Fenomenologi
Oleh
Nur’aeni
Jurusan
PMI Semeseter 2
Tugas
Meresum Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Lange mengungkapkan bahwa untuk memahami kontruksi
sosial suatu masyarakat, ilmuwan sosial harus mencapai intelligible world, yang merupakan tempat terhimpunnya fakta-fakta
sosial yang dialami setiap individu sehingga dia bisa memahami kesadaran murni
(pure consciusness) masing-masing
individu yang menjadi pemicu munculnya tindakan sosial. Metode seperti itulah
yang digunakan oleh kaum fenomenolog sosial untuk menganalisis suatu fenomena
sosial. Metode yang dikembangkan oleh Edmund Husserl yang disebut fenomenologi.[1]
Kaum fenomenolog sosial berangkat
dari pembedaan atas formalisme yang dilakukan oleh Immanuel Kant (1724-1804).
Di samping mengembangkan konsep a priori-
a posterior, Kant juga memfokuskan perhatian pada objek pengetahuan.
Menurut Kant, kita semua mengetahui bahwa kita memiliki pengalaman yang diasumsikan
kembali pada dunia realitas. Kant menamai dunia yang dialami dengan fenomena,
dan hal yang dialami disebut nomena. Pengetahuan kita tentang dunia, termasuk
semua pengetahuan ilmiah, selalu berhubungan dengan sesuatu yang dialami. [2]
Pada tahap selanjutnya, Kant membagi pengetahuan
tentang fenomena pada dua bagian utama: bentuk (from) dan isi (content), dimana
bentuk merupakan bagian fundamental, sedangkan isi suatu pengalaman diproduksi
oleh pengaruh-pengaruh yang muncul dari luar. Pembeda yang dilakukan Kant atas
bentuk dan isi serta nomena dan fenomena, pada akhirnya memunculkan pertanyaan
penting, setiap tindakan yang kita lakukan memiliki dua konstruksi yang
berbeda; kostruksi ilmiah yang berdasar pada konsep keniscayaan (causal) serta kostrruksi etika yang
bebas dan tanggung jawab.[3]
Dan khususnya dalam teori fenomenologi, pemikiran
Kant mempengaruhi Charles Renouvier (1815-1903) yang dikenal dengan teori
fenomenalisme atau neo-kritisisme. Teori Renouvier pada intinya mengatakan
bahwa realitas adalah fakta kesadaran dan sistem hubungan antara fakta-fakta
kesadaran. Renouvier mengeliminir noumena dan kemudian kembali mereduksi
fenomena menjadi nomena. Teori fenomenologi tersebut kemudian dikembangkan oleh
Edmund Husserl (1859-1938). Tapi tidak seperti Renouver yang mereduksi semua
realitas pada fenomena. Husserl lebih menekankan pada institusi fenomena
sebagai dasar pendekatan atas semua bentuk realitas.[4]
Metode Husserl adalah memeriksa dan menganalisis
kehidupan batiniah individu, yakni pengalaman-pengalamannya mengenai fenomena
atau penampakan-penampakan sebagaimana terjadi dalam arus kesadaran. Husserl
bertolak dari pengandaian bahwa pengalaman tidak hanya diberikan kepada
individu, melainkan bersifat intensional dalam arti bahwa pengalaman itu
melibatkan orang yang mengarahkan perhatiannya pada objek-objek yang membuat
pengalamannya seperti itu. Husserl berpikir bahwa kita bisa memebersihkan diri
dari prasangka –prasangka kita yang terkumpul mengenai dunia dan mereduksi
pengalaman kita sampai unsur-unsur dasariah pengalaman-pengalaman itu dan
struktur yang mendasari pengalaman-pengalaman itu.[5].
