Start

Senin, 25 Mei 2015

Resuman Fenomenologi



Fenomenologi
Oleh
Nur’aeni
Jurusan PMI Semeseter 2
Tugas Meresum Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Lange mengungkapkan bahwa untuk memahami kontruksi sosial suatu masyarakat, ilmuwan sosial harus mencapai intelligible world, yang merupakan tempat terhimpunnya fakta-fakta sosial yang dialami setiap individu sehingga dia bisa memahami kesadaran murni (pure consciusness) masing-masing individu yang menjadi pemicu munculnya tindakan sosial. Metode seperti itulah yang digunakan oleh kaum fenomenolog sosial untuk menganalisis suatu fenomena sosial. Metode yang dikembangkan oleh Edmund Husserl yang disebut fenomenologi.[1]
            Kaum fenomenolog sosial berangkat dari pembedaan atas formalisme yang dilakukan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Di samping mengembangkan konsep a priori- a posterior, Kant juga memfokuskan perhatian pada objek pengetahuan. Menurut Kant, kita semua mengetahui bahwa kita memiliki pengalaman yang diasumsikan kembali pada dunia realitas. Kant menamai dunia yang dialami dengan fenomena, dan hal yang dialami disebut nomena. Pengetahuan kita tentang dunia, termasuk semua pengetahuan ilmiah, selalu berhubungan dengan sesuatu yang dialami. [2]
Pada tahap selanjutnya, Kant membagi pengetahuan tentang fenomena pada dua bagian utama: bentuk (from) dan isi (content), dimana bentuk merupakan bagian fundamental, sedangkan isi suatu pengalaman diproduksi oleh pengaruh-pengaruh yang muncul dari luar. Pembeda yang dilakukan Kant atas bentuk dan isi serta nomena dan fenomena, pada akhirnya memunculkan pertanyaan penting, setiap tindakan yang kita lakukan memiliki dua konstruksi yang berbeda; kostruksi ilmiah yang berdasar pada konsep keniscayaan (causal) serta kostrruksi etika yang bebas dan tanggung jawab.[3]  
Dan khususnya dalam teori fenomenologi, pemikiran Kant mempengaruhi Charles Renouvier (1815-1903) yang dikenal dengan teori fenomenalisme atau neo-kritisisme. Teori Renouvier pada intinya mengatakan bahwa realitas adalah fakta kesadaran dan sistem hubungan antara fakta-fakta kesadaran. Renouvier mengeliminir noumena dan kemudian kembali mereduksi fenomena menjadi nomena. Teori fenomenologi tersebut kemudian dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938). Tapi tidak seperti Renouver yang mereduksi semua realitas pada fenomena. Husserl lebih menekankan pada institusi fenomena sebagai dasar pendekatan atas semua bentuk realitas.[4]
Metode Husserl adalah memeriksa dan menganalisis kehidupan batiniah individu, yakni pengalaman-pengalamannya mengenai fenomena atau penampakan-penampakan sebagaimana terjadi dalam arus kesadaran. Husserl bertolak dari pengandaian bahwa pengalaman tidak hanya diberikan kepada individu, melainkan bersifat intensional dalam arti bahwa pengalaman itu melibatkan orang yang mengarahkan perhatiannya pada objek-objek yang membuat pengalamannya seperti itu. Husserl berpikir bahwa kita bisa memebersihkan diri dari prasangka –prasangka kita yang terkumpul mengenai dunia dan mereduksi pengalaman kita sampai unsur-unsur dasariah pengalaman-pengalaman itu dan struktur yang mendasari pengalaman-pengalaman itu.[5].
