Start

Selasa, 17 Februari 2015

Sejarah Otonomi Daerah Di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Otonomi daerah di Indonesia lahir ditengah gejolak sosial yang sangat massif pada tahun 1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia di sekitar tahun 1997. Gejolak sosial yang melanda Negara Indonesia disekitar tahun 19997 kemudian melahirkkan gejolak politik yang puncaknya ditandai dengan berakhirnya pemerintahan orde baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun di Indonesia.
            Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, mencuat sejumlah permasalahan terkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntuntan daerah-daerah yang selama ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang dimilikinya. Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap telah usang dan perlu diganti. Inilah yang menjadi latar belakang otonomi daeraqh di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
            Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas , diantaranya :
            1. Bagaimana sejarah otonomi daerah di Indonesia?
            2. Apa sajakah prinsip-prinsip otonomi daerah di Indonesia?
            3.Bagaimana pembagian kekuasaan dalam pusat dan daerah?
            4. Apa itu otonomi daerah dan demokratisasi?
C. Tujuan Masalah
            Adapun tujuan dari permasalahan ini, diantaranya :
            1. Untuk mengetahui sejarah otonomi daerah di Indonesia dengan lebih jelas lagi.
            2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip otonomi daerah di Indonesia.
            3. Untuk mengetahui pembagian kekuasaan dalam pusat dan daerah.
            4. untuk mengetahui apa itu otonomi daerah dan demokratisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU Noomor 1 tahun 1945. Ditetapkannnya undang-undang ini erupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan dimasa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan badan perwakilan tiap daerah. Dalam undang-undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belum da peraturan pemerintahan yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini berumur lebih kurang tiga gtahun karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah yaitu provinsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-undang tentang pembentukan, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan sebagaian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada suatu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indoneia dari masa kemasa. Tapi disisi lain hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah di Indonesia pasca UU Nomor 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 (sebagai pngaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia),  UU Nomor 18 tahun 1965 ( yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya) dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggara pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan luas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntunan reformasi dikomandangkan.
Kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu, dimana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk melakukan reformasi disemua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang Istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR?1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam kedua undang-undang tersebut (UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999) secara teoritis akan menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasi. Sedangkan desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah.  Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepangjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih dominan dibanding sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan kepada DPRD sebagai representasi dari rakyatdi daerah yang memilihnya.
Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.

B. PRINSIP-PRINSIP OTONOMI DAERAH DALAM UU NO. 22 TAHUN 1999
                 Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999 adalah :
1.      Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.      Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
3.      Pelaksanaan otonomi daerah yang luas utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4.      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5.      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
6.      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7.      Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah.
8.      Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah Kepada Daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
C. PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DALAM UU     NO. 22 TAHUN 1999
            Pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah Indonesia dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani Pusat hampir sama yang ditangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri,pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efesien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintah, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumber daya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani pemerintah pusat disebutkan secara spesifik dalam UU terebut.
            Selain itu, otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintah pusat (seperti pada negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan. Tumbuh dan hidup, dan berkembang didaerah; dan disebut bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan daerah dan antar daerah. Di samping itu otonomi seluas-luasnya (keleluasan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam  penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengadilan, dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula diertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.
            Karena di samping daerah otonom propinsi juga meruoakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani Propinsi/Gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Propinsi dalam rangka desengtralisasi mencakup:
a.       Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan;
b.      Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang propinsi;
c.       Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum,dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara; dan
d.      Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada propinsi dengan pernyataan dari Daerah Otonom Kabupaten atau Kota tersebut.
Dalam rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukan kewenangan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah seperti berikut: Pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu Bupati dan Gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang-undangan , yaitu setiap Perda memerlukan persetujuan Pusat untuk dapt berlaku.
Menurut UU baru ini, Bupati dan Walikota spenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang diplih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan atau pun pemberhentian kepala daerah secara administratif (pembuatan Surat Keputusan) masih diberikan kepada Presiden Gubernur pada pihak lain masih merangkap sebagai wakil Pusat dan kepala daerah otonom. Pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini dilakukan berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap setiap Perda yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan pemerintah pusat. Akan tetapi pemerintah pusat setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu dinilai bertentangan dengan Konstitusi, UU dan kepentingan umum. Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai justru tindakan pemerintah pusat menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan dengan konstitusi, UU atau kepentngan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pemerintah pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.
Terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada Daerah Otonon Kabupaten dan Daerah Otonom Kota, yaitu:
1.      Pertanahan,
2.      Pertanian,
3.      Pendidikan dan Kebudayaan,
4.      Tenaga kerja
5.      Kesehatan,
6.      Lingkungan hidup,
7.      Pekerjan umum,
8.      Perhubungan,
9.      Perdagangan dan industri,
10.  Penanaman modal, dan
11.  Koperasi.
Selain itu, kabupaten atau kota yang mempunyai batas laut juga diberi kewenangan kedaulatan seluas 1/3 dan luas kewenangan propinsi yang 12 mil. Jenis kewenangan lain yang dapat diselenggarakan oleh daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota ialah kerwenangan pilihan, yaitu jenis kewenangan yng tidak termasuk yang ditangani Pusat dan Propinsi. Penjabaran kesebelas kewenangan itu, dalam arti lingkup kegiatan dan tingkat kewenangan yang akan diserahkan kepada daerah otonom Kabupaten dan Kota, masih harus menunggu penyesuaian seumlah UU yang sejalan denga paradigma dan jiwa UU No. 22 Tahun 1999.
Namun bila diperhatikan secara seksama, maka kesebelas jenis kewenangan itu termsuk kategori pelayanan publik baik berupa infrastruktur, seperti pekerjaan umum dan perhubungan maupun kebutuhan dasar seperti pertanahan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, dan lingkungan hidup; baik yang menyangkut penyiapan tenaga kerja, seperti pendidikan, tenaga kerja dan kesehatan maupun penciptaan kesempatan kerja, seperti pertanian, koperasi, perdagangan dan industri, dan penanama modal. Apakah bentuk dan arah kebijakan dalam 11 jenis kewenangan itu menunjang pelayanan publik infrastruktur dan kebutuhan dasar, atau mengarah pada penyiapan pekerja dan kesempatan kerja ataukah tidak sangatlah tergantung kepada dua faktor berikut: bentuk dan arah penyesuaian sejumlah UU yang selama ini mengatur 11 jenis kewenangan itu dengan paradigma dan jiwa UU No. 22 Tahun 1999; dan bentuk dan arah kebijakan (Perda) yang akan dibuat oleh DPRD dan Pemda Kabupaten/Pemda Kota. DPRD dan Pemda Kabupaten dan Pemda Kota yang akan mengatur lebih rinci 11 kewenangan itu, mengenakan beban yang harus ditanggung oleh warga masyarakat dalam 11 jenis kewenangan itu, dan mengalokasikan manfaat yang bakal diterima oleh berbagai kalangan masyarakat mengenai 1 jenis kewenangan itu.
Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota dilandasi oleh sejumlah pemikiran berikut:
Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau pelayanan publiktersebut. Hal ini disebabkan karena DPRD dan Pemda sebagai produsen dan distributor pelayanan publik dinilai lebih memahami aspirasi warga daerah, lebih mengetahui kemampuan warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlingkup lokal daripada Propini dan Pusat.
Kedua, penyerahan 11 jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas dan melkukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi, dan akuntabilitas mengnai 11 jenis kewenangan itu berada pada para aktor politik lokal dan sumber daya manusia lokal yang berkualitas. Hal ini berarti budaya lokal berupa pengetahuan lokal (local knowledge), keahlian lokal (local genius), kearifan lokal (local wisdom), potensi lokal dan manusia lokal akan dapat didayagunakan secara maksimal.
Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainnya, maka penyerahan 11 jenis kewenangan ini juga dimaksudkan agar sumber daya manusia yang berkualitas di kota-kota besar diredistribusikan dari Jakarta ke daerah otonom Kabupaten dan Kota.
Keempat, pengangguran dan kesmikinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja hanya dipikulkan kepada pemerintah pusat semata. Akan tetapi dengan adanya pelimpahan kewenangan terseebut, diharapkan terjadi diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan awal otonomi daerah.
