Start

Rabu, 04 Maret 2015

Tafsir Surat Yusuf Ayat 108 Tentang Profesionalisme dalam Dakwah



A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Berapa banyak orang yang secara lahiriahnya seolah menyeru kepada Allah (kebenaran), padahal sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya (mempopulerkan dirinya, mencari pujian, mencari banyak jama’ah, mendakwahkan kebathilannya dll.) Semoga Allah melindungi kita dari sifat yang demikian.
Kami membahas tafsir Qs. Yusuf 108 untuk mengetahui bagaimana cara dakwah yang sebenarnya. Dakwah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Kita sebagai pendakwah harus mempunyai jiwa profesionalisme dalam berdakwah. Agar dakwah yang disampaikan kepada umat bisa diterima dengan baik dan bisa mengajak kepada kebaikan, menuju jalan yang Allah ridhoi. Tidak sebatas untuk memperoleh ketenaran, pujian, materi dan segala kebathilan yang lain yang bisa mengalihkan tujuan dakwah yang sesungguhnya.
Al-qur’an merupakan kitab yang Allah turunkan sebagai kitab dakwah. Dakwah bertujuan untuk mengajak manusia ke jalan yang benar, yaitu menuju Allah Swt dan mengikuti ajaran Rasulnya, Nabi Muhammad Saw. Dengan adanya dakwah, manusia bisa hidup dengan terarah dan supaya bisa mencapai apa yang Allah ridhoi. Al-qur’an secara langsung menganalisis berbagai pendorong dan faktor terlaksananya dakwah. Al-qur’an juga menegaskan mengenai tujuan dakwah, menampakkan metode dakwah dan teknik yang baik dalam penyampaiannya.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu :
Bagaimana isi tafsir dari QS. Yusuf 108?
Bagaimana cara dakwah yang sesuai dengan ajaran Rasul?

3.      Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui, mendeskripsikan dan bisa mengaplikasikan bagaimana cara dakwah yang disampaikan oleh Rasul.

B.     Pembahasan
1.      Tafsir surat ayat 108
“Tentang Profesionalisme dalam Dakwah”
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Artinya : “ Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah Swt denganbashirah maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.”
Tafsir ayat firman Allåh:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي
Inilah Jalanku!
- Berkata Ibnu Zaid: “urusanku, sunnahkudan manhajku.”
- Berkata Rabi’ bin Anas: “Dakwahku.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Muqatil: “Agamaku.”
- Berkata Al-Qurthubi: “semua makna di atasadalah satu, yaitu (jalan dakwah yangditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bisa mengantarkan kesurga).” (Tafsir Jami’ liAhkamil Qur`an9/179).
- Berkata Ibnu Katsiir: Alllåh berfirmankepada Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wasallam, dengan menyuruhnya agarmemberitahukan kepada manusia dan jin(seluruhnya), bahwa inilah jalannya.
firman Allåh:

أَدْعُو إِلَى اللَّهِ
Aku menyerukan/mengajak (kamu) kepadaAllåh!
- Berkata Ibnu Katsiir: Yakni jalan, jalur dansunnahnya; dalam menyeru kepadapersaksian bahwa tiada illah (yang berhakdiibadahi) melainkan Allåh Yang Maha Esa,tiada sekutu bagiNya.
Firman Allåh:
عَلَىٰ بَصِيرَةٍ
Diatas bashirah!
- Berkata Qatadah: “di atas petunjuk.” (Ad-Durrul Mantsur 4/93)
- Berkata Ibnu Jarir At-Thabari: “di ataskeyakinan dan ilmu.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Ibnu Katsiir: Dia menyerukan itu dengan bertumpu kepada (bashirah. yang
bermakna:) dalil, keyakinan dan argumentasi.
- Berkata Abdur Rahman As-Sa’di: “di atasilmu dan keyakinan dengan tanpa adakeraguan dan pertentangan.” (Tafsir KarimirRahman fi Tafsiri Kalam 4/93)
- Berkata Abu Bakar Al-Jazairi: “di atas ilmudan keyakinan terhadap Dzat yang aku (Nabi)berdakwah kepada-Nya serta terhadap hasildan buah dakwah ini.” (Aisarut Tafaasir2/653)
Firman Allåh:
ﺃَﻧَﺎﻭَﻣَﻦِﺍﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲ
Aku dan orang yang mengikutiku
- Berkata Ibnu Jarir At-Thabari: “orang yangmengikutiku, membenarkan dan berimankepadaku.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Ibnu Katsiir : “(Maka) Setiap orangyang mengikuti Råsulullåh menyeru pulakepada apa yang diserukan Råsul mereka (Dengan mereka menyeru) diatas hujjah,keyakinan, dan dalil yang bersifat naqlidan aqli.”
Firman Allåh:
ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَﺍﻟﻠَّﻪِﻭَﻣَﺎﺃَﻧَﺎﻣِﻦَﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ
“Maha suci Allah, dan aku tidak termasukorang-orang yang musyrik”
- Berkata Ibnu Jarir: “dan aku (Nabi) berlepasdiri dari ahli syirik, aku bukan dari mereka    dan merekapun bukan dari golonganku.” (At-Thabari 7/315)
- Berkata Ibnu Katsiir: Yakni Allåh itu MahaSuci, Maha Agung, lagi Maha Besar darikeadaanNya memiliki sekutu, atautandingan, atau anak, atau ayah, atau istri,atau penasihat. Maha Suci, Maha Tinggi, danMaha Bersih Allåh dari semua itu.
Setelah menjelaskan sebagian besar manusia yang enggan menerima kebenaran, dan menjelaskan pula bahwa jalan kebenaran adalah mengesakan Allah Swt secara penuh, yang telah dibuktikan oleh sekian banyak ayat dan tanda-tanda, maka kini Rasulullah Saw diperintahkan : “katakanlah wahai Muhammad  “inilah jalan agamaku yang kusampaikan melalui alqur’an dan sunnah. Aku dan orang-orang yang mengikutiku, yakni yang beriman dan benar serta meneladani aku, kami semua mengajak seluruh manusia kapan dan dimanapun kepada Allah dengan bashirah, yakni hujjah yang nyata dalam bentuk bukti-bukti rasional dan emosional. Maha suci Allah, yakni aku menyucikannya dengan menetapkan segala sifat kesempurnaan bagiNya dan menghindarkan segala sifat kekurangan bahkan kesempurnaan yang tidak sesuai denganNya, dan aku walau seandainya hanya aku sendiri- sedikitpun tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang musyrik.
Kata ittaba’ani terambil dari kata tabi’a, yakni upaya dari seseorang untuk meneladani orang lain dalam langkah dan arah yang ditujunya. Ketika menafsirkan Qs. Al-a’raff : 158, penulis mengutip uraian Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa agama ini bukan sekedar akidah yang bersemi dihati, bukan juga sekadar syiar-syiar agama atau ibadah ritual, tetapi agama ini adalah ikutan secara sempurna kepada Rasulullah Saw menyangkut apa yang beliau sampaikan dari Tuhannya dan apa yang beliau syariatkan dan sunnahkan. Beliau menyampaikan syariat Allah dengan ucapan dan perbuatan beliau. Agama islam tidak lain kecuali ikutan dan keteladanan kepada beliau. Seandainya agama ini semata-mata hanya akidah saja, maka tentu cukup sudah bila dinyatakan dan orang-orang yang percaya kepadaku atau kepada Allah dan kepadaku.