Tujuan Husserl adalah untuk membangun fenomenologi sebagai ilmu eidetik. Husserl meyakini bahwa pengalaman terbagi menjadi dua ; pengalaman alami dan pengalaman eidetik. Isi pengetahuan mengandung objek-objek natural dan esensi intrinsik fenomena. Fenomenologi Husserl melibatkan reduksi atas setiap peristiwa pengalaman pada kesadaran murni dan segala hal yang berhubungan dengannya. Metode ini mengasumsikan bahwa setiap pengalaman memiliki esensi yang dapat ditelusuri dengan pendekatan intuitif. Tujuan puncak Husserl adalah investigasi atas kesadaran murni dan hubungan realitasnya dengan keadaan eidetik.[6]
Secara garis besar metode fenomenologi Husserl mencakup dua langkah utama. Pertama, pembedaan atas realitas natural dan realitas eidetik. Langkah kedua, pembedaan antara esensi imanen dengan esensi transenden. Esensi transenden meliputi esensi-esensi semacam benda, bentuk khusus, gerakan, warna sesuatu dan lain-lain. Langkah kedua itu dilakukan dengan menahan esensi-esensi transenden dari analisis dan menganalisis esensi-esensi imanen dari kesadaran murni.[7]
Husserl lebih memperhatikan yang pertama, yaitu pengalaman eidetik, dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi yang terkontrol secara progresif pada pengalaman yang muncul pada tingkat paling dalam dari diri manusia. Pada perkembangan selanjutnya, reduksi fenomenologi yang dikembangkan Husserl diaplikasikan ke dalam realitas kehidupan sosial yang dilakukan, diantaranya oleh Alfred Vierkandt (1867-1953).[8]
 Dengan demikian, studi fenomenologi sebagai metode sosiologi murni. Bisa menyingkap esensi masyarakat. Perilaku masyarakat dan relasi-relasi sosial yang terbentuk. Dengan menggunakan metode tersebut seseorang bisa menemukan fakta-fakta atau disposisi a priori dan paling puncak dari kehidupan sosial. Fakta-fakta tersebut merupakan pra kondisi a priori dari komunitas manusia, dan kehidupan sosial bisa direduksi ke dalam pengembangan fakta-fakta tersebut.[9]
Fenomenologi Husserl mempengaruhi seorang sosiolog Wina, Austria, Alfred Schutz (1899-1959). Alfred Schutz mengaplikasikannya dalam sosiologi, dimana dalam sebuah karyanya (1967) Schutz mengemukakan tentang betapa pentingnya dunia yang hidup, peristiwa sehari-hari yang menghasilkan pemahaman kita atas dunia. Bagi Schutz, dunia sosial keseharian selalu merupakan suatu yang intersubjektif.[10]
Schutz mengemukakan bahwa ketertarikan manusia dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang bersifat sangat praktis dan tidak bersifat teoritis. Sikap alami mereka diatur oleh motif-motif pragmatis, yakni mereka berupaya mengontrol, menguasai, atau mengubah dunia dalam rangka menerapkan proyek-proyek dan tujuan mereka. Schutz menyebut kehidupan sehari-hari yang praktis tersebut dengan istilah dunia kerja realitas puncak. Kehidupan keseharian mereka merupakan wadah kehidupan sosial dimana manusia memperlakukan dunia ini sebagai lahan yang harus dikuasai, dan mereka berusaha keras untuk mengatasi hambatan-hambatan yang datang dari luar untuk mencapai pada rencana-rencana kehidupan mereka.[11]
Semua pengetahuan itu dijembatani oleh konstruksi intelektual, sebab hal ini melibatkan generalisasi, idealisasi dan abstraksi. Dengan pengertian semacam ini, fakta-fakta yang sering digambarkan sebagai sesuatu yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri tidak akan pernah terjadi, sebab fakta-fakta tersebut selalu merupakan hasil dari seleksi dan penafsiran. Penafsiran tersebut selalu membawa makna, dengan demikian jelas bahwa fakta-fakta itu merupakan sesuatu yang dipilih, ditafsirkan dan diabstraksikan. Pengetahuan kita sangat bersifat perspektif, oleh karenanya kita hanya menangkap aspek-aspek realitas tertentu saja, bukan seluruh realita yang kongkrit. Epistemologi asumsi semacam ini berlaku untuk seluruh pengetahuan.[12]
Dalam fenomenolgi Schutzian,untuk menafsirkan konsep-konsep sosiologis, seorang sosiolog harus melakukan proses reduksi fenomenologis dimana dia membersihkan dirinya dari segala prasangka teoritis dan ilmiah mengenai di luar sana dan menganalisis kebermaknaan atau arti fenomena sebagaimana dialami. Karena bagi Schutz, ada segi-segi yang menentukan dalam kehidupan sehari-hari yang tak bisa secara memadai dimengerti ketika kita merefleksikan diri kita sendiri saat bertindak. Ingatan tak bisa menciptakan kembali pengalaman hidup yang masih diingat.[13]
