Sistem perkuliahan dari rumah memberikan kesempatan untuk
lebih banyak menghabiskan waktu bersama orang tua walau hanya sekedar bercerita
sambil menonton televisi. Hal tersebut patut disyukuri mengingat segala hal
menjadi tidak pasti di masa pandemi saat ini. Mendengarkan ceritanya dengan
seksama pun menjadi berkah tersendiri, bagaimana tidak? selama berkuliah di
luar kota, inilah momen yang paling dirindukan oleh anak perantauan.
Malam
ini, beliau bercerita tentang masa remajanya yang tinggal di lingkungan sosial
dengan banyak larangan untuk seorang perempuan. Beliau bercerita bahwa saat
Sekolah Dasar, beliau adalah anak yang aktif dalam kegiatan baik akademik
maupun non-akademik
Apresiasi
atas keaktifannya tersebut diakui oleh Guru di sekolah yang sering memberikan
pujian untuk nilainya yang bagus berkat usahanya yang giat. Namun, hal tersebut
tidak berlaku saat dirinya tiba dirumah. Orang tua ibuku memberikan akses
sekolah secara sembunyi-sembunyi sehingga mereka hanya mengiyakan dan tidak
mengapresiasi secara khusus usaha ibuku untuk berprestasi di sekolahnya.
Perilaku tersebut dilatarbelakangi oleh anggapan lingkungan sosial dulu yang
masih meyakini betul bahwa seorang perempuan lebih baik tidak disekolahkan
karena takut menggunakan kepintarannya untuk hal yang tidak-tidak seperti
menulis surat cinta untuk lawan jenisnya atau nanti akan melawan terhadap
laki-laki, perempuan cukup belajar ngaji saja. Sebuah alasan yang terdengar
menyakitkan di telingaku saat ini, -sungguh sangat patriarki sekali- Batinku.
Beruntung,
ibuku bukan perempuan yang mudah menyerah. Beliau tetap memilih bersekolah
meskipun kadang mendapat amarah orang tua karena membawa teman sekolah ke rumah
ataupun memiliki banyak teman laki-laki di sekolahnya. Beliau menyadari kekhawatiran orang tuanya
tentang ‘omongan tetangga’ yang akan didapatkan bila mengetahui anak perempuannya
aktif di sekolah. Namun, beliau tidak peduli akan hal tersebut “Ibu tuh tetep
milih sekolah, ya karena seneng bisa ketemu banyak temen dan bisa bebas ikutan
eskul di sekolah” katanya saat bercerita. Sekolah baginya menjadi sebuah tempat
menyenangkan, mengalahkan rasa sakitnya dimarah oleh orang tua hanya karena
omongan tetangga.
Suatu hari, sekolah mengadakan seleksi siswa-siswi yang akan
mengikuti perayaan peringatan hari besar. Saat itu ibuku dipercaya untuk menjadi
bagian dari grup drum
band sekolah sebagai yang didepan
–mungkin maksudnya mayoret- dan ikut dalam parade perayaan tersebut. Singkat
cerita, parade sekolah berlangsung dengan berkeliling mengitari desa yang
diikuti oleh siswa siswi dengan berbagai atribut. Sayangnya, ini menjadi puncak
alasan ibuku tidak melanjutkan sekolah jalur formal. Saat pulang ke rumah,
beliau terkena marah karena ikut menjadi bagian dari penampil pada parade
tersebut. Sebagai gantinya, beliau dikirim ke pondok pesantren di kota ini
untuk nyantri supaya tidak perlu sekolah lagi. Beruntungnya, beliau mendapatkan
pengalaman yang baik di pondok pesantrennya.
Kenyataan
bahwa Ibuku dilarang sekolah formal hanya karena dia perempuan dan dilarang tampil di depan publik hanya karena
dia perempuan. Mungkin terdengar tidak adil. Tapi, tradisi tetap tradisi, ia
ada dan tumbuh dalam masyarakat yang tetap sepakat akan suatu konsep serta
tidak mudah melepas diri dari hal tersebut.
Ibuku bilang, aku beruntung saat ini akses perempuan sudah lebih maju dibandingkan zaman ibuku dulu yang sungguh sangat terbatas ruang geraknya bahkan hanya untuk sekolah saja harus diam-diam supaya tidak mendapat omongan tetangga yang macam-macam. Puji syukur, di lingkungan tempat tinggal ibuku sekarang juga sudah berkembang, pikiran masyarakat mulai terbuka akan pentingnya pendidikan bagi semua pihak. Kesadaran kolektif tentang pentingnya akses pendidikan yang terbuka seluas-luasnya bagi laki-laki dan perempuan penting dijaga. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk sama-sama mewujudkan kehidupan sosial yang adil dan maslahat dalam masyarakat.
Mengakhiri obrolan, aku pun bertanya padanya: “Sekarang aku anak perempuanmu, adakah yang ingin ibu larang dariku?” ibuku menjawab “Ibu tidak akan melarang apapun yang kamu lakukan, kamu mau kemana , kamu mau bisa apa, mau kerja apa, mau jadi apa, yang penting satu hal: kamu bisa jaga diri dan ibu percaya itu” terharu mendengar pesannya yang membolehkanku melakukan apapun selagi masih dalam koridor kebaikan dan manfaat.
Bila
kau tahu, sungguh kepercayaanmu benar menjadi bekal terindah untukku berlayar
di tengah dunia luas penuh dengan pilihan ini. Nasihatmu bagaikan mata angin
yang memberi petunjuk kemana harus melangkah. Terimakasih Ibu, ceritamu tentang
masa lalu menjadi hal yang layak aku refleksikan agar terus belajar kehidupan
demi kebaikan di masa depan.
Picture Source: https://www.freepik.com/free-photo/sunny-beach-with-yellow-sand-mom-walks-yellow-dress-her-little-pretty-girl_2611980.htm
Penulis :
Laelatul Khodria
Mahasiswa PGPAUD
Universitas Pendidikan Indonesia
