator memplagiasi karya orang lain????
Apakah semua orang tahu dan menyadari akan plagiasi?
Coba kita simak jawaban-jawaban dari para informan yang telah di wawancarai oleh kami. Menurut informan pertama, “Ada yang langsung nyari terus dibikin, bisa juga dirubah sedikit sekiranya supaya enggak ketahuan”. Informan kedua, Ya dengan menjiplak secara keseluruhan suatu ide tanpa mencantumkan identitas-identitas pengarang”. Informan ketiga, “Biasanya pertama, misal mengambil satu skripsi orang kemudian dia tulis ulang dengan hanya membuang nama dan mengganti, tetapi isinya sama itu doang simple terus copas karena sekarang pakainya internet, tapi kalau dulu kan dari berkas kemudian di tulis ulang kalau sekarang sudah canggih lagi tinggal ke google terus copas selesai”. Informan keempat, “caranya tuh berbagai cara, bisa lewat langsung kepada objeknya bisa juga lewat perantara”. Sedangkan menurut informan yang kelima, “Yang saya ketahui yang pertama : Dengan cara mengambil dari buku tanpa mengutip nama bukunya dan penulisnya. Yang kedua : Dengan cara mengambil dari internet tanpa mencantumkan sumbernya,  yang ketiga : dibuatkan oleh orang lain dan mengakui karya orang lain sebagai karyanya gitu”.
Itulah data-data yang kami peroleh dari para informan. Secara tidak langsung mereka mengetahui dan memahami bagaimana seorang plagiator dalam memplagiasi karya orang lain tersebut. Tetapi, kenapa masih saja ruh plagiarisme gentayangan dimana-mana, bahkan disetiap sudut kampus pun ada. Siapa yang mesti disalahkan akan hal ini? Mahasiswanya ataukah dosennya?
Tidak ada yang mesti disalah-salahkan, ketika dosen ataupun mahasiswa yang belum menyadari betapa buruknya plagiarisme, maka plagiarisme akan terus bergentayangan dimana-mana. Untuk menghilangkan itu semua, harus adanya kesadaran yang tinggi dari pelaku-pelaku yang setia akan plagiarisme tersebut.
Kalau saja mereka mengetahui betapa beratnya hukuman bagi pelaku plagiarisme, kemungkinan besar mereka akan benar-benar menanggapi serius dan berusaha menghindari dari ruh plagiarisme tersebut. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka, Mereka tidak mengetahui betul tentang dasar hukum plagiarisme. Adapun sanksinya mereka sedikit memahami. Yakni dengan dipenjara ataupun denda. Hanya sedikit sekali yang mengetahui akan hukum UU plagiarisme, sehingga mereka menyepelekannya.
Menurut informan pertama,”Hukum sih gak tau tapi sanksinya pernah membaca bahwa ketika memplagiasikan karya ilmiah itu akan dikenakan denda atau sangsi seperti uang tunai hampir ratusan juta sih. Bahkan bisa masuk penjara juga, tergantung undang-undangnya tapi yang saya ketahui seperti itu”.
Menurut informan kedua, “Sejauh ini yang saya tau bahwa plagiasi bisa menurunkan derajat contohnya yaitu ada di pasca sarjana misalnya ada yang ketahuan plagiasi maka langsung di cabutlah gelar dan pangkatnya. Intinya ada di UU nya cuman saya lupa lagi dan belum baca”.
Menurut informan ketiga, “Saya pernah mendengar itu dilarang  dan di haramkan. ,Sebab kalau  dilarangnya saja masih ada orang yang melanggar, diharamkan saja ada yang melanggar, apalagi kalo cuman dilarang, makanya disini dilarang dan diharamkan karena itu bukan ciri orang islam banget hasil karyanya saja hasil plagiat bagaimana membikin masyarakat yang ideal”.
Menurut informan keempat, “Sanksi dan hukum plagiarisme yang saya tahu itu, karena saya bukan orang hukum, setau saya itu karya ilmiah akan digagalkan dan akan diberikan hukuman sesuai dengan Undang-undang yang sedang berlaku. Undang-undang yang saya ketahui, berhubung saya belum baca jadi kurang tahu, Cuma mungkin adanya denda, denda pidana dari pihak yang bertugas”.