Walaupun Schuzt menggunakan fenomenologi Husserl dalam analisisnya, tetapi ada perbedaan antara fenomenologi Schutz dengan Husserl. Setelah melakukan reduksi fenomenologis, Husserl terus memurnikan pengalaman akan segala unsur empiris termasuk sumbangan individu sendiri untuk pengalaman-pengalamannny, sehingga menyingkap struktur akhir kesadaran manusia pada umumnya. Sedangkan Schuzt tetap tinggal pada taraf analisis psikologis, menempatkan dirinya dalam tugas menganalisis pengalaman sosial kesadaran akan diri kita sendiri yang berinteraksi dengan  orang lain atau intenso kehidupan sosial. Ringkasnya, Schutz ingin menjelaskan bagaimana makna-makna subjektif bisa memproduksi dunia sosial objektif.[14]
Salah seorang sosiolog secara langsung mendapat pengaruh dari pemikiran Schutz adalah Harold Garfinkel yang juga murid dari Talcot Parsons. Walaupun Gerfinkel mengakui adanya pengaruh dari para pemikir diantaranya Weber, Manheim, juga Parson, tetapi terbukti bahwa Schutz merupakan sumber pokok yang diplih oleh Garfinkel untuk mengembangkan teorinya disebut etnometodologi. Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktik dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya struktural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktural sosial.[15]
Inti metodologi Garfinkel adalah meminta para peneliti mempertanyakan pada pihak yang diteliti untuk mendapatkan penjelasan yang benar. Misalnya seorang suami mengatakan pada istrinya bahwa ia merasa lelah, si istri akan bertanya, bagaimana lelah yang dirasakan suaminya, secara fisik, mental, atau hanya merasa jenuh? Dan suaminya akan menjawab, hanya fisiknya yang lelah. Dengan begitu permasalahan menjadi jelas dan si sistri akan meminta suaminya untuk beristirahat.[16]
Etnometodologi yang dikembangkan Garfinkel melalui karyanya tahun 1967, telah menarik minat banyak sosiolog (diantaranya Blum, Cicourel, Douglas, McHuhg, Sucks, Schegloff, Sudnow, Wieder, Wilson, dan Zimmerman) yang merasa tidak puas pada teori-teori dan metode-metode sosiologi konvensional.[17]



[1] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 140
[2] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 141
[3] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 141
[4] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 142
[5] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 143
[6] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 143
[7] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 143
[8] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 144
[9] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 146
[10] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 146
[11] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 147
[12] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 147-148
[13] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 149
[14] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 149-150
[15] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 150
[16] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 151
[17] Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT Remaja Rosdakarya hal 151-152

Hasil Wawancara Pengemis



Latar Belakang Pengemis
Oleh
Nur’aeni
Nim : 1414352026
Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Semester 2
(TUGAS UTS FILSAFAT ILMU)

Untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Filsafat Ilmu semester 2, saya dan teman-teman sekelas ditugaskan untuk melakukan sebuah penelitian. Awalnya, Ibu Siti Fatimah, M.Hum (Dosen Filsafat Ilmu) menugaskan kepada kita untuk meneliti LGBT. Tetapi ada sebagian mahasiswa yang tidak menyetujuinya, hingga pada akhirnya target penelitian dialihkan ke pengemis. Dalam penelitian kali ini, dalam satu kelas di bagi dua target. Sebagian meneliti latar belakang pengemis dan sebagiannya lagi ada yang meneliti LGBT, mayoritas yang memilih LGBT anak laki-laki. Untuk meneliti pengemis, tugasnya bersifat individu, sedangkan LGBT bersifat kelompok. Saya sendiri lebih memilih untuk meneliti pengemis.
Tujuan adanya tugas lapangan ini, agar mahasiswa PMI mulai terbiasa untuk menangani masalah sosial masyarakat dan untuk mengetahui latar belakang pengemis. Metode yang saya lakukan adalah melakukan tanya jawab kepada sang pengemis yang akan dijadikan target tersebut.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa kehidupan di dunia ini tidak semuanya kaya, tidak semuanya hidup serba kecukupan, serba mewah, seba ada dan lain sebagainya. Ada lapisan masyarakat dibawah garis ekonomi rendah yang hanya bisa mengandalkan pemberian dari orang lain untuk bisa menyambung hidupnya. Jika melihat hal yang demikian, kita seharusnya lebih bersyukur kepada Allah Swt yang telah mencukupi kita semua hingga kita tidak sampai meminta-minta di jalanan layaknya pengemis.