Tujuan Husserl adalah untuk membangun fenomenologi
sebagai ilmu eidetik. Husserl
meyakini bahwa pengalaman terbagi menjadi dua ; pengalaman alami dan pengalaman
eidetik. Isi pengetahuan mengandung
objek-objek natural dan esensi intrinsik fenomena. Fenomenologi Husserl
melibatkan reduksi atas setiap peristiwa pengalaman pada kesadaran murni dan
segala hal yang berhubungan dengannya. Metode ini mengasumsikan bahwa setiap
pengalaman memiliki esensi yang dapat ditelusuri dengan pendekatan intuitif.
Tujuan puncak Husserl adalah investigasi atas kesadaran murni dan hubungan
realitasnya dengan keadaan eidetik.[6]
Secara garis besar metode fenomenologi Husserl
mencakup dua langkah utama. Pertama, pembedaan atas realitas natural dan
realitas eidetik. Langkah kedua, pembedaan antara esensi imanen dengan esensi
transenden. Esensi transenden meliputi esensi-esensi semacam benda, bentuk
khusus, gerakan, warna sesuatu dan lain-lain. Langkah kedua itu dilakukan
dengan menahan esensi-esensi transenden dari analisis dan menganalisis
esensi-esensi imanen dari kesadaran murni.[7]
Husserl lebih memperhatikan yang pertama, yaitu
pengalaman eidetik, dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi yang
terkontrol secara progresif pada pengalaman yang muncul pada tingkat paling
dalam dari diri manusia. Pada perkembangan selanjutnya, reduksi fenomenologi
yang dikembangkan Husserl diaplikasikan ke dalam realitas kehidupan sosial yang
dilakukan, diantaranya oleh Alfred Vierkandt (1867-1953).[8]
Dengan
demikian, studi fenomenologi sebagai metode sosiologi murni. Bisa menyingkap
esensi masyarakat. Perilaku masyarakat dan relasi-relasi sosial yang terbentuk.
Dengan menggunakan metode tersebut seseorang bisa menemukan fakta-fakta atau
disposisi a priori dan paling puncak
dari kehidupan sosial. Fakta-fakta tersebut merupakan pra kondisi a priori dari komunitas manusia, dan
kehidupan sosial bisa direduksi ke dalam pengembangan fakta-fakta tersebut.[9]
Fenomenologi Husserl mempengaruhi seorang sosiolog
Wina, Austria, Alfred Schutz (1899-1959). Alfred Schutz mengaplikasikannya
dalam sosiologi, dimana dalam sebuah karyanya (1967) Schutz mengemukakan
tentang betapa pentingnya dunia yang hidup, peristiwa sehari-hari yang
menghasilkan pemahaman kita atas dunia. Bagi Schutz, dunia sosial keseharian
selalu merupakan suatu yang intersubjektif.[10]
Schutz mengemukakan bahwa ketertarikan manusia dalam
dunia kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang bersifat sangat praktis dan
tidak bersifat teoritis. Sikap alami mereka diatur oleh motif-motif pragmatis,
yakni mereka berupaya mengontrol, menguasai, atau mengubah dunia dalam rangka
menerapkan proyek-proyek dan tujuan mereka. Schutz menyebut kehidupan
sehari-hari yang praktis tersebut dengan istilah dunia kerja realitas puncak.
Kehidupan keseharian mereka merupakan wadah kehidupan sosial dimana manusia
memperlakukan dunia ini sebagai lahan yang harus dikuasai, dan mereka berusaha
keras untuk mengatasi hambatan-hambatan yang datang dari luar untuk mencapai
pada rencana-rencana kehidupan mereka.[11]
Semua pengetahuan itu dijembatani oleh konstruksi
intelektual, sebab hal ini melibatkan generalisasi, idealisasi dan abstraksi.
Dengan pengertian semacam ini, fakta-fakta yang sering digambarkan sebagai
sesuatu yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri tidak akan pernah terjadi,
sebab fakta-fakta tersebut selalu merupakan hasil dari seleksi dan penafsiran.