Menurut informan kelima, “Ya saya tahu. Menurut yang saya ketahui kalau tidak salah, sanksi di dunia akademik buat mahasiswa itu misalkan: Skripsi atau karya Ilmiah biasanya  dalam Undang-Undang nya itu 2 tahun penjara, kalau denda itu 200 juta ga tau 500 juta kalau gak salah. Antara sekitar itu. Kalau dari lembaganya sendiri atau perguruan tingginya sendiri biasanya yang saya ketahui itu  si mahasiswanya itu apabila dia telah lulus maka Ijasah itu di simpan. Maksudnya engga dikembaliin sama orangnya. Terus misalkan dia  belum lulus, atau masih menjadi mahasiswa biasanya di cabut hak sebagai mahasiswanya. Biasanya itu, dia dicoret namanya atau nanti ada sanksi tertulis biasanya. Eh pertama itu adanya sanksi tertulis sama sanksi teguran biasa  dari pihak Akademiknya. Makanya kalau Skripsi itu kan dilampirkan surat pernyataan  bahwa dia itu tidak melakukan plagiat dan itu harus di ACC. Jika Dosen yang melakukan biasanya dicabut gelarnya atau pangkat nya biasanya dicabut. Biasanya juga ada denda juga buat dosen, tapi saya lupa berapa jumlahnya. Pokoknya itu”.
Hmmm... apakah plagiarisme itu dilarang? Bagaimana kalau dilihat secara agama? Kalau menurut saya sendiri, tentulah dilarang, karena banyak pihak yang dirugikan, apalagi plagiarisme itu sama saja dihukumi mencuri karya orang lain, bukankah di dalam agama mencuri itu tidak boleh? Oleh karena itu harus adanya pelarangan plagiarisme, karena jika tidak ada larangan maka plagiarisme itu akan terus membudaya disemua kalangan. Sehingga generasi penerus bangsa tidak mempunyai kemampuan berpikir yang baik. Yang ada hanyalah mengerjakan segala sesuatu dengan instan tanpa melalui proses yang panjang, itukan bisa menghambat pola pikir kita kan? Hehe :D saya berharap dengan adanya penelitian ini, untuk ke depannya semoga bisa ada perubahan yang positif, baik untuk saya sendiri maupun informan-informan yang dijadikan sebagai narasumber dalam memperoleh data mengenai plagiarisme ini.
Eh.. tapi, pendapat saya aja tidak cukup toh, coba kita simak jawaban para informan mengenai hal ini.
Informan pertama berpendapat bahwa “Ya secara hakilat sih, yang namanya mencuri, mengcopy, menjiplak karya orang lain itu dilarang. Yang namanya mencuri menurut agama kan dilarang. Jadi ya secara hakikatnya menurut agama mencuri ya dilarang dan menurut pendidikan juga kan dilarang”.
Informan kedua berpendapat bahwa “Sama kayaknya dalam agama juga dilarang karena itu sesuatu hal yang bisa membuat membuat dzholim. Sama seperti halnya mencuri nah itukan dilarang dalam agama”.
Informan kedua berpendapat bahwa “Dilarang alasanya karena plagiarisme dari yang segi buruknya seperti yang saya jelaskan diawal itu yang jelas dilarang karena tidak ada nilai kebaikan sama sekali”.
Menurut pendapat ketiga, menyatakan “Plagiarisme itu, kalau hal plagiarisme dilarang”.
Sedangkan menurut informan kelima berpendapat bahwa “Dilarang sih kayanya. Soalnya kalau misalkan di pemerintahan aja ya, itu kalau di Undang-Undang itu ada tentang plagiarisme ya, itu engga boleh menggunakan hak cipta orang. Apalagi di Agama kayanya itu dilarang, karena sama aja mencuri tuh, mencuri pandangan atau pikiran dari orang lain gitu tanpa seizin dari pemiliknya”.
Bisa kita ambil kesimpulan dari jawaban para informan, Mereka tidak mengetahui bahwa plagiarisme itu melanggar moral, sikap jujur. Dan kebanyakan dari mereka mengetahui bahwa plagiarisme sama seperti halnya mencuri, dan mencuri itu dilarang oleh agama. Setidaknya jawaban dari informan sudah cukup jelas ya... ^^
Sekarang kita coba lanjut ya, bagaimana nih kalau kita melihat teman kita melakukan tindakan plagiarisme? Apakah hanya diam dan membiarkan begitu saja, menegurnya, ataukah melaporkannya kepihak yang menangani masalah tentang plagiarisme? Boleh deh kita tengok lagi jawaban dari para informan, disini saya tidak akan terlepas dari data para informan, karena mereka merupakan sumber data buat kami.
