Latar
Belakang Pengemis
Oleh
Nur’aeni
Nim
: 1414352026
Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam Semester 2
(TUGAS
UTS FILSAFAT ILMU)
Untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Filsafat Ilmu
semester 2, saya dan teman-teman sekelas ditugaskan untuk melakukan sebuah
penelitian. Awalnya, Ibu Siti Fatimah, M.Hum (Dosen Filsafat Ilmu) menugaskan
kepada kita untuk meneliti LGBT. Tetapi ada sebagian mahasiswa yang tidak
menyetujuinya, hingga pada akhirnya target penelitian dialihkan ke pengemis.
Dalam penelitian kali ini, dalam satu kelas di bagi dua target. Sebagian
meneliti latar belakang pengemis dan sebagiannya lagi ada yang meneliti LGBT,
mayoritas yang memilih LGBT anak laki-laki. Untuk meneliti pengemis, tugasnya
bersifat individu, sedangkan LGBT bersifat kelompok. Saya sendiri lebih memilih
untuk meneliti pengemis.
Tujuan adanya tugas lapangan ini, agar mahasiswa PMI
mulai terbiasa untuk menangani masalah sosial masyarakat dan untuk mengetahui
latar belakang pengemis. Metode yang saya lakukan adalah melakukan tanya jawab
kepada sang pengemis yang akan dijadikan target tersebut.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa kehidupan di
dunia ini tidak semuanya kaya, tidak semuanya hidup serba kecukupan, serba
mewah, seba ada dan lain sebagainya. Ada lapisan masyarakat dibawah garis
ekonomi rendah yang hanya bisa mengandalkan pemberian dari orang lain untuk
bisa menyambung hidupnya. Jika melihat hal yang demikian, kita seharusnya lebih
bersyukur kepada Allah Swt yang telah mencukupi kita semua hingga kita tidak
sampai meminta-minta di jalanan layaknya pengemis.
Pada hari senin, 6 April 2015. Saya dan teman saya
yang bernama Duniawati mencoba mencari seorang pengemis yang akan kami jadikan
target. Sebelum menemui pengemis, kami membeli sedikit makanan untuk kami
berikan kepada pengemis yang kita tuju. Awalnya, kita menuju ke Indomart,
karena di Indomart ada satu pengemis yang duduk di depan pintu masuk indomart
dengan menengadahkan topinya sebagai wadah uang yang akan ia terima. Akan
tetapi, setelah sampai di indomart, kami ragu untuk mewawancarainya, karena
kami takut mengganggu akivitasnya sehingga kami mengurungkan niat untuk
mewawancarai pengemis yang ada di depan Indomaret tersebut. Kami pun mencari
lagi ke tempat lain yaitu kami menuju ke Lampu merah yang dekat dengan kampus
III Unswagati. Kebetulan, sesampainya kita disana ternyata di lampu merah
tersebut tidak ada seorang pengemis pun yang berdiri di tengah jalan. Kami
mencoba tengok kanan kiri melihat di sekeliling kita, dan tetap saja nihil
hasilnya. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami mencari
pengemis di Bima. Tidak lama kemudian, setelah kami memutari jalan sekitar
Bima, akhirnya kami menemukan seorang ibu-ibu yang sedang meminta-minta ke
orang-orang disekelilingnya. Kami pun berhenti dan mencoba memanggil sang ibu
tersebut, tetapi ibu itu terlihat gelisah seperti merasa takut kepada kita
karena takut ditangkap oleh kita, sehingga ia mengabaikan panggilan saya begitu
saja. Kami tidak menyerah. Karena kami baru melihat satu pengemis setelah lama mencari-cari,
kami pun mencoba untuk yang kedua kalinya mendekati ibu dengan kehati-hatian,
jangan sampai gagal untuk yang kedua kalinya. Kebetulan ibu tersebut sedang
beristirahat di sebuah tempat yang teduh sambil menghitung uang yang ia
dapatkan dari hasil mengemisnya tersebut.
Dengan penuh kehati-hatian kami pun mendekatinya.
