Start

Jumat, 27 Mei 2016

Kronologis Kapitalisme menguasai dunia





Selamat membaca.

Cara Kapitalisme Menguasai Dunia: Sistem ekonomi kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital (modal). Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan. Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”. Lalu siapakah yang akan memanfaatkan uang di bank tersebut? Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari bank, yaitu: fix return dan agunan. Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini. Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Nah, apakah adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa? Yaitu dengan pasar modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat dengan iming-iming akan diberi deviden. Siapakah yang memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk menjadi emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini. Siapa mereka itu? Kaum kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Adanya tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa lagi? Cara selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”. Bagaimana caranya? Menurut teori Karl Marx, dalam pasar persaingan bebas, ada hukum akumulasi kapital (the law of capital accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil. Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya. Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal. Agar perusahaan kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan persaingan pasar. Persaingan pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dsb. Lantas, dengan cara apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut? Lagi-lagi, tentu saja dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika perusahaan kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN). Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis, seperti: sektor telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi, dsb. Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi. Lantas bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu per satu BUMN tersebut. Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika dengan cara ini kaum kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara mengatasinya? Caranya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri. Kaum kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap sebagai pengusaha. Untuk menjadi penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, sebab biaya kampanye itu tidak murah. Bagi kaum kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika kaum kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka hegemoni (pengaruh) ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini? Tentu saja belum. Ternyata hegemoni ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup. Mereka justru akan menghadapi problem baru. Apa problemnya? Problemnya adalah terjadinya ekses produksi. Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen. Lantas, kemana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya? Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya, yaitu dengan melakukan hegemoni di tingkat dunia. Caranya adalah dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat penduduknya. Teknisnya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi). Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya. Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya. Yaitu dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) atau perusahaan lintas negara, di negara-negara sasarannya. Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah. Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya. Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal. Apakah dengan membuka MNC sudah cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi. Caranya? Yaitu dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut. Untuk melancarkan jalannya ini, kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut. Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi). Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah: UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dsb. Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu. Dengan cara apa? Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah. Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya. Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan sistem kurs mengambang bebas bagi mata uang lokal tersebut. Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut? Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka. Jika ingin lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya. Cara selanjutnya adalah dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara tersebut. Teknisnya adalah dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya. Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi bagi pendidikannya. Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya. Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan sarjana. Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara dan maunya digaji tinggi. Sebagaimana telah diuraikan di atas, cara-cara hegemoni kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan intervesi UU. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan cara yang lain lagi. Nah, cara inilah yang akan menjamin proses intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan menempatkan penguasa boneka. Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum kapitalis dunia. Bagaimana strateginya? Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi boneka. Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya. Nah, apakah ini sudah cukup? Tentu saja belum cukup. Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru. Apa problemnya? Jika hegemoni kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut. Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum kapitalis itu sendiri. Mengapa? Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka. Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua? Di sinilah diperlukan cara berikutnya. Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan. Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Kaum kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu: masyarakat akan tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya. Sampai di titik ini kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi? Jawabnya ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman krisis ekonomi. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa ekonomi kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya krisis ini. Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya. Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa itu? Ternyata sangat sederhana. Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bailout) atau stimulus ekonomi. Dananya berasal dari mana? Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian, jika terjadi krisis ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya. Jawabnya adalah: rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya. Bagaimana hasil akhir dari semua ini? Kaum kapitalis akan tetap jaya dan rakyat selamanya akan tetap menderita. Dimanapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama. Itulah produk dari hegemoni kapitalisme dunia. [Dwi Condro Triyono, Ph.D]

Top of Form

Senin, 02 Mei 2016

Ingatan Tentang Revolusi Hijau



By Nur’aeni
Community Development Of Islam

Teman-teman pernah mendengar dengan istilah Revolusi Hijau?
Jika belum mendengar saya rasa itu tidak mungkin, apalagi jika anda sebagai seseorang yang akan mengembangkan masyarakat, maka sangat diharuskan sekali untuk terlebih dahulu mengenal apa itu Revolusi Hijau dan bagaimana dampak dari Revolusi Hijau tersebut. 

