Start

Senin, 25 Mei 2015

Resuman Fenomenologi



Fenomenologi
Oleh
Nur’aeni
Jurusan PMI Semeseter 2
Tugas Meresum Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Lange mengungkapkan bahwa untuk memahami kontruksi sosial suatu masyarakat, ilmuwan sosial harus mencapai intelligible world, yang merupakan tempat terhimpunnya fakta-fakta sosial yang dialami setiap individu sehingga dia bisa memahami kesadaran murni (pure consciusness) masing-masing individu yang menjadi pemicu munculnya tindakan sosial. Metode seperti itulah yang digunakan oleh kaum fenomenolog sosial untuk menganalisis suatu fenomena sosial. Metode yang dikembangkan oleh Edmund Husserl yang disebut fenomenologi.[1]
            Kaum fenomenolog sosial berangkat dari pembedaan atas formalisme yang dilakukan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Di samping mengembangkan konsep a priori- a posterior, Kant juga memfokuskan perhatian pada objek pengetahuan. Menurut Kant, kita semua mengetahui bahwa kita memiliki pengalaman yang diasumsikan kembali pada dunia realitas. Kant menamai dunia yang dialami dengan fenomena, dan hal yang dialami disebut nomena. Pengetahuan kita tentang dunia, termasuk semua pengetahuan ilmiah, selalu berhubungan dengan sesuatu yang dialami. [2]
Pada tahap selanjutnya, Kant membagi pengetahuan tentang fenomena pada dua bagian utama: bentuk (from) dan isi (content), dimana bentuk merupakan bagian fundamental, sedangkan isi suatu pengalaman diproduksi oleh pengaruh-pengaruh yang muncul dari luar. Pembeda yang dilakukan Kant atas bentuk dan isi serta nomena dan fenomena, pada akhirnya memunculkan pertanyaan penting, setiap tindakan yang kita lakukan memiliki dua konstruksi yang berbeda; kostruksi ilmiah yang berdasar pada konsep keniscayaan (causal) serta kostrruksi etika yang bebas dan tanggung jawab.[3]  
Dan khususnya dalam teori fenomenologi, pemikiran Kant mempengaruhi Charles Renouvier (1815-1903) yang dikenal dengan teori fenomenalisme atau neo-kritisisme. Teori Renouvier pada intinya mengatakan bahwa realitas adalah fakta kesadaran dan sistem hubungan antara fakta-fakta kesadaran. Renouvier mengeliminir noumena dan kemudian kembali mereduksi fenomena menjadi nomena. Teori fenomenologi tersebut kemudian dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938). Tapi tidak seperti Renouver yang mereduksi semua realitas pada fenomena. Husserl lebih menekankan pada institusi fenomena sebagai dasar pendekatan atas semua bentuk realitas.[4]
Metode Husserl adalah memeriksa dan menganalisis kehidupan batiniah individu, yakni pengalaman-pengalamannya mengenai fenomena atau penampakan-penampakan sebagaimana terjadi dalam arus kesadaran. Husserl bertolak dari pengandaian bahwa pengalaman tidak hanya diberikan kepada individu, melainkan bersifat intensional dalam arti bahwa pengalaman itu melibatkan orang yang mengarahkan perhatiannya pada objek-objek yang membuat pengalamannya seperti itu. Husserl berpikir bahwa kita bisa memebersihkan diri dari prasangka –prasangka kita yang terkumpul mengenai dunia dan mereduksi pengalaman kita sampai unsur-unsur dasariah pengalaman-pengalaman itu dan struktur yang mendasari pengalaman-pengalaman itu.[5].
Tujuan Husserl adalah untuk membangun fenomenologi sebagai ilmu eidetik. Husserl meyakini bahwa pengalaman terbagi menjadi dua ; pengalaman alami dan pengalaman eidetik. Isi pengetahuan mengandung objek-objek natural dan esensi intrinsik fenomena. Fenomenologi Husserl melibatkan reduksi atas setiap peristiwa pengalaman pada kesadaran murni dan segala hal yang berhubungan dengannya. Metode ini mengasumsikan bahwa setiap pengalaman memiliki esensi yang dapat ditelusuri dengan pendekatan intuitif. Tujuan puncak Husserl adalah investigasi atas kesadaran murni dan hubungan realitasnya dengan keadaan eidetik.[6]
Secara garis besar metode fenomenologi Husserl mencakup dua langkah utama. Pertama, pembedaan atas realitas natural dan realitas eidetik. Langkah kedua, pembedaan antara esensi imanen dengan esensi transenden. Esensi transenden meliputi esensi-esensi semacam benda, bentuk khusus, gerakan, warna sesuatu dan lain-lain. Langkah kedua itu dilakukan dengan menahan esensi-esensi transenden dari analisis dan menganalisis esensi-esensi imanen dari kesadaran murni.[7]
Husserl lebih memperhatikan yang pertama, yaitu pengalaman eidetik, dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi yang terkontrol secara progresif pada pengalaman yang muncul pada tingkat paling dalam dari diri manusia. Pada perkembangan selanjutnya, reduksi fenomenologi yang dikembangkan Husserl diaplikasikan ke dalam realitas kehidupan sosial yang dilakukan, diantaranya oleh Alfred Vierkandt (1867-1953).[8]
 Dengan demikian, studi fenomenologi sebagai metode sosiologi murni. Bisa menyingkap esensi masyarakat. Perilaku masyarakat dan relasi-relasi sosial yang terbentuk. Dengan menggunakan metode tersebut seseorang bisa menemukan fakta-fakta atau disposisi a priori dan paling puncak dari kehidupan sosial. Fakta-fakta tersebut merupakan pra kondisi a priori dari komunitas manusia, dan kehidupan sosial bisa direduksi ke dalam pengembangan fakta-fakta tersebut.[9]
Fenomenologi Husserl mempengaruhi seorang sosiolog Wina, Austria, Alfred Schutz (1899-1959). Alfred Schutz mengaplikasikannya dalam sosiologi, dimana dalam sebuah karyanya (1967) Schutz mengemukakan tentang betapa pentingnya dunia yang hidup, peristiwa sehari-hari yang menghasilkan pemahaman kita atas dunia. Bagi Schutz, dunia sosial keseharian selalu merupakan suatu yang intersubjektif.[10]