Awalnya sama, ibu itu kembali merasa takut melihat kita. Tetapi, setelah kami
menjelaskan maksud kedatangan kami, ibu tersebut mau merespon kami. Lalu, kami
pun tidak membuang-buang waktu lagi untuk segera mewawancarainya untuk dimintai
keterangan/latar belakang dari ibu tersebut. Kami menanyakan banyak hal
kepadanya. Sang ibu tersebut tidak kuat menahan curahan hatinya, sehingga ia
pun menangis tak henti-henti. Pertanyaan-pertanyaan yang kami tanyakan berjalan
secara natural begitu saja. Karena mengkondisikan suasana pada saat itu. Jadi,
kita melihat situasi dan kondisi dari ibu pengemis tersebut dan biarkan
pertanyaannya yang mengikuti dan biarkan
mengalir dengan sendirinya.
Perempuan separuh baya yang kami maksud disini
adalah seorang ibu-ibu yang bernama ibu sanipah, berasal dari Kendal Semarang.
Ia berdomisili di Terminal Kota Cirebon. Ia mempunyai 10 anak. 5 anak telah
menikah dan 5 anak masih sekolah. Ia mulai mengemis sejak setahun yang lalu.
Bisa dikatakan ibu ini belum lama mengemis. Alasan yang mendasari ibu tersebut
harus mengemis karena di kampungnya sudah tidak ada pekerjaan yang bisa
mencukupi hidupnya, karena diberhentikan dari pekerjaan nyawah (Biasa disebut
oleh orang Jawa yaitu Ngemplang). Penghasilan perhari yang ia dapatkan berkisar
Rp 20.000 – Rp 30.000. ia memulai mengemis dari jam 09.00 WIB sampai ia
mendapatkan uang cukup untuk makan, kurang lebih jam 2 atau jam 3 siang.
Sebelum ia mengemis, ia bekerja di Sawah untuk mengemplang.
Ibu sanipah tidak mempunyai latar belakang
pendidikan, sehingga pengetahuan ia bisa dikatakan kurang. Ia tidak bisa
membaca tulisan, sehingga ketika ada tawaran untuk jadi TKI ke luar negeri ia
tidak mau, mungkin jika ia bisa mengerti suatu bacaan, dia ada niatan untuk
menjadi TKI, dan mencari uang di luar negeri. Tetapi, apa daya, ia tidak mampu
melakukannya. Sehingga pada akhirnya ia terpaksa lebih memilih mengemis
dibanding pekerjaan lainnya.
Selain tidak mempunyai latar belakang pendidikan,
faktor lain yang menyebabkan ia mengemis adalah karena banyak sawah yang
dibangun menjadi bangunan perumahan, sehingga lahan pekerjaan untuk bertani
semakin berkurang, dan menjadikan ia tak mempunyai pekerjaan atau menjadi
pengangguran.
Selain itu semua. Ia mengemis karena suaminya hanya
bekerja sebagai seorang tukang becak dan suaminya pun sama, tidak mempunyai
latar belakang pendidikan yang baik. Sehingga ia hanya bisa bekerja sebagai
tukang becak. Menurut ia, hasil dari becak tidak seberapa, terkadang sehari
hanya mendapat 10rb sampai 20rb saja. Sedangkan ia harus mencukupi kebutuhan
anak-anaknya yang banyak. Tidak cukup dengan hasil dari becak saja.
Ibu Sanipah pulang ke kampung halamannya setiap satu
minggu sekali, hanya untuk menemui anak-anak dan suaminya yang ia tinggalkan di
kendal. Dan ketika ia pulang tentunya ia pulang dengan membawa uang yang akan
ia kasihkan untuk anak-anaknya. Biasanya ketika ia pulang ia membawa uang
sekitar 200rb rupiah. Bisa dipakai untuk keperluan anakanya sekolah.
Ia berharap anak-anaknya kelak jangan sampai seperti
orang tuanya. Ia menginginkan anaknya menjadi orang yang berguna, yang bisa
membahagiakan kedua orang tuanya. Ia mengemis benar-benar untuk ibadah kepada
anak, meskipun itu pekerjaan yang hina. Ia tidak memperdulikan perkataan orang
lain. Yang terpenting ia bisa menghidupi anak-anaknya dan mencukupi
kebutuhannya.