Menurut informan pertama, “Ya namanya juga teman, ya paling cuma bilang dan memberi tahu dengan cara kita seperti biasa seperti kesehariannya, jangan terlalu serius, yang pentingkan kita menyampaikan bahwa plagiarisme itu tidak baik dilakukan, karena bisa mempengaruhi kemamampuannya orang tersebut, kemampuan individunya. Kalau melakukan plagiasi kan kemampuannya gak bakal berubah”.
Menurut informan kedua, “Kasih saran, kenapa ko plagiasi udah jelas-jelas dilarang, alangkah lebih baiknya jangan seperti itu, lebih baik kamu mencontoh atau mengutip tapi tapi memberikan identitas siapa pembuatnya, jadi jangan seenaknya saja karya yang cape-cape udah hasil mikir malah diakui sama diri sendiri. Toh bila itu karya kamu trus diakui sama orang lain kamu mau gak?”. Mungkin maksud dari informan kedua ini mencoba untuk menasehatinya agar temannya tidak masuk ke lubang yang salah, uuupstt.
Menurut informan ketiga, ”Biasanya saya itu kalau kegiatan asli tindakan saya yang pernah itu menyindirnya tetapi kalau secara adab seharusnya mengingatkan bahwa itu perbuatan yang tidak baik”.
Menurut informan keempat, ”Pertama,pastinya menasehati kepada teman, intinya kita hanya sebagai menegur atau menasehati sesama teman. Kalau masalah mau dan tidaknya tergantung orang itu sendiri. Karena kita hanya sebagai manusia yang bisa mengajak tanpa memaksakan”.
Menurut informan yang kelima, “Ya kalau saya paling memperingati, karena yang pertama  itu merugikan dirinya sendiri. Karena apa namanya ?? itu juga yang ke dua merugikan orang lain yang punya karyanya, dan merugikan diri kita sendiri. Jadi dia itu hasil dari belajarnya apa gitu.. kalau misalkan kita hanya ngambil-ngambil punya orang lalu apa gunanya kita kuliah lama-lama atau sekolah sampai berapa tahun,, apa gunanya gitu”.
Jadi,mereka semua tahu bahwa plagiasi itu dilarang. Tapi ketika dihadapkan dengan temannya yang melakukan plagiasi mereka hanya bisa menyindir, menasehati, tidak ditindak secara serius.
Nah, lalu bagaimana ketika kita dihadapkan dengan tindakan plagiarisme yang serius? Dan kemana kita akan melaporkannya? Apakah masih diam saja atau ada tindakan lain yang mesti dilakukan? Kita lihat kembali jawaban dari para informan ya.
Informan pertama, “Ya gak enak juga sih kalau sama teman dekat terus melakukan plagiasi terus dilaporkan. Saya sih kalau ada teman melakukan plagiasi sih diam-diam saja, tidak bilang-bilang ke dosen. Toh dosennya juga kan lebih paham, lebih ngerti karakteristik-karakteristik seperti apa. Yang penting sudah menyampaikan bahwa plagiat itu tidak baik dan tidak usah melapor pada pihak-pihak”.
Informan kedua, “Pertama mengadu ke bagian yang berwenang yaitu lembaga kampus yang menghususkan menangani masalah identitas-identitas dan plagiasi, tim smacam resesor. Atau lembaga yang mengataSi masalah plagiasi. Kalau di kampus tidak ada lembaga seperti ini semua para dosen dan mahasiswa bakalan plagiasi”.
Informan ketiga, “Karena saya belum pernah melaporkanya, saya juga bingung akan melaporkan sama siapa cuman mungkin misalkan yang pernah saya ini mengklaim bahwa itu  perkataan dia padahal itu tulisan dari buku kalau dalam kegiatan dikelas saya laporkan ke dosen dengn membawa sumber yang menguatkan apa yang saya laporkan itu. Jadi mungkin ke pihak-pihak aslinya belum pernah kalau resminya harus melapor kepada siapa”.
Informan keempat, “Pihak akademik dan Dinas Pendidikan setempat”.
