Sumber gambar: https://www.freepik.com/premium-photo/concept-direvsity-word-written-with-chalk-different-colors_4135815.htm#page=2&query=tolerance+kids&position=6
Isu intoleransi
di negeri ini bukanlah hal baru. Media sosial yang menjadi salah satu tempat
interaksi berbagai macam karakter manusia pun tak luput menjadi ruang toleransi
baru yang memberikan kesempatan untuk mengenal keragaman bagi penggunanya.
Sayangnya, masih ada saja pengguna sosial media yang tidak memegang nilai
toleransi dalam melihat berbagai fenomena di media sosial mereka.
Barangkali hal
tersebut memang menjadi cerminan diri di dunia nyata yang masih belum mampu
menerima keragaman yang ada di dunia khususnya di bumi pertiwi. Islam memandang
keragaman yang ada di dunia merupakan rahmat Tuhan yang semestinya dijaga demi
kemaslahatan umat.
Penanaman toleransi terhadap keragaman yang ada di masyarakat sejatinya dapat dimulai dari usia dini. Anak usia dini adalah anak yang sedang berada dalam masa keemasan atau yang biasa disebut “Golden Age”. Pada masa ini, perkembangan otak anak sedang pesat, sehingga pesan maupun percontohan perilaku yang diterima anak akan terekam dengan kuat hingga dewasa. Sepatutnya, anak mendapat lingkungan yang baik untuk ditanamkan toleransi atas keragaman dan hal tersebut dapat dimulai dari keluarga.
Keluarga, selain menjadi tempat anak bertumbuh secara jasmaniah juga memiliki
tanggung jawab terhadap pendidikan moral dan agama yang mengarah pada
pendidikan rohani anak. Selain keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat pun
sangat berpengaruh terhadap karakter anak. Perlunya penanaman nilai toleransi
pada anak usia dini memiliki pengaruh positif pada perkembangan jiwanya. Anak yang
terbiasa dengan lingkungan beragam secara tidak langsung memiliki pondasi untuk
menerima keragaman yang ada di lingkungannya.
Pembentukan
keluarga yang menjunjung nilai toleransi perlu dimulai dari kesadaran orang tua
tentang kondisi masyarakat yang memang sejak awal sudah beragam. Tentu,
pengajaran yang dilakukan kepada anak tentang toleransi ini dimulai dari
lingkup terkecil yaitu percontohan
perilaku yang diberikan oleh orang yang lebih dewasa. Stimulasi konkrit yang
diberikan anak akan sangat bermakna dan berpengaruh terhadap pandangan anak.
Pengenalan anak
terhadap keragaman dapat dimulai dengan menceritakan ataupun mengajak anak
berdiskusi terkait keragaman yang ada di masyarakat mulai dari perbedaan minat
seseorang terhadap sesuatu (makanan, mainan, dsb), sifat dan perilaku
teman-temannya, dan perbedaan lain yang dekat dengan anak. Perlahan namun pasti
anak akan lebih peka terhadap diri dan lingkungan sosialnya bahwa bersama tak
harus sama dan perbedaan bukan penghalang dirinya untuk tetap bergaul dengan
siapa saja tanpa harus membenci perbedaan yang telah ada. Hal ini menjadi bekal
anak dalam memahami keragaman Suku, Agama, Ras dan Antar golongan kelak ketika
waktunya anak mendengar cerita ataupun
melihat sendiri keragaman tersebut.
Maka, sebagai
manusia dewasa yang dianggap sudah memiliki kesadaran serta kematangan
berpikir, sudahkah kita menjadi contoh manusia yang toleran bagi anak-anak?
Atau malah kita menjadi provokator kebencian terhadap keragaman?
Apapun itu,
selalu ingat bahwa sebagai masyarakat, kita tak luput dari tugas menjadi contoh
yang baik di ranah pendidikan masyarakat.
Founder Rumah Anak Foundation