Pada hari senin, 6 April 2015. Saya dan teman saya yang bernama Duniawati mencoba mencari seorang pengemis yang akan kami jadikan target. Sebelum menemui pengemis, kami membeli sedikit makanan untuk kami berikan kepada pengemis yang kita tuju. Awalnya, kita menuju ke Indomart, karena di Indomart ada satu pengemis yang duduk di depan pintu masuk indomart dengan menengadahkan topinya sebagai wadah uang yang akan ia terima. Akan tetapi, setelah sampai di indomart, kami ragu untuk mewawancarainya, karena kami takut mengganggu akivitasnya sehingga kami mengurungkan niat untuk mewawancarai pengemis yang ada di depan Indomaret tersebut. Kami pun mencari lagi ke tempat lain yaitu kami menuju ke Lampu merah yang dekat dengan kampus III Unswagati. Kebetulan, sesampainya kita disana ternyata di lampu merah tersebut tidak ada seorang pengemis pun yang berdiri di tengah jalan. Kami mencoba tengok kanan kiri melihat di sekeliling kita, dan tetap saja nihil hasilnya. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami mencari pengemis di Bima. Tidak lama kemudian, setelah kami memutari jalan sekitar Bima, akhirnya kami menemukan seorang ibu-ibu yang sedang meminta-minta ke orang-orang disekelilingnya. Kami pun berhenti dan mencoba memanggil sang ibu tersebut, tetapi ibu itu terlihat gelisah seperti merasa takut kepada kita karena takut ditangkap oleh kita, sehingga ia mengabaikan panggilan saya begitu saja. Kami tidak menyerah. Karena kami baru melihat satu pengemis setelah lama mencari-cari, kami pun mencoba untuk yang kedua kalinya mendekati ibu dengan kehati-hatian, jangan sampai gagal untuk yang kedua kalinya. Kebetulan ibu tersebut sedang beristirahat di sebuah tempat yang teduh sambil menghitung uang yang ia dapatkan dari hasil mengemisnya tersebut.
Dengan penuh kehati-hatian kami pun mendekatinya. Awalnya sama, ibu itu kembali merasa takut melihat kita. Tetapi, setelah kami menjelaskan maksud kedatangan kami, ibu tersebut mau merespon kami. Lalu, kami pun tidak membuang-buang waktu lagi untuk segera mewawancarainya untuk dimintai keterangan/latar belakang dari ibu tersebut. Kami menanyakan banyak hal kepadanya. Sang ibu tersebut tidak kuat menahan curahan hatinya, sehingga ia pun menangis tak henti-henti. Pertanyaan-pertanyaan yang kami tanyakan berjalan secara natural begitu saja. Karena mengkondisikan suasana pada saat itu. Jadi, kita melihat situasi dan kondisi dari ibu pengemis tersebut dan biarkan pertanyaannya yang  mengikuti dan biarkan mengalir dengan sendirinya.
Perempuan separuh baya yang kami maksud disini adalah seorang ibu-ibu yang bernama ibu sanipah, berasal dari Kendal Semarang. Ia berdomisili di Terminal Kota Cirebon. Ia mempunyai 10 anak. 5 anak telah menikah dan 5 anak masih sekolah. Ia mulai mengemis sejak setahun yang lalu. Bisa dikatakan ibu ini belum lama mengemis. Alasan yang mendasari ibu tersebut harus mengemis karena di kampungnya sudah tidak ada pekerjaan yang bisa mencukupi hidupnya, karena diberhentikan dari pekerjaan nyawah (Biasa disebut oleh orang Jawa yaitu Ngemplang). Penghasilan perhari yang ia dapatkan berkisar Rp 20.000 – Rp 30.000. ia memulai mengemis dari jam 09.00 WIB sampai ia mendapatkan uang cukup untuk makan, kurang lebih jam 2 atau jam 3 siang. Sebelum ia mengemis, ia bekerja di Sawah untuk mengemplang.
Ibu sanipah tidak mempunyai latar belakang pendidikan, sehingga pengetahuan ia bisa dikatakan kurang. Ia tidak bisa membaca tulisan, sehingga ketika ada tawaran untuk jadi TKI ke luar negeri ia tidak mau, mungkin jika ia bisa mengerti suatu bacaan, dia ada niatan untuk menjadi TKI, dan mencari uang di luar negeri. Tetapi, apa daya, ia tidak mampu melakukannya. Sehingga pada akhirnya ia terpaksa lebih memilih mengemis dibanding pekerjaan lainnya.
Selain tidak mempunyai latar belakang pendidikan, faktor lain yang menyebabkan ia mengemis adalah karena banyak sawah yang dibangun menjadi bangunan perumahan, sehingga lahan pekerjaan untuk bertani semakin berkurang, dan menjadikan ia tak mempunyai pekerjaan atau menjadi pengangguran.