Disini saya akan mencoba menceritakan sedikit pengetahuan tentang Revolusi Hijau yang saat ini masih menjadi topic atau bahan pembahasan perkuliahan saya. Revolusi Hijau merupakan sebuah program yang diberikan oleh pemerintah Orde Baru kepada masyarakat tani agar bisa memperoleh peningkatan produksi padi di ranah Nasional. Munculnya program ini dimulai dengan adanya pengenalan mengenai bibit unggul, obat pemberantas hama, alat-alat produksi modern seperti traktor yang bisa lebih efisien dalam menggarap lahan petani padi itu yang dimana dapat mengalihkan peran tenaga manusia dengan alat mesin yang lebih canggih. Program Revolusi Hijau ini mulai di intensifikasi kepada masyarakat di tahun 1968. 

Memang diakui, adanya penerapan program ini telah berhasil meningkatkan produksi padi setiap tahunnya. Yang dulu hanya panen satu kali, berkat adanya program baru ini bisa menjadi dua sampai tiga kali panen pertahun. Sedikit memaksakan sekali ya! Memang itulah yang diharapkan oleh pemerintah orde baru, karena tidak ingin mengulang sejarah sebelumnya yang pernah mengalami kelangkaan sumber pangan. Dengan adanya Revolusi Hijau mampu memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Indah  bukan cita-citanya. Namun, sejatinya tidak demikian.

Dulu, para petani masih sangat bebas dalam menentukan bibit untuk menanam padi. Ketika Revolusi Hijau mulai dikhutbahkan oleh Pemerintah Orde Baru, maka masyarakat saat itu harus mengikuti intruksi dari khutbah tersebut agar memakai bibit-bibit padi varietas unggul yang diberikan oleh pemerintah yang dimana dengan menggunakan bibit tersebut mampu meningkatkan kuantitas produksi padi itu sendiri. Hal itu berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara yang berswasembada beras di tahun 1984 dan sudah tidak lagi menjadi negara pengimpor beras.

Jika kita lihat dari tujuannya memanglah dinilai sangat bagus. Namun, disisi lain revolusi hijau ini hanya menguntungkan petani lapisan menengah ke atas yang memiliki tanah diatas 0,5 hektar[1]. Dengan memiliki tanah yang luas maka petani itu mampu menerapkan program revolusi hijau berupa traktorisasi dengan tidak merugikan mereka. Lalu? Bagaimana dengan petani biasa yang hanya memiliki sepetak tanah? Ia tidak mungkin menerapkan program revolusi hijau tersebut dikarenakan jika ia menerapkan, yang ada hanya kerugian yang ia dapatkan. Bukannya untung malah buntung. Apalagi, program ini hanya memberikan subsidi kepada petani yang sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu yang dimana kriteria tersebut menganaktirikan petani kecil. Bisa dikatakan juga sebagai pemiskinan secara perlahan.

Dengan berjalannya waktu, setelah Indonesia berhasil mengalami peningkatan produksi padi yang signifikan. Namun, lama-kelamaan produksi padi kembali menurun. Hal itu dakibatkan karena efek dari pemberian pupuk kimia secara berlebihan yang memaksakan untuk bisa panen lebih cepat setiap tahunnya. Hal itu lah yang menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan produksi padi. Dengan terlalu seringnya memberikan pupuk berbahan kimia atas nama revolusi hijau tersebut dapat mengurangi kesuburan tanah yang ada. 

Selain itu juga, adanya revolusi hijau berhasil merombak system perekonomian desa yang dulunya bersifat subsisten berubah menjadi komersial. Itu artinya program revolusi hijau telah sukses dalam mendokrin atau mengubah idiologi masyarakat terdahulu menjadi idiologi baru yang mereka programkan. Akibat program ini, manusia sudah teralineasi dari system kerjanya. Dulu bekerja untuk memenuhi kebutuhan perut dan lebih berdaulat. Sedangkan sekarang sudah tidak demikian lagi. Maksud dari berdaulat itu, para petani yang menggarap sawahnya, hasil dari sawahnya itu untuk makan mereka sendiri tidak menjadikan padi sebagai barang komoditas yang pada akhirnya menyengsarakan nasib mereka sendiri dan mengntungkan para pemodal yang membeli padi mereka dengan harga yang sangat murah. Kalau seperti ini gimana petani mau sejahtera?