D. OTONOMI DAERAH DAN DEMOKRATISASI
            Eksistensi kebijakan otonomi daerah kiranya sangat penting dipahami sebagai bagian dari agenda demokratisasi kehidupan bangsa. Dengan kata lain, keberadaan kebijakan otonomi daerah tidak boleh dipandang sebagai a final destination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya dapat dimengerti apabila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah sebagai upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability, dan local sponsiveness. Diantara prsyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintah daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (local own income); memiliki badan perwakilan (local resentative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah; dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader rxecutive by election).
            Dengan rumusan dan tujuan otonomi daerah semacam ini, keberadaan kebijakan otonomi daerah akan mampu menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Argumen dasarnya adalah, dengan konsep tersebut diaumsikan masyarakat akan memiliki akses yang lebih besar dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sementara, pada sisi lain, pemerintah daerah sendiri, akan lebih responsif terhadap berbagai tuntutan yang datang dari komunitasnya. Dengan demikian, agenda demokratisasi merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaan otonomi derah apabila keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat daerah menjadi target pencapaian.
            Keterkaitan otonomi daerah dengan demokratisasi pernah diungkapkan oleh Mohammad Hatta, proklamator RI, dalam suatu kesepakatan,
...Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokratis, tetapi mendorong berkembangnya Auto-aktiviteit artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto activitet tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, y.i. pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri.
            Pentingnya agenda emoratisasi dalam rangka otonomi daerah antara lain bertolak dari asumsi bahwa cita-cita demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa tidak semata-mata ditentukan bentuk negara (negara kesatuan dan negara federal), melainkan melalui sistem politik yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan secara sehat dan fair, adanya akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), serta struktur ekonomi yang adil dan berorientasi kerakyatan. Kesemua itu jauh lebih penting dari “sekadar” bentuk negara.
            Krisis multidimensi dan ancaman disintegrasi nasional dewasa ini tidak semata-mata bersumber pada “kesalahan” bentuk negara, tetepi lebih pada format politik sentralistik-otoriter dan struktur ekonomi kapitalistik-eksploitatif yang diwariskan rezim Orde Baru. Karena itu, pemberian otonomi bagi daerah tidak bisa dipandang sebagai agenda yang terpisah dari agenda besar demokratisasi kehidupan bangsa. Kesalahan aplikasi kebijakan pemerintahan daerah melalui UU No. 5 tahun 1974 di masa Orde Baru antara lain karena tujuan utama dari kebijakan tersebut lebih dititikberatkan pada upaya menciptakan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di derah, ketimbang sebagai agenda yang menyatu dengan proses demokratisasi.
            Konsekuensi logis dari cara pandang di atas adalah, pertama otonomi daerah harus dipandang sebagai instrumen desentralisasi-demokratisasi dalam rangka mempertahankan keutuhan serta keberagaman bangsa. Dalam kaitan ini, otonomi daerah bukan tujuan, melainkan cara demokratis untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua unsur bangsa tanpa kecuali. Kedua, otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah, bukan otonomi pemerintahan daerah (pemda), juga bukan otonomi bagi “daerah” dalam pengertian suatu wilayah atau teritorial tertentu di tingkat lokal. Kalaupun pada akhirnya implementasi otonomi daerah dilakukan oleh pemda, kewenangan itu diperoleh karena pemda dipilih melalui pemilu yang adil, jujur, dan demokratis. Argumen yang mendasari pemikiran ini adalah substansi demokrasi atau demokratisasi itu sendiri ialah terwujudnya cita-cita kedaulatan rakyat. Di mana rakyat dapat menentukan kehendaknya melalui ruang partisipasi seluas mungkin dalam proses penyelenggaraan negara. Ketiga, otonomi daerah merupakan hak rakyat daerah yang sudah seharusnya inheren didalam agenda demokrasi atau demokratisasi. Dengan begitu, otonomi daerah tidak bisa didistorsikan sekadar sebagai persoalan “penyerahan urusan’ atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan urusan atau pelimpahan kewenangan hanyalah instrumen administratif bagi implementasi hak daerah dalam mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing. Keempat, daerah tidak bisaq lagi dilihat sebagai subordinasi dari pusat. Hubungan pusat-daerah harus dipandang bersifat komplementer bagi keduanya, dalam pengertian saling membutuhkan secara timbal balik. Ini berarti bahwa kebijakan otonomi bagi setiap daerah harus dipandang sebagai perjanjian atau “kontrak” antara pusat-daerah yang cakupannya didasarkan pada hasil dialog dan musyawarah antara pemerintah pusat dan wakil-wakil rakyat daerah.