Schutz mengemukakan bahwa ketertarikan manusia dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang bersifat sangat praktis dan tidak bersifat teoritis. Sikap alami mereka diatur oleh motif-motif pragmatis, yakni mereka berupaya mengontrol, menguasai, atau mengubah dunia dalam rangka menerapkan proyek-proyek dan tujuan mereka. Schutz menyebut kehidupan sehari-hari yang praktis tersebut dengan istilah dunia kerja realitas puncak. Kehidupan keseharian mereka merupakan wadah kehidupan sosial dimana manusia memperlakukan dunia ini sebagai lahan yang harus dikuasai, dan mereka berusaha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan yang datang dari luar untuk mencapai pada rencana-rencana kehidupan mereka.[11]
Semua pengetahuan itu dijembatani oleh konstruksi intelektual, sebab hal ini melibatkan generalisasi, idealisasi dan abstraksi. Dengan pengertian semacam ini, fakta-fakta yang sering digambarkan sebagai sesuatu yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri tidak akan pernah terjadi, sebab fakta-fakta tersebut selalu merupakan hasil dari seleksi dan penafsiran. Penafsiran tersebut selalu membawa makna, dengan demikian jelas bahwa fakta-fakta itu merupakan sesuatu yang dipilih, ditafsirkan dan diabstraksikan. Pengetahuan kita sangat bersifat perspektif, oleh karenanya kita hanya menangkap aspek-aspek realitas tertentu saja, bukan seluruh realita yang kongkrit. Epistemologi asumsi semacam ini berlaku untuk seluruh pengetahuan.[12]
Dalam fenomenolgi Schutzian,untuk menafsirkan konsep-konsep sosiologis, seorang sosiolog harus melakukan proses reduksi fenomenologis dimana dia membersihkan dirinya dari segala prasangka teoritis dan ilmiah mengenai di luar sana dan menganalisis kebermaknaan atau arti fenomena sebagaimana dialami. Karena bagi Schutz, ada segi-segi yang menentukan dalam kehidupan sehari-hari yang tak bisa secara memadai dimengerti ketika kita merefleksikan diri kita sendiri saat bertindak. Ingatan tak bisa menciptakan kembali pengalaman hidup yang masih diingat.[13]
Walaupun Schuzt menggunakan fenomenologi Husserl dalam analisisnya, tetapi ada perbedaan antara fenomenologi Schutz dengan Husserl. Setelah melakukan reduksi fenomenologis, Husserl terus memurnikan pengalaman akan segala unsur empiris termasuk sumbangan individu sendiri untuk pengalaman-pengalamannny, sehingga menyingkap struktur akhir kesadaran manusia pada umumnya. Sedangkan Schuzt tetap tinggal pada taraf analisis psikologis, menempatkan dirinya dalam tugas menganalisis pengalaman sosial kesadaran akan diri kita sendiri yang berinteraksi dengan  orang lain atau intenso kehidupan sosial. Ringkasnya, Schutz ingin menjelaskan bagaimana makna-makna subjektif bisa memproduksi dunia sosial objektif.[14]
Salah seorang sosiolog secara langsung mendapat pengaruh dari pemikiran Schutz adalah Harold Garfinkel yang juga murid dari Talcot Parsons. Walaupun Gerfinkel mengakui adanya pengaruh dari para pemikir diantaranya Weber, Manheim, juga Parson, tetapi terbukti bahwa Schutz merupakan sumber pokok yang diplih oleh Garfinkel untuk mengembangkan teorinya disebut etnometodologi. Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktik dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya struktural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktural sosial.[15]
Inti metodologi Garfinkel adalah meminta para peneliti mempertanyakan pada pihak yang diteliti untuk mendapatkan penjelasan yang benar. Misalnya seorang suami mengatakan pada istrinya bahwa ia merasa lelah, si istri akan bertanya, bagaimana lelah yang dirasakan suaminya, secara fisik, mental, atau hanya merasa jenuh? Dan suaminya akan menjawab, hanya fisiknya yang lelah. Dengan begitu permasalahan menjadi jelas dan si sistri akan meminta suaminya untuk beristirahat.[16]
Etnometodologi yang dikembangkan Garfinkel melalui karyanya tahun 1967, telah menarik minat banyak sosiolog (diantaranya Blum, Cicourel, Douglas, McHuhg, Sucks, Schegloff, Sudnow, Wieder, Wilson, dan Zimmerman) yang merasa tidak puas pada teori-teori dan metode-metode sosiologi konvensional.[17]



[1] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 140
[2] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 141
[3] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 141
[4] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 142
[5] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 143
[6] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 143
[7] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 143
[8] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 144
[9] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 146
[10] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 146
[11] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 147
[12] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 147-148
[13] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 149
[14] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 149-150
[15] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 150
[16] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 151
[17] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 151-152

Tidak ada komentar: