Start

Selasa, 10 Maret 2015

Aksiologi Dakwah dalam Islam



Oleh Kelompok 5 :
1.      Abdul Rosyid
2.      Anieq Rofah
3.      Nur’aeni
Pengembangan Masyarakat Islam
                           Semester 2                         

A.                Pembahasan
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari cara-cara yang berbeda dimana sesuatu hal dapat baik atau buruk dan hubungan nilai dengan menilai di satu pihak dan dengan fakta-fakta eksistensi obyektif di pihak lain. Aksiologi adalah perluasan dari bidang etika tradisional. Etika memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai moral, aksiologi memperluas diri dengan memusatkan perhatiannya pada semua jenis nilai. Nilai dalam etika tradisional diartikan sama dengan baik dan jahat sedangkan dalam aksiologi, nilai memiliki arti lebih luas lagi meliputi baik dan buruk/jahat, indah dan jelek, serta benar dan salah. Aksiologi adalah teori tentang nilai dalam berbagai makna yang dikandungnya.[1]
Tujuan dasar ilmu dakwah, dengan merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an yang relevan, adalah untuk :
1.      Menjelaskan realitas dakwah sebagai suatu kebenaran.
2.      Mendekatkan diri kepada Allah sebagai Kebenaran.
3.      Merealisasikan kesejahteraan untuk seluruh alam.

A.                Memahami Kebenaran
Dalam Al-Qur’an kebenaran itu disebut dengan istilah al-haq. Dalam al-Qur’an, kebenaran berhubungan dengan keadilan dan persamaan. Hal itu mengindikasikan bahwa setiap kebenaran terkait secara inheren di dalamnya keadilan dan persamaan. Dalam al-Qur’an, al-haq dipakai untuk menunjuk Allah dan suatu pengertian yang berlawanan dengan arti istilah bathil dan dhalal.
Dalam salah satu karyanya, Yusuf Qardhawi mengemukakan penggunaan kata al-haq oleh beberapa kalangan dalam pengertian masing-masing. Al-haq bagi filosof adalah perpaduan antara kebenaran, kebajikan dan keindahan. Mereka yang menekuni bidang etika mengartikan al-haq sebagai sisi lain dari kewajiban, seperti dapat dipahami dari ungkapan”setiap hak harus diimbangi dengan kewajiban”.[2]
Kebenaran harus ditegakkan. Para penganut agama pada umunya sepakat bahwa kebenaran ilmu bersifat nisbi. Kebenaran nisbi dapat diberi pengertian dengan kesesuaian antara pikiran dan kenyataan. Ada yang membagi kebenaran nisbi terbagi menjadi empat macam, yaitu :
1.      Kebenaran Koresponden.
2.      Kebenaran Koherensi.
3.      Kebenaran Pragmatik.
4.      Kebenaran Semantik.
Noeng Muhadjir membagi kebenaran menjadi empat tingkat, yaitu :
1.      Empirik Sensual.
2.      Kebenaran empirik rasional.
3.      Kebenaran empirik etik.
4.      Kebenaran empirik transedental.
Jadi, kesimpulannya kebenaran yang ditemukan ilmu dakwah harus dipakai untuk membela, menegakkan dan melestarikan kebenaran bukan untuk membela, menegakkan dan melestarikan kesalahan, kebathilan dan kesesatan.
B.     Persoalan Rekayasa Masa Depan
Perubahan sosial adalah perubahan dalam segi struktur dan hubungan sosial. Perubahan sosial berjalan dengan hukumnya sendiri tanpa ada kemampuan manusia untuk terlibat didalamnya. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa manusia dapat memberikan pengaruh tertentu terhadap arah perubahan sosial.[3] Merujuk pada pendapat terakhir, perubahan sosial yang direncanakan disebut dengan beberapa istilah, diantaranya rekayasa sosial, perencanaan sosial, dan manajemen perubahan.pengertian yang diacu istilah perencanaan sosial, istilah rekayasa sosial mengandung arti perencanaan tertentu, tidak dalam arti seluruh perencanaan diimplimentasikan hingga teraktualisasikan secara nyata. Maka rekayasa sosial mengandung makna pragmatis dan relatif lebih pasti.
Ilmuwan dakwah sepakat bahwa arah perubahan sosial dapat diramalkan, diarahkan dan direncanakan. Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial terutama dapat dimulai dari perubahan individual, baik dalam cara berfikir maupun bersikap. Dalam konteks dakwah, arah perubahan yang dituju adalah pembentukan khairu ummah. Untuk mencapai hal itu, maka bisa diawali dengan pembentukan khaira bariyyah, khaira usrah, khairu jamaah lalu tercapailah pembentukan khairu ummah.
Dengan merujuk pada pendapat Jalaluddin Rakhmat, rekayasa sosial dapat dipahami sebagai pemasaran sosial. Dalam pengertian tersebut, debagai upaya merekayasa umat menuju ke arah pembentukan khairu ummah, da’i dalam proses dakwahya dapat dikatakan sebagai memasarkan rencana atau solusi atas problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat, dalam konteks penegakan kebenaran dan keadilan. Dakwah dalam pengertian itu dapat mengambil bentuk kegiatan yang berupa aksi-aksi kolektif, teknik-teknik pengembangan masyarakat, gerakan sosial bahkan bisa juga berbentuk revolusi.
Dalam QS. Al-Hadid : 25 terkandung antara lain tiga istilah yang dipahami oleh Jalaluddin Rakhmat sebagai tiga macam cara bagaimana Rasulullah merekayasa ummat.
1.      Al- Kitab
Mengembalikan umat manusia pada fitrah kemanusiaan dan nilai-nilai ilahiyah..
2.      Al-Mizan
Mengembangkan argumentasi rasional dan akal sehat agar tercipta kejernihan pola pikir.


3.      Al-Hadid
Berusaha memiliki kekuasaan yang sepenuhnya digunakan untuk menegakkan keadilan, seperti yang telah diberikan oleh Allah kepada Rasulullah.
Sebagai suatu sistem, rekayasa sosial mempunyai beberapa unsur, yaitu sebab pelaku perubahan, target perubahan, media perubahan dan unsur strategi perubahan.
Dilihat dari targetnya, fungsi-fungsi dakwah dapat dibedakan sebagai berikut :
1.      I’tiyadi
Normalisasi tata nilai yang telah ada.
2.      Muharriq
Peningkatan tatanan sosial yang sebenarnya.
3.      Iqaf
Upaya preventif dengan sejumlah petunjuk-petunjuk dan peringatan-peringatan yang relevan.
4.      Tahrif
Membantu untuk meringankan beban penderitaan.

C.                Persoalan Nilai-nilai Islam
Nilai (value) merupakan suatu konsep yang sangat bermakna ganda. Nilai adalah pandangan tertentu yang berkaitan dengan apa yang penting dan yang tidak penting.[4] Nilai juga dapat dipahami sebagai suatu kata benda abstrak, yaitu mengacu pada sifat dari nilai atau sifat bernilai.
Al-Qur’an dipercaya memuat nilai-nilai tertinggi yang ditetapkan oleh Allah dan merupakan nilai-nilai resmi dariNya. Nilai-nilai yang termuat dalam al-Qur’an selamanya ada di langit kecuali setelah melalui proses dakwah.
Dakwah adalah upaya menurunkan dan menjadikan nilai-nilai al-Qur’an agar membudaya dalam kehidupan masyarakat. Dakwah adalah suatu rekayasa sosial guna membentuk suatu persekutuan budaya yang para anggotanya mentaati kerangka ide dan nilai-nilai yang bersumber dari al-Qur’an untuk menjaga kehidupan yang harmonis dan menghindari trejadinya anarki.[5]
Apa yang paling dasar dan paling sentral dari nilai-nilai Islam adalah tauhid. Tauhid adalah suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Bagi umat islam, tat nilai yang Islami dianggap sebagai nilai yang telah jelas karena sumber dan rujukannya jelas, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Dari sejumlah ayat-ayat al_qur’an dapat diperoleh pemahaman bahwa tata nilai bukanlah suatu barang yang mati atau produk jadi yang statis. Tata nilai islami itu bersifat historis, dinamis, dialektis dan profetik-transformatif.
Penanaman nilai-nilai Islami ke dalam realitas kehidupan manusia pada dasarnya adalah suatu rekayasa budaya dan strategi kebudayaan yang berlandaskan pada konsep-konsep yang matang sesuai dengan arus perubahan zaman yang tidak pernah berhenti. Itulah sebabnya tata nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat tidak bisa berdiri sendiri, terlepas dari kenyataan dan realitas sosial yang mengitarinya.
Dengan demikian, tata nilai Islami yang akan ditanamkan, didasarkan pada pengetahuan yang mendalam mengenai realitas yang ada di masyarakat, yang diperoleh antara lain melalui studi literatur keagamaan yang bersifat normatif dan historis yang memungkinkan diperoleh simbol-simbol lama yang tidak Islami.


[1] The Liang Gie, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, terj. Ali Mudhofir, (Yogyakarta:Karya Kencana, 1977), hal. 144-145
[2]Yusuf Qardhawi, Epistemolog al-Qur’an(al-haq).Terj. Luqman Hakiem, (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), hal. 3-4
[3]Paul B Horton and Chester L Hunt, Sosiologi, jilid II, terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari, (Jakarta: Erlangga, 1989), hal. 208-242.
[4]Paul B Horton and Chester L Hunt, Sosiologi, jilid II, terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari, (Jakarta: Erlangga, 1989), hal. 258
[5]Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal. 174.

Filsafat Ilmu : Tentang Kritisisme



I. Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Sejarah filsafat adalah sejarah pertarungan akal dan hati (iman) dalam berebut dominasi mengendalikan jalan hidup manusia. Kadang-kadang akal menang mutlak, kadang-kadang iman yang menang mutlak. Kedua-duanya membahayakan hidup manusia. Yang menguntungkan hidup manusia ialah bila akal dan iman mendominasi hidup manusia secara seimbang.
Dilihat dari jurusan ini sekurang-kurangnya ada tiga filosof besar. Socrates yang berhasil menghentikan pemikiran sofisme dan mendudukkan akal dan iman pada posisinya, Descrates yang berhasil menghentikan dominasi iman (Kristen) ddan menghargai akal, serta Kant yang berhasil menghentikan sofisme modern untuk mendudukkan kembali akal dan iman pada kedudukan masing-masing. Dalam kerangka inilah agaknya Kant mendapat tempat yang lebih dari lumayan di dalam sejarah filsafat.
Situasi pemikiran yang dihadapi Kant sekalipun sama dengan situasi pemikiran yang dihadapi oleh Socrates, pada esensinya benar-benar sudah mencapai titik kritis. Argumen-argumen Kant dimuat didalam bukunya, Critique of Pure Reason dan Critique of  Practical Reason dan critique of  Judgment.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu: Apakah kritisisme itu? Dan bagaimana isi dari buku Immanuel Kant yang berjudul Critique of Pure Reason, Critique of  Practical Reason, dan critique of  Judgment.

C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui, mendeskripsikan dan bisa mengaplikasikan bagaimana kritisisme Immanuel Kant dalam bukunya yang berjudul Critique of Pure Reason, Critique of  Practical Reason, dan critique of  Judgment.

II. Pembahasan
A.    Kritisisme
Secara harfiah, kata kritik berarti pemisahan. Filsafat Kant berusaha membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatan kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi, filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya untuk memberi tempat iman dan kepercayaan.[1]
Filsafat Kant merupakan titik tolak periode baru bagi filsafat barat. Ia menyimpulkan dan mengatasi aliran rasionalisme dan empirisme.[2] Pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian tepengaruh oleh empirisnya (Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa empirisme terkadang skep-tisisme. Untuk itu, ia tetap mengakui kebenaran ilmu, dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.[3]
Pendirian aliran Rasionalisme dan Empirisme  sangat bertolak belakang. Keduanya fanatik pada pandangan masing-masing. Rasionalisme  berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sementara Empirisme berpendirian bahwa pengalaman yang menjadi sumber pengetahuan. Immanuel Kant (1724-1804) berusaha mengadakan perdamaian atas perbedaan antara keduanya dengan filsafatnya yang dinamakan Kriticisme (aliran yang kritis).[4]Untuk itulah, ia menulis tiga bukunya berjudul : Kritik der Reinen Vernunft (kritik atas rasio murni), Kritik der Urteilskraft (kritik daya pertimbangan). Kritisisme adalah aliran yang lahir dari pemikiran Immanuel Kant yang terbentuk sebagai ketidakpuasan atas aliran rasionalisme dan empirisme.
Akhirnya Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiris, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun pengetahuan bersumber dari akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri).
Jadi, metode berpikirnya disebut kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek irrasionalitas dari kehidupan dapat diterima kenyataanya.[5] Adapun ciri-ciri Kritisisme adalah sebagai berikut:
a.       Menganggap obyek pengenalan berpusat pada subyek dan bukan pada obyek.
b.      Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
Joko Siswanto membagi pemikiran Kant menjadi empat periode[6]:
1.      Periode pertama, ketika ia masih berada dibawah bayang-bayang Leibniz-Wolff sampai tahun 1760. Periode pertama biasa disebut sebagai periode rasionalistik.
2.      Periode kedua, berlangsung antara tahun 1760-1770 yang ditandai dengan semangat skeptimisme, yang dikenal dengan periode empiristik karena dominasi pemikiran empirisme Hume. Karya yang muncul adalah Dream  of a Spirit  Seer.
3.      Periode ketiga, Dimulai dari tahun 1770 yang dikenal dengan periode kritis. Karya yang muncul diantaranya:
a.    The Critique of Pure Reason (1781)
b.     Prolegomena to any Future Methaphysics ( 1787 )
c.     Metaphysical Foundation of Rational Science ( 1786 )
d.    Critique of Practical Reason ( 1788 )
e.    Critique of Judgment ( 1790 )
4.      Periode keempat, Berlangsung antara tahun 1790 sampai akhir hayatnya, 1804. Pada periode ini perhatian Kant lebih pada persoalan-persoalan agama dan social. Karyanya yang terpenting adalah Religion Within the Boundaries of Pure Reason (1793), Religion Within Limits of Pure Reason (1794), dan sekumpulan essai yang berjudul Eternal Peace (1795).[7]
Immanuel Kant memulai filsafatnya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Setelah Kant mengadakan penyelidikan (Kritik) terhadap pengetahuan akal, setelah itu, manusia terasa bebas dari otoritas yang datangnya dari luar manusia, demi kemajuan /peradaban manusia.
Immanuel kant mengkritik empirisme, ia berpendapat bahwa empirisme harus dilandasi dengan teori- teori dari rasionalisme sebelum dianggap sah melalui proses epistomologi.

                        1.     Kritik atas Rasio Murni (Critique of Pure Reason)
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsure a priori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti misalnya “ide-ide bawaan” ala Descraes). Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman (seperti Locke yang menganggap rasio sebagai “lembaran putih”). Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan antara unsur-unsur a priori dengan unsur-unsuraposteriori.[8]
Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang ada sebelum pengalaman, dan aposteriori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh pengalaman.[9]
Adapun  Inti  dari  isi buku yang  berjudul Kritik atas Rasio Murni  adalah sebagai berikut:
a.   Kritik atas akal murni menghasilkan sketisisme yang beralasan.
b.     Tuhan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan dalam pengabdian pada yang  di cita-citakan. Akal praktis adalah berkuasa dan lebih tinggi dari pada akal teoritis.
      c.      Agama dalam ikatan akal terdiri dari moralitas. Kristianitas adalah moralitas yang abadi.

2.  Kritik Atas Rasio Praktis (Critique of  Practical Reason)
Rasio murni yang dimaksudkan oleh Kant adalah Rasio yang dapat menjalankan roda pengetahuan. Akan tetapi, disamping rasio murni terdapat rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan; atau dengan lain kata, rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperative kategori. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah[10]:
            1.      Kebebasan kehendak
            2.      Inmoralitas jiwa, dan
            3.      Adanya Allah
4.  Kritik Atas Pertimbangan (Critique of  Judgment)
Kritik ketiga dari Kant atas rasionalisme dan empirisme adalah sebagaimana dalam karyanya Critique of  Judgment. Sebagai konsekuensi dari “Kritik atas Rasio Umum ” dan “Kritik atas Rasio Praktis” ialah munculnya dua lapangan tersendiri, yaitu lapangan keperluan mutlak, di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud kritik der unteilskraft  ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan)[11].
Adapun Inti dari Critique of  Judgment (Kritik atas pertimbangan) adalah sebagai berikut:
a.       Kritik atas pertimbangan menghubungkan diantara kehendak dan pemahaman.
b.      Kehendak cernderung menuju yang baik, kebenaran adalah objek dari  pemahaman.
c.       Pertimbangan yang terlibat terletak diantara yang benar dan yang baik
d.      Estetika adalah cirinya tidak teoritis maupun praktis, ini adalah gejala yang ada pada dasar subjektif.
e.       Teologi adalah teori tentang fenomena, ini adalah bertujuan: (a) subjektif (menciptakan kesenangan dan keselarasan) dan (b) objektif (menciptakan yang cocok melalui akibat-akibat dari pengalaman).

III. Penutup
A.    Kesimpulan 
Filsafat Immanuel kant yakni kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir yang rasional dan empiris.

B.     Kritik
Kant mengatakan bahwa pengalaman kita berada dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh perangkat indrawi kita, maka hanya dalam bentuk-bentuk itulah kita menggambarkan eksitensi segala hal, kelemahan dari pendapatnya ini bahwa pengalaman ditentukan oleh perangkat indrawi, dari pernyataan ini kant mengabaikan pengalaman yang timbul dari luar indarwi, yakni misalkan metafisika, psykologi, karena pengalaman ini tidak bersifat indrawi, secara tidak langsung kant menentang pengalaman yang tidak indrawi atau metafisik. Sehingga seseorang tidak dapat menggambarkan eksistensi sesuatu.


Daftar Pustaka

Fatimah, Siti.2010. Epistemologi Modern.Cirebon : Nurjati-Publisher
Abdul Hakim, Atang.2008. Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofiologi.Bandung: Pustaka Setia
http://www.doepatu.co.cc/2010/01/kritisisme-immanuel-kant.html
Baker, Anton.1986.Metode-metode Filsafat.Jakarta : Ghalia Indonesia
Achmadi, Asoro.2008.Filsafat Umum.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Zubaedi.2007.Filsafat Barat: DariLogika Baru rene Descrates hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group
Siswanto, Joko.1998.Sistem-Sistem Metafisika Barat: Dari Aristoteles sampai Derrida.Yogyakarta: Pustaka Pelajar



[1]http://www.doepatu.co.cc/2010/01/kritisisme-immanuel-kant.html
[2]Dr. Anton Baker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta Ghalia Indonesia,1986), hlm. 88
[3]Drs. Asoro Achmadi, Filsafat Umum, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 140
[4] Dra. Siti Fatimah, Epistemologi Modern (Cirebon : Nurjati IAIN Publisher, 2010), hlm. 78
[5]Drs. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 140
[6]Dr. zubaedi, Filsafat Barat: DariLogika Baru rene Descrates hingga Revolusi Sains Ala Thomas Khun, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007), hlm. 67.
[7]Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat: Dari Aristoteles sampai Derrida (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 46.
[8]Drs. Atang Abdul Hakim, MA., Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 284
[9] Dra. Siti Fatimah, Epistemologi Modern (Cirebon : Nurjati IAIN Publisher, 2010), hlm. 78
[10]Drs. Atang Abdul Hakim, MA., Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 287
[11]Drs. Atang Abdul Hakim, MA., Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 287