            Sebagai bagian dari agenda demokratisasi, otonomi daerah mensyaratkan pula adanya perubahan struktur perwakilan politik, berlakunya akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi hukum, dan rasionalitas birokrasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena itu, otonomi daerah sebagai paradigma baru mengharukan perubahan struktur lembaga kenegaraan, sistem pemilu, restrukturisasi lembaga keadilan, dan perbahan birokrasi patrimonial yang mengabdi pada kekuasaan menjadi birokrasi rasional yang melayani kepentingan masyarakat.



Pengertian Rasm Al-Qur’an





BAB I
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rasm Al-Qur’an
Rasm Al-Qur’an atau Rasmul Qur’an adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Mushaf Utsman dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah. Yaitu Al-Hadzf, Al-Ziyadah, Al-Hamzah,Al-Badal, dan Al-Fashl wa Al-Washl.
B.     Kaidah-kaidah dalam Rasm Al-Qur’an
1.      Al-hadzf
Al-Hadzf  berarti membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf.
a.       Menghilangkan Huruf Alif
b.      Menghilangkan huruf Ya’
c.       Menghilangkan Wawu
d.      Menghilangkan huruf Lam
2.      Al-Ziyadah
Ziyadah berarti penambahan. Kata yang ditambah hurufnya dalam Rasm utsmani adalah alif, ya’ dan wawu.
a.       Menambah Huruf Alif
b.      Menambah Alif setelah Hamzah Marsumah Wawu (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu).
c.  Menambah huruf ya’
3.      Kaidah Hamzah
Apabila hamzah berharakat sukun, maka ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya,kecuali ada beberapa kata yang dieksepsikan.
Adapun hamzah yang berharakat, maka jika ia berada di awal kata, dan bersambung dengannya (dengan Hamzah) huruf tambahan, mutlak harus ditulis dengan alif, dalam keadaan berharakat fathah dan kasroh.Kecuali beberapa kata yang dieksepsikan.
Adapun apabila hamzah terletak ditengah, maka ia ditulis sesuai dengan huruf harakahnya. Kalau fathah dengan alif,, kalau kasrah dengan ya’ dan kalau dhammah dengan wawu.
Tetapi apabila huruf yang sebelum hamzah itu sukun, maka tidak ada tambahan. Di luar ketentuan ini, ada beberapa kata yang dieksepsikan.
4.      Badal
a.       Huruf alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata As-sholah dan Az-zakah serta Al-hayah. Kevuali yang dieksepsikan.
b.      Huruf alif ditulis dengan ya’ pada kata-kata berikut : ila, ‘ala, anna, yang berarti kaifa,, mata,bala, hatta, dan lada.
c.       Huruf Alif diganti dengan nun taukid khafifah pada kata ........
d.      -     Huruf Ha’ Ta’nits dengan huruf Ta’ Maftuhah pada kata Rohmatu dalam surat Al-Baqoroh, Al-A’raf, Hud, Maryam, Al-Rum, dan Al- Zukhruf.
-          Huruf Ha’ Ta’nits dengan huruf Ta’ Maftuhah pada kata Ni’matu, yang terdapat dalam surat Al-Baqoroh, Ali-‘Imron, Al-Maidah, Ibrahim,Al-Nahl,Luqman, Fathir, dan Al-Thur.
Demikian juga pada ma’shiyatullah dan la’natullah yang terdapat pada surah Al-Mujadilah.