Informan kelima, “Kalau plagiasi kaya gitu, kalau masalah lapor melapor sih, kalau saya sih lebih ke apa namanya?? Kalau sesama teman itu kan sudah pasti saling mengingatkan, kalau tindakan saya mah mengingatkan dulu nanti kalau kata dianya apa-apa biasanya kan merubahnya sendiri atau dia berusaha sendiri. Tapi kalau dianya tetep yaitu mah merugikan diri sendiri, kecuali nanti juga kan pasti kalau dosennya yang selektif nanti ketahuan. Apalagi skripsi pasti keliatan, walaupun kita tidak melapor juga nanti pasti kena”.
Jadi, Kebanyakan mereka hanya diam saja, cuma sekedar memperingati dan tidak berani melaporkan ke pihak yang bersangkutan dalam menangani kasus serius plagiarisme ini.
Setelah semuanya sudah dijelaskan secara panjang lebar, mungkin bisa saya simpulkan sedikit, sesuai dengan judul yang saya ambil yaitu “Musnahkan Ruh Plagiarisme”. Kenapa disini saya mengambil judul demikian, karena ketika ruh plagiarisme masih ada di mana-mana, maka kasus plagiarisme akan terus gentayangan di setiap sudut manapun. Oleh karena itu, mulai sekarang kita coba memusnahkannya dengan cara-cara yang baik. Setidaknya ketika kita akan mengambil kutipan orang lain, jangan lupa cantumkan sumber yang jelas, agar kita tidak termasuk orang yang suka memplagiasi karya orang lain. Oke guys ...^^
Sekian dari saya, semoga tulisan dari hasil laporan yang saya buat ini, bisa bermanfaat untuk pembaca dan untuk diri saya pribadi khususnya.
Terima Kasih. Mohon maaf jika ada kesalahan kata-kata yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kesempurnaan hanya milik Allah semata, dan kekurangan datangnya dari saya yang dhoif ini.






















Senin, 25 Mei 2015

Resuman Fenomenologi



Fenomenologi
Oleh
Nur’aeni
Jurusan PMI Semeseter 2
Tugas Meresum Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Lange mengungkapkan bahwa untuk memahami kontruksi sosial suatu masyarakat, ilmuwan sosial harus mencapai intelligible world, yang merupakan tempat terhimpunnya fakta-fakta sosial yang dialami setiap individu sehingga dia bisa memahami kesadaran murni (pure consciusness) masing-masing individu yang menjadi pemicu munculnya tindakan sosial. Metode seperti itulah yang digunakan oleh kaum fenomenolog sosial untuk menganalisis suatu fenomena sosial. Metode yang dikembangkan oleh Edmund Husserl yang disebut fenomenologi.[1]
            Kaum fenomenolog sosial berangkat dari pembedaan atas formalisme yang dilakukan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Di samping mengembangkan konsep a priori- a posterior, Kant juga memfokuskan perhatian pada objek pengetahuan. Menurut Kant, kita semua mengetahui bahwa kita memiliki pengalaman yang diasumsikan kembali pada dunia realitas. Kant menamai dunia yang dialami dengan fenomena, dan hal yang dialami disebut nomena. Pengetahuan kita tentang dunia, termasuk semua pengetahuan ilmiah, selalu berhubungan dengan sesuatu yang dialami. [2]
Pada tahap selanjutnya, Kant membagi pengetahuan tentang fenomena pada dua bagian utama: bentuk (from) dan isi (content), dimana bentuk merupakan bagian fundamental, sedangkan isi suatu pengalaman diproduksi oleh pengaruh-pengaruh yang muncul dari luar. Pembeda yang dilakukan Kant atas bentuk dan isi serta nomena dan fenomena, pada akhirnya memunculkan pertanyaan penting, setiap tindakan yang kita lakukan memiliki dua konstruksi yang berbeda; kostruksi ilmiah yang berdasar pada konsep keniscayaan (causal) serta kostrruksi etika yang bebas dan tanggung jawab.[3]  
Dan khususnya dalam teori fenomenologi, pemikiran Kant mempengaruhi Charles Renouvier (1815-1903) yang dikenal dengan teori fenomenalisme atau neo-kritisisme. Teori Renouvier pada intinya mengatakan bahwa realitas adalah fakta kesadaran dan sistem hubungan antara fakta-fakta kesadaran. Renouvier mengeliminir noumena dan kemudian kembali mereduksi fenomena menjadi nomena. Teori fenomenologi tersebut kemudian dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938). Tapi tidak seperti Renouver yang mereduksi semua realitas pada fenomena. Husserl lebih menekankan pada institusi fenomena sebagai dasar pendekatan atas semua bentuk realitas.[4]
Metode Husserl adalah memeriksa dan menganalisis kehidupan batiniah individu, yakni pengalaman-pengalamannya mengenai fenomena atau penampakan-penampakan sebagaimana terjadi dalam arus kesadaran. Husserl bertolak dari pengandaian bahwa pengalaman tidak hanya diberikan kepada individu, melainkan bersifat intensional dalam arti bahwa pengalaman itu melibatkan orang yang mengarahkan perhatiannya pada objek-objek yang membuat pengalamannya seperti itu. Husserl berpikir bahwa kita bisa memebersihkan diri dari prasangka –prasangka kita yang terkumpul mengenai dunia dan mereduksi pengalaman kita sampai unsur-unsur dasariah pengalaman-pengalaman itu dan struktur yang mendasari pengalaman-pengalaman itu.[5].