Penyebutan diri Nabi Muhammad Saw terlebih dahulu kemudian pengikut beliau dalam firmanNya anaa wa manittaba’ani, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengisyaratkan bahwa Rasul Saw adalah patron yang harus diikuti dalam melaksanakan dakwah, sekaligus mengisyaratkan perbedaan tingkat dan kualitas penyampaian dakwah itu. Tidak dapat disangkal bahwa Rasul Saw mencapai puncak dalam berdakwah dan memenuhi sepenuhnya tuntunan Allah Swt dalam menyampaikan semua ajaran. Beliau tidak meninggalkan satu ayatpun, dan beliau menjelaskan maknanya secara amat sempurna sambil memberi keteladanan sebaik mungkin. Tentu saja yang berdakwah diharapkan agar pengikut-pengikut beliau hendaknya memiliki pula sifat-sifat yang dicakup oleh kata ittaba’ani itu serta serupa walau tentu tidak mungkin sama dengan Rasul Saw yang dakwahnya ‘ala bashirah, yakni atas dasar bukti-bukti yang jelas serta disertai dengan keikhlasan penuh. Namun demikian, kita sadar bahwa walaupun seseorang muslim pengikut Nabi saw telah berusaha sekuat tenaga dan kemampuan, namun ia pasti tidak akan mungkin mencapai peringkat dan kualitas apalagi wewenang Rasul Saw dalam berdakwah dan menjelaskan ajaran ilahi. Karena itu, maka yang dituntut dari setiap muslim adalah berdakwah sebatas kemampuan, walau hanya satu ayat sesuai dengan sabda beliau : “sampaikanlah dari ajaranku walau hanya satu ayat”.
Kata subhaana terambil dari kata sabaha yang pada mulanya berarti menjauh. Seseorang yang berenang dilukiskan dengan menggunakan akar kata yang sama, yakni sabbah, karena dengan berenang ia menjauh dari posisinya semula. “Bertasbih” dalam pengertian agama berarti “menjauhkan segala sifat kekurangan dan kejelekan dari Allah Swt”. Dengan mengucapkan “Subhaana Allah” si pengucap mengakui bahwa tidak ada sifat atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna, atau tercela; tidak ada ketetapanNya yang tidak adil, baik terhadap orang lain maupun terhadap si pengucap.
Kata Subhaana disini mengisyaratkan bahwa setiap ajakan menuju jalan Allah hendaknya disertai dengan tasbih, yakni penyucian Allah Swt dari segala sesuatu yang tidak wajar bagiNya
Benarkah engkau menyeru kepada Allah?
Berapa banyak orang yang secara lahiriahnyaseolah menyeru kepada Allah (kebenaran),padahal sejatinya dia sedang mengajakkepada dirinya (mempopulerkan dirinya,mencari pujian, mencari banyak jama’ah,mendakwahkan kebathilannya dll.) SemogaAllåh melindungi kita dari sifat yan demikian, aamiin.
2.Ciri khas pengikut Rasul sejati dalam hal dakwah adalah :
1. Kemurnian mereka untuk mengajak kepada Allah! Bukan kepada dirinya, madzhab fiqh-nya,kelompoknya/partainya/golongan/jama’ah-nya.Bukan juga atas landasan kepentingan,seperti: popularitas, harta, jabatan,kekuasaan, wanita, dll.
2. Dan isi dari seruan mereka kepada manusia, yakni seruan mereka untuk memurnikan ketaatan kepada Allah!
- Bukannya seruan untuk menyekutukanNya,
- Bukan seruan untuk mengajak kepada ke-bida’ah-an yang dilarang RasulNya,
- Bukan seruan untuk bermaksiat kepadaNya,
- Bukan seruan mengajak kepada hal-halyang melalaikan.
C.    Kesimpulan
Dalam Qs. Yusuf ayat 108 memberikan pesan bahwa kita sebagai umat Rasulullah diperintahkan untuk selalu menyampaikan suatu kebaikan dengan semampu kita. Tentunya dakwah yang berisi seruan yang telah diajarkan oleh Rasul, agar ajaran-ajaran Rasul bisa sampai kepada umatnya dengan baik. Dakwah Rasulullah sudah tidak diragukan lagi, apa yang disampaikan oleh Rasululllah sudah pasti kebenarannya. Tidak dapat disangkal bahwa Rasul Saw mencapai puncak dalam berdakwah dan memenuhi sepenuhnya tuntunan Allah Swt dalam menyampaikan semua ajaran.
Tentu saja yang berdakwah diharapkan agar pengikut-pengikut beliau hendaknya memiliki pula sifat-sifat yang dicakup oleh kata ittaba’ani itu serta serupa walau tentu tidak mungkin sama dengan Rasul Saw yang dakwahnya ‘ala bashirah, yakni atas dasar bukti-bukti yang jelas serta disertai dengan keikhlasan penuh. Namun demikian, kita sadar bahwa walaupun seseorang muslim pengikut Nabi saw telah berusaha sekuat tenaga dan kemampuan, namun ia pasti tidak akan mungkin mencapai peringkat dan kualitas apalagi wewenang Rasul Saw dalam berdakwah dan menjelaskan ajaran ilahi. Karena itu, maka yang dituntut dari setiap muslim adalah berdakwah sebatas kemampuan, walau hanya satu ayat sesuai dengan sabda beliau : “sampaikanlah dari ajaranku walau hanya satu ayat”.