Jadi, menurut saya bisa diambil kesimpulannya bahwa
seorang yang bekerja sebagai pengemis bermacam-macam faktor yang memaksanya
untuk mengemis. Bisa dikatakan karena kurangnya pendidikan, latar belakang
ekonomi yang tidak berkecukupan, latar belakang lingkungan, karena tidak adanya
lahan sawah yang bisa digarap, tidak adanya lahan pekerjaan disekitarnya, dan
bisa juga karena faktor kemalasan, yang tidak ingin bekerja pekerjaaan yang
berat. Dari itu semua kita ambil ibrahnya saja. Bahwa di dunia ini masih ada
orang yang hidup dibawah kita. Sehingga kita harus sadar bahwa orang-orang yang
dibawah kita itu masih hidup dalam kekurangan. Sedangkan kita bisa hidup
enak-enakkan tanpa menghiraukan mereka.[1]
Dialog
Pengemis
Nur’aeni (Pewawancara) : “Assalamu’alaikum bu”.
Ibu Saripah (Pengemis) : “Wa’alaikumussalam”.
Nur’aeni (Pewawancara) : “Namanya siapa bu?”
Ibu Saripah (Pengemis) : “Namanya Saripah”.
Nur’aeni (Pewawancara) : “Alamate ning endi?” (Bahasa Jawa)
Ibu Saripah (Pengemis) : “Alamate Kendal”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni (Pewawancara : “Semarang bu?”
Ibu Saripah (Pengemis) : “Mau sing wetan, mondok ning
terminal”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Alamat sekarang
domisilinya di terminal? Dimananya tuh bu terminalnya?
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Terminal
Cirebon”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Punya anak berapa
bu?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Anaknya
Sepuluh, Tapi beli pada mampu, Kang wis rumah tangga kah nok 5 nok, Kang durung
5”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Sing masih
sekolah?” (Bahasa Jawa)
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Kang masih
sekolah lima, SMP loro SD telu, lanang
kabeh nok. Pulane pengen sekolah beli bayar gah ongkose sing endi mangane sing
endi.” (Bahasa Jawa)
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Mulai mengemis
sejak kapan bu?
Ibu
Saripah (Pengemis) : “ Sekitar
setaun lah nok”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni
(Pewawanacara) : “Berarti baru?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Iya
sekitar setaun. Aduh barang sengsara..” (Bahasa Jawa)
Nur’aeni
(Pewawacara) : “Alasannya kenapa
bu bisa lebih milih ngemis?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Nok ari
apan bujang laka pegatake, bocae laka sing ngurusi,prebe ya nok “.(Bahasa Jawa)
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Lakie mendi bu?”
(Bahasa Jawa)
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Lakie
beca, ngemplang kadang kala ya ana. Lamun ngenteni oli kuen bae, nok oli selawe
balik oli rongpuluh balik”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Emang anak-anake
ibu laka sing duwe?” (Bahasa Jawa)
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Anake pada
beli duwe kaligane nok. Ninggang ana rejeki ya mepai. Toli dipai sing anak ya,
jaluk si nok. Bocah pada beli duwe, kepribe sih ari beli mampu kuh. Lamun mampu
sih emong nok ibu sih. Sikile lara kabeh, sengsara nok ari jalan deg mene deg mene
iku sikile kuh nok,apan balik punyeng”. (Bahasa Jawa, Ibu Saripah
mengungkapkannya sambil menangis)
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Biasanya dapet
berapa bu perharinya?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Selawewu,
kadang rongpuluh ewu”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Paling banyaknya
berapa bu?”
Ibu
Saripah (Pengemis) :
“Telungpuluh ewu”. (Bahasa Jawa)
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Keluar dari jam
berapa bu?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Metu ibu
bangsa golongan jam sangaan jam sepuluan. Ari ana ngemplangan sih ngemplang.