Selain itu semua. Ia mengemis karena suaminya hanya bekerja sebagai seorang tukang becak dan suaminya pun sama, tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang baik. Sehingga ia hanya bisa bekerja sebagai tukang becak. Menurut ia, hasil dari becak tidak seberapa, terkadang sehari hanya mendapat 10rb sampai 20rb saja. Sedangkan ia harus mencukupi kebutuhan anak-anaknya yang banyak. Tidak cukup dengan hasil dari becak saja.
Ibu Sanipah pulang ke kampung halamannya setiap satu minggu sekali, hanya untuk menemui anak-anak dan suaminya yang ia tinggalkan di kendal. Dan ketika ia pulang tentunya ia pulang dengan membawa uang yang akan ia kasihkan untuk anak-anaknya. Biasanya ketika ia pulang ia membawa uang sekitar 200rb rupiah. Bisa dipakai untuk keperluan anakanya sekolah.
Ia berharap anak-anaknya kelak jangan sampai seperti orang tuanya. Ia menginginkan anaknya menjadi orang yang berguna, yang bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Ia mengemis benar-benar untuk ibadah kepada anak, meskipun itu pekerjaan yang hina. Ia tidak memperdulikan perkataan orang lain. Yang terpenting ia bisa menghidupi anak-anaknya dan mencukupi kebutuhannya.
Jadi, menurut saya bisa diambil kesimpulannya bahwa seorang yang bekerja sebagai pengemis bermacam-macam faktor yang memaksanya untuk mengemis. Bisa dikatakan karena kurangnya pendidikan, latar belakang ekonomi yang tidak berkecukupan, latar belakang lingkungan, karena tidak adanya lahan sawah yang bisa digarap, tidak adanya lahan pekerjaan disekitarnya, dan bisa juga karena faktor kemalasan, yang tidak ingin bekerja pekerjaaan yang berat. Dari itu semua kita ambil ibrahnya saja. Bahwa di dunia ini masih ada orang yang hidup dibawah kita. Sehingga kita harus sadar bahwa orang-orang yang dibawah kita itu masih hidup dalam kekurangan. Sedangkan kita bisa hidup enak-enakkan tanpa menghiraukan mereka.[1]







  

Dialog Pengemis
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Assalamu’alaikum bu”.
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Wa’alaikumussalam”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Namanya siapa bu?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Namanya Saripah”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Alamate ning endi?” (Bahasa Jawa)
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Alamate Kendal”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawancara          : “Semarang bu?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Mau sing wetan, mondok ning terminal”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Alamat sekarang domisilinya di terminal? Dimananya tuh bu terminalnya?
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Terminal Cirebon”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Punya anak berapa bu?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Anaknya Sepuluh, Tapi beli pada mampu, Kang wis rumah tangga kah nok 5 nok, Kang durung 5”.  (Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Sing masih sekolah?” (Bahasa Jawa)
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Kang masih sekolah lima, SMP loro SD telu,  lanang kabeh nok. Pulane pengen sekolah beli bayar gah ongkose sing endi mangane sing endi.” (Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Mulai mengemis sejak kapan bu?
Ibu Saripah (Pengemis)           : “ Sekitar setaun lah nok”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawanacara)       : “Berarti baru?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Iya sekitar setaun. Aduh barang sengsara..” (Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawacara)           : “Alasannya kenapa bu bisa lebih milih ngemis?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Nok ari apan bujang laka pegatake, bocae laka sing ngurusi,prebe ya nok “.(Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Lakie mendi bu?” (Bahasa Jawa)
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Lakie beca, ngemplang kadang kala ya ana. Lamun ngenteni oli kuen bae, nok oli selawe balik oli rongpuluh balik”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Emang anak-anake ibu laka sing duwe?” (Bahasa Jawa)
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Anake pada beli duwe kaligane nok. Ninggang ana rejeki ya mepai. Toli dipai sing anak ya, jaluk si nok. Bocah pada beli duwe, kepribe sih ari beli mampu kuh. Lamun mampu sih emong nok ibu sih. Sikile lara kabeh, sengsara nok ari jalan deg mene deg mene iku sikile kuh nok,apan balik punyeng”. (Bahasa Jawa, Ibu Saripah mengungkapkannya sambil menangis)
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Biasanya dapet berapa bu perharinya?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Selawewu, kadang rongpuluh ewu”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Paling banyaknya berapa bu?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Telungpuluh ewu”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Keluar dari jam berapa bu?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Metu ibu bangsa golongan jam sangaan jam sepuluan. Ari ana ngemplangan sih ngemplang. Sedina kah pitulas sewu limalas sewu gah bagen ari ana. Ari langka tinimbang bocah kelaparan nok. Kita kuh ya Allah gusti bagen kaya kenen kuh lagi ibadah ning bocah,melas nok bocah beli mangan kuh jaluke ning sapa. Terus terang bae beli duwe nok. Beli nganggo kesugihan yakin ibu sih. Boro-boro sugih yakin beli boong”. (Bahasa Jawa)
Ibu Saripah (Pengemis)           : “ Nok lagi mau durung mengkenen, ilokan mangan ilok beli nok”. (Bahasa Jawa, sambil nangis)
Nur’aeni (Pewawancra)          : “Jadi, waktu sebelum mengemis itu bu ya di Kendalnya kerja apa bu?