Daftar Pustaka
Shihab,M.Quraish.2002.Tafsir Al-Misbah.Jakarta.Lentera Hati
Hamka.1990.Tafsir Al-Azhar jilid 5.Pustaka NasionalPte Ltd Singapura
Munir,Muhammad.2006.Wahyu ilahi manajemen dakwah.Jakarta.Kencana






Merokok dalam Kajian Ushul Fiqh



A.    Merokok dalam Kajian Ushul Fiqh
Budaya merokok termasuk gejala yang relatif baru di dunia Islam. Tak lama setelah Chirstopher Columbus dan penjelajah-penjelajah Spanyol lainnya mendapati kebiasaan bangsa Aztec (kebiasaan merokok) pada tahun 1500, rokok kemudian tersebar dengan cepatnya ke semenanjung Siberia dan daerah Mediterania. Dunia Islam, pada saat itu berada di bawah kekhilafahan Ustmaniyah yang berpusat di Turki. Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang mulai terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh penguasa Islam saat itu untuk menetapkan hukum tentang merokok.
 Karena tidak adanya nash, maka membuahkan sebuah tafshil dimana hukum pendapat pertama dari tiga pendapat yang akan dijelaskan ialah mubah  dengan menimbang terlebih dahulu qaidah dalam  ushul fiqh yang menyebutkan :