Tujuan Husserl adalah untuk membangun fenomenologi sebagai ilmu eidetik. Husserl meyakini bahwa pengalaman terbagi menjadi dua ; pengalaman alami dan pengalaman eidetik. Isi pengetahuan mengandung objek-objek natural dan esensi intrinsik fenomena. Fenomenologi Husserl melibatkan reduksi atas setiap peristiwa pengalaman pada kesadaran murni dan segala hal yang berhubungan dengannya. Metode ini mengasumsikan bahwa setiap pengalaman memiliki esensi yang dapat ditelusuri dengan pendekatan intuitif. Tujuan puncak Husserl adalah investigasi atas kesadaran murni dan hubungan realitasnya dengan keadaan eidetik.[6]
Secara garis besar metode fenomenologi Husserl mencakup dua langkah utama. Pertama, pembedaan atas realitas natural dan realitas eidetik. Langkah kedua, pembedaan antara esensi imanen dengan esensi transenden. Esensi transenden meliputi esensi-esensi semacam benda, bentuk khusus, gerakan, warna sesuatu dan lain-lain. Langkah kedua itu dilakukan dengan menahan esensi-esensi transenden dari analisis dan menganalisis esensi-esensi imanen dari kesadaran murni.[7]
Husserl lebih memperhatikan yang pertama, yaitu pengalaman eidetik, dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi yang terkontrol secara progresif pada pengalaman yang muncul pada tingkat paling dalam dari diri manusia. Pada perkembangan selanjutnya, reduksi fenomenologi yang dikembangkan Husserl diaplikasikan ke dalam realitas kehidupan sosial yang dilakukan, diantaranya oleh Alfred Vierkandt (1867-1953).[8]
 Dengan demikian, studi fenomenologi sebagai metode sosiologi murni. Bisa menyingkap esensi masyarakat. Perilaku masyarakat dan relasi-relasi sosial yang terbentuk. Dengan menggunakan metode tersebut seseorang bisa menemukan fakta-fakta atau disposisi a priori dan paling puncak dari kehidupan sosial. Fakta-fakta tersebut merupakan pra kondisi a priori dari komunitas manusia, dan kehidupan sosial bisa direduksi ke dalam pengembangan fakta-fakta tersebut.[9]
Fenomenologi Husserl mempengaruhi seorang sosiolog Wina, Austria, Alfred Schutz (1899-1959). Alfred Schutz mengaplikasikannya dalam sosiologi, dimana dalam sebuah karyanya (1967) Schutz mengemukakan tentang betapa pentingnya dunia yang hidup, peristiwa sehari-hari yang menghasilkan pemahaman kita atas dunia. Bagi Schutz, dunia sosial keseharian selalu merupakan suatu yang intersubjektif.[10]
Schutz mengemukakan bahwa ketertarikan manusia dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang bersifat sangat praktis dan tidak bersifat teoritis. Sikap alami mereka diatur oleh motif-motif pragmatis, yakni mereka berupaya mengontrol, menguasai, atau mengubah dunia dalam rangka menerapkan proyek-proyek dan tujuan mereka. Schutz menyebut kehidupan sehari-hari yang praktis tersebut dengan istilah dunia kerja realitas puncak. Kehidupan keseharian mereka merupakan wadah kehidupan sosial dimana manusia memperlakukan dunia ini sebagai lahan yang harus dikuasai, dan mereka berusaha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan yang datang dari luar untuk mencapai pada rencana-rencana kehidupan mereka.[11]
Semua pengetahuan itu dijembatani oleh konstruksi intelektual, sebab hal ini melibatkan generalisasi, idealisasi dan abstraksi. Dengan pengertian semacam ini, fakta-fakta yang sering digambarkan sebagai sesuatu yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri tidak akan pernah terjadi, sebab fakta-fakta tersebut selalu merupakan hasil dari seleksi dan penafsiran. Penafsiran tersebut selalu membawa makna, dengan demikian jelas bahwa fakta-fakta itu merupakan sesuatu yang dipilih, ditafsirkan dan diabstraksikan. Pengetahuan kita sangat bersifat perspektif, oleh karenanya kita hanya menangkap aspek-aspek realitas tertentu saja, bukan seluruh realita yang kongkrit. Epistemologi asumsi semacam ini berlaku untuk seluruh pengetahuan.[12]