Orang miskin saat ini bukan hanya yang tidak mempunyai harta. Namun, orang miskin itu yang dimana tidak mempunyai akses untuk memperoleh harta itu. Sebenarnya apa yang salah? System kah? Pikirkan saja. Ketidak sejahteraan ini terjadi bukan karena tiba-tiba atau sekonyong-konyong ada, melainkan itu semua memang diciptakan sedemikian rupa untuk memperlancar tujuan mereka orang-orang capital agar negara yang ditargetkannya tetap menjadi negara yang miskin yang tidak akan mampu menyaingi mereka. 

Kita sebagai calon pengembangan masyarakat mampukah untuk mengembalikan idiologi mereka yang dulu? Saya rasa itu sangatlah sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat telah berhasil diserang pemikirannya untuk mengikuti intruksi tersebut dan dengan berjalannya waktu mereka pun hanyut ke dalamnya tanpa mereka sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang dulu sudah mulai pudar secara tidak langsung lenyap ditelan masa.

Jika kita membayangkan pemandangan para petani yang sedang melakukan aktivitasnya di sawah, perasaan kagum dan bahagia itu sudah pasti ada. Karena kita tidak hanya melihat cangkul dan padi saja. Namun, dibalik makna dari aktivitas tersebut sangatlah mengandung banyak arti. Dalam aktivitas yang mereka lakukan itu menandakan bahwa mereka sedang mempraktikan hubungan kemanusiaan mereka dengan manusia lainnya, menerapkan keramah tamahan, saling membantu satu sama lain dan banyak hal yang didapatkan dari aktivitasa keseharian tersebut.

Para petani yang dulu bertani, mereka bukan hanya semata-mata untuk mencari uang saja, tetapi ada system sosial ketika mereka sedang melakukan aktivitas di sawahnya. Jadi, bisa dikatakan dulu kegiatan berekonomi itu merupakan kegiatan bersosialiasi mereka. Namun sekarang? Sudah berbeda. Semuanya sudah dikomersialkan, logikanya sudah berubah menjadi logika capital dan logika uang semata. Kebersamaan itu semakin berkurang antar masyarakatnya. Dulu juga bisa dikatakan “hubunganku denganmu adalah yuk sama-sama hidup bareng, kita punya sawah mari digarap bersama”. Ditambah lagi, selain ada perubahan di sector pertanian. Revolusi hijau juga menyerang di sector non pertanian yang dimana para petani-petani kecil yang dulu menggarap tanahnya. Akibat dari revjau tersebut mereka akhirnya tersingkirkan juga dan beralih pekerjaan ke sector non pertanian, seperti menjadi pedagang kecil, dll. Namun, tidak hanya berbicara di sector pertanian saja, melainkan di sector non pertanian pun sama masih dijajah dengan system capital seperti halnya di pertanian. Bisa juga dikatakan dengan istilah keluar kandang singa masuk kandang macan. Mengertikah dengan istilah ini? Filosofis dan ironis sekali ya.

Ketika mereka beralih ke non pertanian, bukan berarti masalah yang ada itu selesai begitu saja. Namun, semakin lebih kompleks masalahnya. Mereka berhasil menggiring masyarakat untuk masuk ke roda perkapitalisan mereka yang dimana ketika masyarakat beralih ke sector non pertanian, apa yang masyarakat perdagangkan? Masayarakat memperdagangkan produk-produk mereka. Dengan begitu semakin lancarlah roda perputaran itu. Mungkin ya tidak masalah jika petani yang beralih ke non pertanian memperdagangkan produk asli mereka sendri, seperti menjual hasil taninya. Hal itu bisa dikatakan lebih berdaulat.

Lalu bagaimana solusinya?
Coba pikirkan lalu bagikan ya disini :D



[1] Data dari hasil penelitian IRE (institute For Research and Empowerment) Yogyakarta