Penafsiran tersebut selalu membawa makna, dengan demikian jelas bahwa
fakta-fakta itu merupakan sesuatu yang dipilih, ditafsirkan dan diabstraksikan.
Pengetahuan kita sangat bersifat perspektif, oleh karenanya kita hanya
menangkap aspek-aspek realitas tertentu saja, bukan seluruh realita yang
kongkrit. Epistemologi asumsi semacam ini berlaku untuk seluruh pengetahuan.[12]
Dalam fenomenolgi Schutzian,untuk menafsirkan
konsep-konsep sosiologis, seorang sosiolog harus melakukan proses reduksi
fenomenologis dimana dia membersihkan dirinya dari segala prasangka teoritis
dan ilmiah mengenai di luar sana dan menganalisis kebermaknaan atau arti
fenomena sebagaimana dialami. Karena bagi Schutz, ada segi-segi yang menentukan
dalam kehidupan sehari-hari yang tak bisa secara memadai dimengerti ketika kita
merefleksikan diri kita sendiri saat bertindak. Ingatan tak bisa menciptakan
kembali pengalaman hidup yang masih diingat.[13]
Walaupun Schuzt menggunakan fenomenologi Husserl
dalam analisisnya, tetapi ada perbedaan antara fenomenologi Schutz dengan
Husserl. Setelah melakukan reduksi fenomenologis, Husserl terus memurnikan
pengalaman akan segala unsur empiris termasuk sumbangan individu sendiri untuk
pengalaman-pengalamannny, sehingga menyingkap struktur akhir kesadaran manusia
pada umumnya. Sedangkan Schuzt tetap tinggal pada taraf analisis psikologis,
menempatkan dirinya dalam tugas menganalisis pengalaman sosial kesadaran akan
diri kita sendiri yang berinteraksi dengan
orang lain atau intenso kehidupan sosial. Ringkasnya, Schutz ingin
menjelaskan bagaimana makna-makna subjektif bisa memproduksi dunia sosial
objektif.[14]
Salah seorang sosiolog secara langsung mendapat
pengaruh dari pemikiran Schutz adalah Harold Garfinkel yang juga murid dari
Talcot Parsons. Walaupun Gerfinkel mengakui adanya pengaruh dari para pemikir
diantaranya Weber, Manheim, juga Parson, tetapi terbukti bahwa Schutz merupakan
sumber pokok yang diplih oleh Garfinkel untuk mengembangkan teorinya disebut
etnometodologi. Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang
mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktik dimana
anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek,
peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian
etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis,
khususnya struktural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku
ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktural sosial.[15]
Inti metodologi Garfinkel adalah meminta para
peneliti mempertanyakan pada pihak yang diteliti untuk mendapatkan penjelasan
yang benar. Misalnya seorang suami mengatakan pada istrinya bahwa ia merasa
lelah, si istri akan bertanya, bagaimana lelah yang dirasakan suaminya, secara
fisik, mental, atau hanya merasa jenuh? Dan suaminya akan menjawab, hanya
fisiknya yang lelah. Dengan begitu permasalahan menjadi jelas dan si sistri
akan meminta suaminya untuk beristirahat.[16]
Etnometodologi yang dikembangkan Garfinkel melalui
karyanya tahun 1967, telah menarik minat banyak sosiolog (diantaranya Blum,
Cicourel, Douglas, McHuhg, Sucks, Schegloff, Sudnow, Wieder, Wilson, dan
Zimmerman) yang merasa tidak puas pada teori-teori dan metode-metode sosiologi konvensional.[17]
[1]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 140
[2]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 141
[3]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 141
[4]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 142
[5]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 143
[6]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 143
[7]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 143
[8]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 144
[9]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 146
[10]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 146
[11]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 147
[12]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 147-148
[13]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 149
[14]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 149-150
[15]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 150
[16]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 151
[17]
Wardi Bachtiar,2006,Sosiologi Klasik,Bandung;PT
Remaja Rosdakarya hal 151-152