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Kerja apa ya kerjane ngemplang, sekien sih langka pada ngenggo mesin. Mau sih lumayan ibu kerja ning kali (Sungai) ana nok watu, gecek watu. Langka...kaline, mendung. Beli! Beli mengkenen nok, hina nok. Umame anak kang ngomong blenak, mepai satus. Bu, Ibu kuh masih enom je lungah ning Arab bae. Lamun weru tulisan sih arep ning Arab nok”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Bu pendidikane ora sd?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Beli! Beli sd sd acan wong bengen beli duwe wong tuwae. Lamu weru kih nok ibu nulis A I U lunga bae ning Arab kanggo masa depane anak. Beli weru, toli kepribe kae tekang ning kana clingak clinguke mendi”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Jadi, beli skolah ta bu?
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Beli!  Buta huruf. Weru kuh Cirebon bae, ya ari desa endine sih beli wru”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Jadi yang di rumah gimana Bu yang di Kendal?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Yang di Kendal ya anak terus bari sedulur. Ibune balike seminggu sepisan”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Yang paling kecil berapa taun umurnya?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “SD kelas papat”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Anak-anaknya selain sekolah kegiatannya apa aja bu?
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Yambu, pada sing wis rumah tangga sih apa bae”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Engga, itu yang lima orang itu tuh bu?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Ya sekolah masih”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Engga disuruh ikut ngemis lagi atau gimana?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Aduh cukup raup ibu bae nok, ibu gah emong nok lamun bocah wis gede-gede, emong temen, temenan nok. Yakin beli boongan. Ibu bae wis”. (Bahasa Jawa, Sambil ketuwon)
Nur’aeni (Pengemis)               : “Berarti tau dong bu keluarga ibu, kalau ibu ngemis?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Ya, Iya pada kesedihen nok”. (sambil nangis)
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Kalau makan sehari-hari dari ibu aja atau gimana?”
Ibu Saripah (Pewawancara)    : “Ya karo bapane karo ibu. Ari duwe kah nok. Namun misale bapane lagi ngemplang beli mangkat ibue. Pegel nok kiyene lara kabeh”. (Sambil nangis)
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Jalan kaki bu kalau pulang ke Terminal?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Ke Terminal jalan kaki, sholat dulu ke masjid itu tuh di kampus terus pulang”.
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Pekerjaan kaya gini tuh sebenarnya ga diinginkan gitu yah?”
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Ora lah nok, mene nok modali mepai ibu, apan dagang ning pasar. Emong nok..... “
Nur’aeni (Pewawancara)         : “Pernah dapet bantuan engga bu dari Pemerintah? biasanya dari Pemerintah ada bantuan BBM atau apa gitu?
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Iya dapet, ada BBM telungatus sewu. Di kasih BBM. Kih nok lamun oli BBM kuh nok ditukunang beras selawe kilo terus luwiane kanggo ibu beli mangkat pirang dina ya entok, nyageraken BBM bae yaa.....”
Nur’aeni (Pewawancara)         : “yawis, beli mangan-mangan bu ya, setaun sekali mangane.
Ibu Saripah (Pengemis)           : “Nok, kula nyambat ning Gusti Allah kuh Ya Allah Gusti kula kuh lagi ibadah ning anak. Muga-muga anak gede-gede lanang kebeh kuh pada kerja kabeh”.[2]














[1] Hasil wawancara pada Hari senin tanggal 6 April 2015 bertempat di warung Bima Kota Cirebon dengan Ibu Saripah dari Kendal.
[2]  Dialog dari Hasil wawancara pada Hari senin tanggal 6 April 2015 bertempat di warung Bima Kota Cirebon dengan Ibu Saripah dari Kendal.