Asal dari sesuatu ialah mubah kecuali terdapat indicator yang menyebabkan sesuatu tersebut tidak mubah. Dan pada reedaksi lain dengan menggunakan lafadh فى الحكم
Menurut pendapat ini rokok ialah boleh karena tidak ada dalil yang mengharamkan. Allah menghalalkan benda-benda baik yang mengandung unsur menyenangkan manusia dan mendatangkan manfaat. Rokok merupakan makanan baik dan tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sementara itu bahaya rokok tidak selalu menjangkiti pengkonsumsi lantas menyebabkan haram bagi seluruh manusia. “Dia-lah yang menciptakan bagi kalian apa yang ada di dalam bumi semuanya.” (Al-Baqarah : 29)
Rokok dapat membantu mengurangi risiko parkinson. Parkinson adalah hilangnya sel-sel otak yang memunculkan zat kimia dopamin, sehingga berdampak gemetar, dingin, gerak lambat dan ber-masalah dengan keseimbangan tubuh.  Tentu, bukan berarti semua orang harus merokok untuk menghindari Parkinson, sebab banyak cara menghambat zat kimia yang meracuni otak. 
Salah seorang dokter spesialis paru-paru seperti Dr. Prajna Paramita Sp. P mengemukakan manfaat rokok yang bisa berguna untuk peningkatan konsentrasi, kemampuan belajar, mengurangi stress & lelah, meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah ketika menghisap.
Pendapat kedua, adalah tidak mengharamkan dan menghalalkan secara mutlak. Hal ini bisa saja kalau rokok itu dilarang dalam satu kondisi dan diperbolehkan dalam kondisi yang lain. Bisa jadi tingkatan pelarangan menjadi tegas sehingga sampai pada keharaman dan bisa saja melemah sehingga berada dalam hukum mubah. Pendukung pendapat ini beralasan kalau rokok bisa menjadi tuntutan dan bukan sekedar mubah saja, seperti saat pengobatan darurat yang harus dengan menggunakan rokok dan tidak ada obat selain rokok.
Apabila pada pendapat yang pertama dinilai tidak menunjukkan kepastian hukum halal atau haram karena bergantung pada illa ma dalla ad-dalilu ‘ala khilafihi, maka pada pendapat kedua ini sengaja membiarkan hukum rokok terjadi sesuai pengaruh yang ditimbulkan oleh rokok. Karena mereka khawatir  untuk mengharamkan sesuatu yang mungkin dihalalkan oleh Allah.
Bagi yang menilai hukum rokok sampai pada batas keharaman karena beberapa argument yang ia yakini kevalidannya secara paripurna, tidak hanya  dampak positif dan negatifnya tapi  semua yang berkaitan dengan rokok, maka ia harus konsisten tindakannya itu. Di sisi lain, bagi penolak haramnya rokok, dampak buruk rokok juga diakui, tetapi tidak bisa dipukul rata. Sifatnya kasuistis dan relatif. Kadar bahayanya masih dalam dosis yang belum bisa dikualifikasi ''haram mutlak''.
Terlepas dari rokok itu haram atau halal, manfaat rokok bagi mereka tidak bisa disepelekan. Terutama manfaat sosial-ekonomi, seperti penyerapan tenaga kerja, kelangsungan hidup petani tembakau, pasokan pendapatan negara, dan kiprah sosial industri rokok. Aspek kesehatan dan ekonomi rokok itu kemudian dikaji dengan seperangkat konsep teoretik tentang mekanisme penggalian status hukum Islam (istinbath).
Ada pendapat yang menggunakan argumen general. Menimbang bahaya rokok lebih besar dari manfaatnya, maka rokok otomatis haram mutlak. Premis ini dianalogikan pada ayat Al-Quran yang berbicara tentang minuman keras (khamr). Diakui, minuman keras memiliki manfaat, tapi bahayanya lebih besar (Al-Baqarah: 219)
Tapi argumen tersebut dibantah pendapat lain. Alasan hukum ('illat) haramnya minuman keras bukan karena besarnya madharat, melainkan karena sifatnya yang memabukkan (muskir). Bila muskir, ulama sepakat hukumnya haram. Tapi, bila hanya mudhir, tidak bisa langsung disimpulkan haram. Tergantung kadar bahayanya. Dianalogikan dengan kandungan formalin dan zat kimia lainnya dalam makanan. Bila dalam dosis wajar dan tidak terlalu berbahaya, statusnya halal. Tapi, bila melampaui standar sehingga sampai mematikan, baru haram.
Pendapat ketiga, haram.  Sebelumnya kembali kami nyatakan, bahwa tidak ada nash qathí pada bab rokok ini, sehingga dalam pemutusan pendapat ketiga ini pun menggunakan petunjuk makna ayat yang umum (dilalah áammah) yang mengandung makna pasti. 
B.     Ulama Yang Mengharamkan Rokok
Segolongan ulama telah menyatakan bahwa hukum merokok adalah haram. Diantara ulama yang mengharamkan rokok tersebut adalah Syaikh Asy-Syihab Al-Qalyubi. Dia menjelaskan hukum merokok ini pada Bab Najis dalam hasyiyahnya atas kitab karangan al-jalal al-mahali yang mengomentari kitab al-minhajnya Imam Nawawi. Setelah al-Qalyubi menerangkan bahwa setiap benda cair yang memabukkan seperti arak dan sejenisnya adalah najis, dia berkata :