Sedina kah pitulas sewu limalas sewu gah bagen ari ana. Ari langka tinimbang
bocah kelaparan nok. Kita kuh ya Allah gusti bagen kaya kenen kuh lagi ibadah
ning bocah,melas nok bocah beli mangan kuh jaluke ning sapa. Terus terang bae
beli duwe nok. Beli nganggo kesugihan yakin ibu sih. Boro-boro sugih yakin beli
boong”. (Bahasa Jawa)
Ibu
Saripah (Pengemis) : “ Nok lagi
mau durung mengkenen, ilokan mangan ilok beli nok”. (Bahasa Jawa, sambil
nangis)
Nur’aeni
(Pewawancra) : “Jadi, waktu
sebelum mengemis itu bu ya di Kendalnya kerja apa bu?
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Kerja apa
ya kerjane ngemplang, sekien sih langka pada ngenggo mesin. Mau sih lumayan ibu
kerja ning kali (Sungai) ana nok watu, gecek watu. Langka...kaline, mendung.
Beli! Beli mengkenen nok, hina nok. Umame anak kang ngomong blenak, mepai
satus. Bu, Ibu kuh masih enom je lungah ning Arab bae. Lamun weru tulisan sih
arep ning Arab nok”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Bu pendidikane
ora sd?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Beli! Beli
sd sd acan wong bengen beli duwe wong tuwae. Lamu weru kih nok ibu nulis A I U
lunga bae ning Arab kanggo masa depane anak. Beli weru, toli kepribe kae tekang
ning kana clingak clinguke mendi”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Jadi, beli skolah
ta bu?
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Beli! Buta huruf. Weru kuh Cirebon bae, ya ari desa
endine sih beli wru”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Jadi yang di
rumah gimana Bu yang di Kendal?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Yang di
Kendal ya anak terus bari sedulur. Ibune balike seminggu sepisan”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Yang paling kecil
berapa taun umurnya?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “SD kelas
papat”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Anak-anaknya
selain sekolah kegiatannya apa aja bu?
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Yambu,
pada sing wis rumah tangga sih apa bae”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Engga, itu yang
lima orang itu tuh bu?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Ya sekolah
masih”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Engga disuruh
ikut ngemis lagi atau gimana?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Aduh cukup
raup ibu bae nok, ibu gah emong nok lamun bocah wis gede-gede, emong temen, temenan
nok. Yakin beli boongan. Ibu bae wis”. (Bahasa Jawa, Sambil ketuwon)
Nur’aeni
(Pengemis) : “Berarti tau
dong bu keluarga ibu, kalau ibu ngemis?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Ya, Iya
pada kesedihen nok”. (sambil nangis)
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Kalau makan
sehari-hari dari ibu aja atau gimana?”
Ibu
Saripah (Pewawancara) : “Ya karo bapane
karo ibu. Ari duwe kah nok. Namun misale bapane lagi ngemplang beli mangkat
ibue. Pegel nok kiyene lara kabeh”. (Sambil nangis)
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Jalan kaki bu
kalau pulang ke Terminal?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Ke
Terminal jalan kaki, sholat dulu ke masjid itu tuh di kampus terus pulang”.
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Pekerjaan kaya
gini tuh sebenarnya ga diinginkan gitu yah?”
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Ora lah nok,
mene nok modali mepai ibu, apan dagang ning pasar. Emong nok..... “
Nur’aeni
(Pewawancara) : “Pernah dapet
bantuan engga bu dari Pemerintah? biasanya dari Pemerintah ada bantuan BBM atau
apa gitu?
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Iya dapet,
ada BBM telungatus sewu. Di kasih BBM. Kih nok lamun oli BBM kuh nok ditukunang
beras selawe kilo terus luwiane kanggo ibu beli mangkat pirang dina ya entok,
nyageraken BBM bae yaa.....”
Nur’aeni
(Pewawancara) : “yawis, beli
mangan-mangan bu ya, setaun sekali mangane.
Ibu
Saripah (Pengemis) : “Nok, kula
nyambat ning Gusti Allah kuh Ya Allah Gusti kula kuh lagi ibadah ning anak.
Muga-muga anak gede-gede lanang kebeh kuh pada kerja kabeh”.[2]



