Oleh Kelompok 5 :
1.
Abdul Rosyid
2.
Anieq Rofah
3.
Nur’aeni
Pengembangan Masyarakat
Islam
Semester
2
A.
Pembahasan
Aksiologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk dan
hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi
obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah perluasan dari bidang etika
tradisional. Etika memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai moral, aksiologi
memperluas diri dengan memusatkan perhatiannya pada semua jenis nilai. Nilai
dalam etika tradisional diartikan sama dengan baik dan jahat sedangkan dalam
aksiologi, nilai memiliki arti lebih luas lagi meliputi baik dan buruk/jahat,
indah dan jelek, serta benar dan salah. Aksiologi adalah teori tentang nilai
dalam berbagai makna yang dikandungnya.[1]
Tujuan dasar ilmu dakwah, dengan merujuk
pada beberapa ayat al-Qur’an yang relevan, adalah untuk :
1.
Menjelaskan
realitas dakwah sebagai suatu kebenaran.
2.
Mendekatkan
diri kepada Allah sebagai Kebenaran.
3.
Merealisasikan
kesejahteraan untuk seluruh alam.
A.
Memahami Kebenaran
Dalam Al-Qur’an kebenaran itu disebut
dengan istilah al-haq. Dalam
al-Qur’an, kebenaran berhubungan dengan keadilan dan persamaan. Hal itu
mengindikasikan bahwa setiap kebenaran terkait secara inheren di dalamnya
keadilan dan persamaan. Dalam al-Qur’an, al-haq
dipakai untuk menunjuk Allah dan suatu pengertian yang berlawanan dengan arti
istilah bathil dan dhalal.
Dalam salah satu karyanya, Yusuf
Qardhawi mengemukakan penggunaan kata al-haq
oleh beberapa kalangan dalam pengertian masing-masing. Al-haq bagi filosof adalah perpaduan
antara kebenaran, kebajikan dan keindahan. Mereka yang menekuni bidang etika
mengartikan al-haq sebagai sisi lain
dari kewajiban, seperti dapat dipahami dari ungkapan”setiap hak harus diimbangi
dengan kewajiban”.[2]
Kebenaran harus ditegakkan. Para
penganut agama pada umunya sepakat bahwa kebenaran ilmu bersifat nisbi.
Kebenaran nisbi dapat diberi pengertian dengan kesesuaian antara pikiran dan
kenyataan. Ada yang membagi kebenaran nisbi terbagi menjadi empat macam, yaitu
:
1.
Kebenaran
Koresponden.
2.
Kebenaran
Koherensi.
3.
Kebenaran
Pragmatik.
4.
Kebenaran
Semantik.
Noeng Muhadjir membagi kebenaran menjadi
empat tingkat, yaitu :
1.
Empirik
Sensual.
2.
Kebenaran
empirik rasional.
3.
Kebenaran
empirik etik.
4.
Kebenaran
empirik transedental.
Jadi, kesimpulannya kebenaran yang
ditemukan ilmu dakwah harus dipakai untuk membela, menegakkan dan melestarikan
kebenaran bukan untuk membela, menegakkan dan melestarikan kesalahan,
kebathilan dan kesesatan.
B.
Persoalan Rekayasa Masa Depan
Perubahan
sosial adalah perubahan dalam segi struktur dan hubungan sosial. Perubahan
sosial berjalan dengan hukumnya sendiri tanpa ada kemampuan manusia untuk
terlibat didalamnya. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa manusia
dapat memberikan pengaruh tertentu terhadap arah perubahan sosial.[3]
Merujuk pada pendapat terakhir, perubahan sosial yang direncanakan disebut
dengan beberapa istilah, diantaranya rekayasa sosial, perencanaan sosial, dan
manajemen perubahan.pengertian yang diacu istilah perencanaan sosial, istilah
rekayasa sosial mengandung arti perencanaan tertentu, tidak dalam arti seluruh perencanaan
diimplimentasikan hingga teraktualisasikan secara nyata. Maka rekayasa sosial
mengandung makna pragmatis dan relatif lebih pasti.
Ilmuwan
dakwah sepakat bahwa arah perubahan sosial dapat diramalkan, diarahkan dan
direncanakan. Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial terutama
dapat dimulai dari perubahan individual, baik dalam cara berfikir maupun
bersikap. Dalam konteks dakwah, arah perubahan yang dituju adalah pembentukan khairu ummah. Untuk mencapai hal itu,
maka bisa diawali dengan pembentukan khaira
bariyyah, khaira usrah, khairu jamaah lalu tercapailah pembentukan khairu ummah.