5.      Washal dan Fashal
Washal artinya menyambung. Yang dimaksud disini adalah metode penyambungan kata (dalam bahasa arab disebut huruf, jadi penyambungan dua huruf) yang mengakibatkan hilang atau dibuangnya huruf tertentu.
a.       Bila “an” dengan harakat fatha pada hamzahnya disusul dengan la, maka penulisannya bersambung dengan menghilangkan huruf nun. Misalnya “alla”’ tidak ditulis “anlaa”. Kecuali pada kalimat “anlaataquuluu” dan Anlaa ta’buduu illallaah”.
b.      Bila “min” yang bersambung dengan” maa” penulisannya disambung dengan huruf nun pada min-nya tidak ditulis.
c.       Bila “min” yang disusul dengan “man” ditulis bersambung dengan menghilangkan huruf nun. Sehingga menjadi “mimman” bukan “minman”.
d.      Bila ‘an yang disusu; dengan “maa ditulis bersambung dengan menghilangkan nun. Sehingga menjadi ‘’amman” bukan “ ‘anman’’.
e.       Bila “in” yaang disusul dengan maa ditulis bersambung dengan meniadakan nun. Sehingga menjadi imma.
f.       Bila ‘an yang disusul dengan maa mutlak disambung dan huruf nun nya ditiadakan. Sehingga menjadi “amma”.
g.      Bila “kul” yang diiringi maa disambung. Sehingga menjadi “kullamaa”.

C.    Kata yang Bisa Dibaca Dua Bunyi
Di dalam Mushaf Utsmani, penulisan kata semacam ini ditulis dengan menghilangkan alif. Misalnya ....................................................... . Ayat-ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (Yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (biasa disebut satu alif).
Kaidah penulisan ini berbeda dengan yang biasa digunakan dalam penulisan bahasa Arab yang biasa dipakai. Di dalam bahasa arab dikenal tiga macam metode penulisan. Yakni, pertama, penulisan Mushaf Utsmani yang baru saja disinggung secara singka. Kedua, penulisan Arudl. Yaitu ilmu alat untuk menimbang syair-syair. Tulisan jenis kedua ini, semu bunyi divisualisasikan dalam bentuk huruf. Dan ketiga, penulisan biasa. Maksudnya, tata cara menulis yang biasa dipakai sehari-hari.

D.    Pencetakan Al-Qur’an
            Cetakan pertama kali Al-qur’an, muncul di Bunduqiyah, tahun 1530 M. Tetapi begitu lahir, penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan kitab suci agama islam tersebut. Dan baru lahir lagi cetakan selanjutnya atas usaha orang Jerman bernama Hinkelmann pada tahun 1694 M, di Hamburg. Disusul kemudian oleh Marracci yang menerbitkan lagi Al-Qur’an tahun 1698, di Padoue. Sayangnya,, tak satu pun dari Al-Qur’an cetakan pertama, kedua, maupun ketiga itu yang tersisa didunia islam(Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an hal. 99). Dan sayangnya pula, perintis penerbitan Al-Qur’an pertama itu dari kalangan non muslim.
Penerbitan Al-Qur’an dengan label islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang  menerbitkannya adalah Maulaya Utsman. Dan cetakan itu lahir di St. Petersbourg, Rusia, atau Leningrad, sekarang bernama Uni soviet. Lahir lagi kemudian mushaf cetakan di Kazan. Kemudian terbit lagi di Iran . tahun 1248 H/1828 M, negri Persia ini menerbitkan Mushaf cetakan di kota Teheran. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1833, tahun terbit lagi Mushaf cetakan di tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit lagi mushaf cetakan di Leipzig, jerman.
Di negara Arab, Raja fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan al-Qur’an di perempatan pertama pada abad ke 20. Panitia yang dimotori oleh para Syekh Al-Azhar itu pada tahun 1342 H/1923 M berhasil menerbitkan mushaf Al-Qur’an dengan cetakan yang bagus. Mushaf yang pertama terbit di negara Arab itu, di-dlabit sesuai dengan riwayat Hafsh atas qira’at Ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak, di Mesir dan di berbagai negara.











DAFTAR PUSTAKA
Marzuki, Kamaluddin.1992.’Ulum qur’an.Bandung.PT Remaja Rosdakarya.
Hasan, Al Furqan, Dewan Dakwah Islan Indonesia,Jakarta, Cetakan Pertama ke X. Tanpa tahun.
Shubhiy, Shalih. 1977.Mabahits fi ‘Ulum Qur’an.Berut. Dar al-‘Ilmi li al Malayin.