Dalam fenomenolgi Schutzian,untuk menafsirkan konsep-konsep sosiologis, seorang sosiolog harus melakukan proses reduksi fenomenologis dimana dia membersihkan dirinya dari segala prasangka teoritis dan ilmiah mengenai di luar sana dan menganalisis kebermaknaan atau arti fenomena sebagaimana dialami. Karena bagi Schutz, ada segi-segi yang menentukan dalam kehidupan sehari-hari yang tak bisa secara memadai dimengerti ketika kita merefleksikan diri kita sendiri saat bertindak. Ingatan tak bisa menciptakan kembali pengalaman hidup yang masih diingat.[13]
Walaupun Schuzt menggunakan fenomenologi Husserl dalam analisisnya, tetapi ada perbedaan antara fenomenologi Schutz dengan Husserl. Setelah melakukan reduksi fenomenologis, Husserl terus memurnikan pengalaman akan segala unsur empiris termasuk sumbangan individu sendiri untuk pengalaman-pengalamannny, sehingga menyingkap struktur akhir kesadaran manusia pada umumnya. Sedangkan Schuzt tetap tinggal pada taraf analisis psikologis, menempatkan dirinya dalam tugas menganalisis pengalaman sosial kesadaran akan diri kita sendiri yang berinteraksi dengan  orang lain atau intenso kehidupan sosial. Ringkasnya, Schutz ingin menjelaskan bagaimana makna-makna subjektif bisa memproduksi dunia sosial objektif.[14]
Salah seorang sosiolog secara langsung mendapat pengaruh dari pemikiran Schutz adalah Harold Garfinkel yang juga murid dari Talcot Parsons. Walaupun Gerfinkel mengakui adanya pengaruh dari para pemikir diantaranya Weber, Manheim, juga Parson, tetapi terbukti bahwa Schutz merupakan sumber pokok yang diplih oleh Garfinkel untuk mengembangkan teorinya disebut etnometodologi. Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktik dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya struktural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktural sosial.[15]
Inti metodologi Garfinkel adalah meminta para peneliti mempertanyakan pada pihak yang diteliti untuk mendapatkan penjelasan yang benar. Misalnya seorang suami mengatakan pada istrinya bahwa ia merasa lelah, si istri akan bertanya, bagaimana lelah yang dirasakan suaminya, secara fisik, mental, atau hanya merasa jenuh? Dan suaminya akan menjawab, hanya fisiknya yang lelah. Dengan begitu permasalahan menjadi jelas dan si sistri akan meminta suaminya untuk beristirahat.[16]
Etnometodologi yang dikembangkan Garfinkel melalui karyanya tahun 1967, telah menarik minat banyak sosiolog (diantaranya Blum, Cicourel, Douglas, McHuhg, Sucks, Schegloff, Sudnow, Wieder, Wilson, dan Zimmerman) yang merasa tidak puas pada teori-teori dan metode-metode sosiologi konvensional.[17]



[1] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 140
[2] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 141
[3] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 141
[4] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 142
[5] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 143
[6] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 143
[7] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 143
[8] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 144
[9] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 146
[10] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 146
[11] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 147
[12] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 147-148
[13] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 149
[14] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 149-150
[15] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 150
[16] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 151
[17] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 151-152