Dengan
merujuk pada pendapat Jalaluddin Rakhmat, rekayasa sosial dapat dipahami
sebagai pemasaran sosial. Dalam pengertian tersebut, debagai upaya merekayasa
umat menuju ke arah pembentukan khairu
ummah, da’i dalam proses dakwahya dapat dikatakan sebagai memasarkan
rencana atau solusi atas problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat, dalam
konteks penegakan kebenaran dan keadilan. Dakwah dalam pengertian itu dapat
mengambil bentuk kegiatan yang berupa aksi-aksi kolektif, teknik-teknik
pengembangan masyarakat, gerakan sosial bahkan bisa juga berbentuk revolusi.
Dalam
QS. Al-Hadid : 25 terkandung antara lain tiga istilah yang dipahami oleh
Jalaluddin Rakhmat sebagai tiga macam cara bagaimana Rasulullah merekayasa
ummat.
1.
Al- Kitab
Mengembalikan
umat manusia pada fitrah kemanusiaan dan nilai-nilai ilahiyah..
2.
Al-Mizan
Mengembangkan
argumentasi rasional dan akal sehat agar tercipta kejernihan pola pikir.
3.
Al-Hadid
Berusaha
memiliki kekuasaan yang sepenuhnya digunakan untuk menegakkan keadilan, seperti
yang telah diberikan oleh Allah kepada Rasulullah.
Sebagai suatu sistem, rekayasa sosial
mempunyai beberapa unsur, yaitu sebab pelaku perubahan, target perubahan, media
perubahan dan unsur strategi perubahan.
Dilihat dari targetnya, fungsi-fungsi
dakwah dapat dibedakan sebagai berikut :
1.
I’tiyadi
Normalisasi
tata nilai yang telah ada.
2.
Muharriq
Peningkatan
tatanan sosial yang sebenarnya.
3.
Iqaf
Upaya
preventif dengan sejumlah petunjuk-petunjuk dan peringatan-peringatan yang
relevan.
4.
Tahrif
Membantu
untuk meringankan beban penderitaan.
C.
Persoalan Nilai-nilai Islam
Nilai (value) merupakan suatu konsep yang
sangat bermakna ganda. Nilai adalah pandangan tertentu yang berkaitan dengan
apa yang penting dan yang tidak penting.[4] Nilai
juga dapat dipahami sebagai suatu kata benda abstrak, yaitu mengacu pada sifat
dari nilai atau sifat bernilai.
Al-Qur’an
dipercaya memuat nilai-nilai tertinggi yang ditetapkan oleh Allah dan merupakan
nilai-nilai resmi dariNya. Nilai-nilai yang termuat dalam al-Qur’an selamanya
ada di langit kecuali setelah melalui proses dakwah.
Dakwah adalah
upaya menurunkan dan menjadikan nilai-nilai al-Qur’an agar membudaya dalam
kehidupan masyarakat. Dakwah adalah suatu rekayasa sosial guna membentuk suatu
persekutuan budaya yang para anggotanya mentaati kerangka ide dan nilai-nilai
yang bersumber dari al-Qur’an untuk menjaga kehidupan yang harmonis dan
menghindari trejadinya anarki.[5]
Apa yang paling
dasar dan paling sentral dari nilai-nilai Islam adalah tauhid. Tauhid adalah
suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala
sesuatu dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Bagi umat islam,
tat nilai yang Islami dianggap sebagai nilai yang telah jelas karena sumber dan
rujukannya jelas, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Dari sejumlah ayat-ayat al_qur’an
dapat diperoleh pemahaman bahwa tata nilai bukanlah suatu barang yang mati atau
produk jadi yang statis. Tata nilai islami itu bersifat historis, dinamis,
dialektis dan profetik-transformatif.
Penanaman
nilai-nilai Islami ke dalam realitas kehidupan manusia pada dasarnya adalah
suatu rekayasa budaya dan strategi kebudayaan yang berlandaskan pada
konsep-konsep yang matang sesuai dengan arus perubahan zaman yang tidak pernah
berhenti. Itulah sebabnya tata nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat
tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari kenyataan dan realitas sosial yang
mengitarinya.
Dengan demikian,
tata nilai Islami yang akan ditanamkan, didasarkan pada pengetahuan yang
mendalam mengenai realitas yang ada di masyarakat, yang diperoleh antara lain
melalui studi literatur keagamaan yang bersifat normatif dan historis yang
memungkinkan diperoleh simbol-simbol lama yang tidak
Islami.
[1] The Liang Gie, Suatu
Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali Mudhofir,
(Yogyakarta:Karya Kencana, 1977), hal. 144-145
[2]Yusuf Qardhawi, Epistemolog al-Qur’an(al-haq).Terj.
Luqman Hakiem, (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), hal. 3-4
[3]Paul B Horton and Chester L Hunt, Sosiologi,
jilid II, terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari, (Jakarta: Erlangga, 1989),
hal. 208-242.
[4]Paul B Horton
and Chester L Hunt, Sosiologi, jilid
II, terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari, (Jakarta: Erlangga, 1989), hal. 258
[5]Moeslim
Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1995), hal. 174.