“Berbeda dengan benda cair yang memabukkan tersebut, benda-benda (non cair) seperti candu dan benda lain yang dapat membahayakan pikiran tidak dihukumi najis. Artinya, barang-barang seperti itu hukumnya, meskipun haram menggunakannya mengingat barang tersebut dapat membahayakan. Beberapa guru kami berkata bahwa rokok termasuk barang yang diserupakan dengan candu. Jadi, tembakaunya tetap suci, namun haram digunakan. Sebab, salah satu efek rokok adalah membuka saluran tubuh sehingga mempermudah masuknya penyakit berbahaya ke dalam tubuh. Oleh sebab itulah, merokok kerap kali menimbulkan lesu dan sesak nafas, ataupun gejala lain yang sejenis. Bahkan, sumber yang dapat dipercaya menyatakan bahwa sesungguhnya meroko dapat menimbulkan perasaan kepala berputar-putar alias punyeng.”[1]
Selain Al-Qalyubi masih banyak ulama lain yang mengharamkan rokok dengan berbagai penjelasannya, seperti Al-Laqquni, Al’Allamah al-faqih ath-Tharabisyi, Al-Muhaqqiq al-Bujairim, Syaikh Hasan As-Syaranbila, Sayyid al-Husain Ibn Abi Bakr, Ibnu ‘Alan, Syaikh Abdullah Ibn Ahmad Basudan, dan Syekh Abdullah Ibn Alwi Al-Haddad.
Guru penulis, Syaikh Abdullah Ibn Alwi al-Haddad, menukil suatu keterangan bahwa sejarawan masa zhuhur sekitar 1012 tahun setelah Nabi telah menyusun kata-kata indah  dalam bentu syair yang berisi peringatan tentang rokok. Oleh karena itu, diperkirakan pada tahun 1012 itulah tembakau mulai muncul dan menjadi fenomena.
Pendapat-pendapat ulama yang mengharamkan rokok dikarenakaan mereka melihatnya dari empat perspektif, diantaranya[2] :
1.      Rokok dapat membahayakan kesehatan berdasarkan pendapat para dokter yang ahli. Rokok menyebabkan kanker, impotensi, kanker tenggorokan, gigi jelek, kanker paru-paru, keguguran, mata rusak,  kulit keriput, suara serak, kanker ginjal, leukemia, tulang rapuh serta di dalam rokok terdapat nikotin yang memilki efek candu yang lebih besar dibanding narkotika kecuali heroin dan semuanya bisa menyebabkan kematian, maka merokok menyebabkan kematian. Hukum tentang perbuatan semacam ini secara terang dijelaskan dalam syariat Islam, antara lain ayat Al-Quran yang terjemahannya adalah:"...dan janganlah kamu membunuh diri kalian sendiri..." (QS An-Nisa/4:29)
2.      Dalam pandangan mereka,rokok termasuk barang yang memabukkan/melemahkan badan, yang secara syar’i tidak boleh dikonsumsi. Tubuh kita pada dasarnya adalah amanah dari Allah yang harus dijaga. Mengkonsumsi barang-barang yang bersifat mengganggu fungsi raga dan akal hukumnya haram, misalnya alkohol, ganja dan sebangsanya. Perhatikan firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib adalah kekejian, termasuk perbuatan setan.Jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu sukses" (QS Al-Midah/5:90). Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadist yang dikumpulkan oleh Muslim dan Abu Dawud, dimana Nabi Saw berkata,"Setiap yang mengganggu fungsi akal adalah khamr dan setiap khamr adalah haram".
3.      Bau rokok sangat tidak disenangi sehingga dapat menyakitkan hati orang-orang yang tidak menghisap rokok, khususnya pada saat-saat semisal lagi sholat berjamaah. Merokok hampir selalu menyebabkan gangguan pada orang lain. Asap rokok yang langsung diisapnya berakibat negatif tidak saja pada dirinya sendiri, tapi juga orang lain di sekitarnya. Asap rokok yang berasal dari ujung puntung maupun yang dikeluarkan kembali dari mulut dan hidung si perokok, menjadi "jatah" orang-orang disekelilingnya. Ini yang disebut passive smoking atau side stream smoking yang berakibat sama saja dengan mainstream smoking. Berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya (mudharat) bagi diri sendiri apalagi orang lain, adalah hal yang terlarang menurut syariat. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Laa dharar wa laa dhiraar".
4.      Merokok dipandang sebagai suatu pemborosan dan cerminan sifat berlebih-lebihan.  Harta yang kita miliki tidaklah pantas untuk dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, misalnya dengan membakarnya menjadi abu dan asap rokok. Perhatikan ayat-ayat Alquran sebagai berikut: "...dan janganlah menghambur-hamburkan hartamu secara boros. " (QS 17: 26).  Dan  “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang boros” (QS Al A’raf : 31).

C.    Kesimpulan
Jadi, kesimpulannya adalah selama rokok tidak dicampur/dibumbui dengan Khamr (sejenis minuman keras) dan selama rokok tidak mendatangkan akibat-akibat yang telah disesbutkan dalam pembahasan tersebut, hukumnya adalah makruh. Dalam kitab Tuhfahnya, Ibn Hajar menyatakan bahwa polemik hebat disekitar haram tidaknya rokok secara otomatis mengantarkan rokok pada hukum makruh. Adapun keharaman rokok yang bersifat spesifik dipandang sebagai hukum yang kurang mengikat atau tidak pasti (ghairu al-jazim).

Daftar Pustaka
Jampes, Syaikh Ihsan.2009.Kitab Kopi dan Rokok.Yogyakarta.Pustaka Pesantren


[1]Syaikh Ihsan Jampes, Kitab Kopi dan Rokok, 2009,Pustaka Pesantren hal. 35-36
[2] Syaikh Ihsan Jampes, Kitab Kopi dan Rokok, 2009,Pustaka Pesantren hal. 48