Celoteh Kehidupan
Enjoy your life. Studying, Working, traveling, reading, writing and about everything.
Start
Rabu, 07 Juli 2021
Pengalaman Perempuan
Minggu, 04 Juli 2021
Kelahiran Nadira, Anak Pertama
Jumat, 02 Oktober 2020
Kekerasan Verbal: Latihan kekuatan mental atau perusakan mental?
Apa yang terbayang darimu ketika mendengar kata: Kekerasan?
Bagi sebagian besar masyarakat, kekerasan identik dengan hal-hal berupa menyakiti seseorang melalui sentuhan fisik yang berlebihan.
Nyatanya, kekerasan adalah segala bentuk tindakan yang dapat menyakiti individu baik berupa fisik maupun non fisik.
Kekerasan fisik sangat mudah diakui keberadaannya karena menimbulkan luka yang terlihat atau setidaknya sakit yang nyata. Sedangkan kekerasan non-fisik seringkali tidak disadari oleh pelakunya, contoh kekerasan non-fisik adalah Verbal.
Pada orang dewasa saja, kekerasan verbal melalui kata-kata menyakitkan akan menimbulkan perasaan tidak nyaman, ketakutan, luka mendalam di hati bahkan trauma. Butuh waktu lama untuk menyembuhkan itu.
Bayangkan, bila yang menjadi korban kekerasan verbal adalah seorang anak yang masih meraba kehidupan. Apa yang akan terjadi pada dirinya?
Rasa takut? Jelas
Trauma? Pasti
Luka di hati? Ini yang paling menyayat.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan verbal cenderung mengalami hambatan dalam proses perkembangan kognitif, karena bentakan mampu membuat otak anak bekerja dalam keadaan tidak stabil. Luka yang diterima pada saat anak-anak pun bisa saja terbawa hingga ia dewasa yang menyebabkan dirinya diliputi perasaan takut salah, takut berbeda, takut mencoba dan perasaan takut lainnya. Tentu saja perlu treatment khusus untuk benar-benar menyembuhkan luka batinnya. Sayangnya, tidak semua ormag memiliki akses untuk mengatasi hal tersebut.
Bekerja dalam tekanan untuk terus tumbuh namun didampingi kekerasan verbal bukan tempat ideal sama sekali.
Jangan harap anak akan maju, mudah menerima informasi, nalarnya oke, jika kita terus berteriak dan berkata kasar padanya.
Ketahuilah, jiwa anak pada dasarnya lembut, maka rebut hatinya dengan kelembutan. Kau tahu salju kan? Dia dapat masuk lebih dalam karena kelembutannya.
Laelatul Khodria
Ramah Anak Foundation
Sabtu, 26 September 2020
Menyemai Toleransi sejak Dini, Menuai Bangsa Berkeadilan di Kemudian Hari
Sumber gambar: https://www.freepik.com/premium-photo/concept-direvsity-word-written-with-chalk-different-colors_4135815.htm#page=2&query=tolerance+kids&position=6
Isu intoleransi
di negeri ini bukanlah hal baru. Media sosial yang menjadi salah satu tempat
interaksi berbagai macam karakter manusia pun tak luput menjadi ruang toleransi
baru yang memberikan kesempatan untuk mengenal keragaman bagi penggunanya.
Sayangnya, masih ada saja pengguna sosial media yang tidak memegang nilai
toleransi dalam melihat berbagai fenomena di media sosial mereka.
Barangkali hal
tersebut memang menjadi cerminan diri di dunia nyata yang masih belum mampu
menerima keragaman yang ada di dunia khususnya di bumi pertiwi. Islam memandang
keragaman yang ada di dunia merupakan rahmat Tuhan yang semestinya dijaga demi
kemaslahatan umat.
Penanaman toleransi terhadap keragaman yang ada di masyarakat sejatinya dapat dimulai dari usia dini. Anak usia dini adalah anak yang sedang berada dalam masa keemasan atau yang biasa disebut “Golden Age”. Pada masa ini, perkembangan otak anak sedang pesat, sehingga pesan maupun percontohan perilaku yang diterima anak akan terekam dengan kuat hingga dewasa. Sepatutnya, anak mendapat lingkungan yang baik untuk ditanamkan toleransi atas keragaman dan hal tersebut dapat dimulai dari keluarga.
Keluarga, selain menjadi tempat anak bertumbuh secara jasmaniah juga memiliki
tanggung jawab terhadap pendidikan moral dan agama yang mengarah pada
pendidikan rohani anak. Selain keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat pun
sangat berpengaruh terhadap karakter anak. Perlunya penanaman nilai toleransi
pada anak usia dini memiliki pengaruh positif pada perkembangan jiwanya. Anak yang
terbiasa dengan lingkungan beragam secara tidak langsung memiliki pondasi untuk
menerima keragaman yang ada di lingkungannya.
Pembentukan
keluarga yang menjunjung nilai toleransi perlu dimulai dari kesadaran orang tua
tentang kondisi masyarakat yang memang sejak awal sudah beragam. Tentu,
pengajaran yang dilakukan kepada anak tentang toleransi ini dimulai dari
lingkup terkecil yaitu percontohan
perilaku yang diberikan oleh orang yang lebih dewasa. Stimulasi konkrit yang
diberikan anak akan sangat bermakna dan berpengaruh terhadap pandangan anak.
Pengenalan anak
terhadap keragaman dapat dimulai dengan menceritakan ataupun mengajak anak
berdiskusi terkait keragaman yang ada di masyarakat mulai dari perbedaan minat
seseorang terhadap sesuatu (makanan, mainan, dsb), sifat dan perilaku
teman-temannya, dan perbedaan lain yang dekat dengan anak. Perlahan namun pasti
anak akan lebih peka terhadap diri dan lingkungan sosialnya bahwa bersama tak
harus sama dan perbedaan bukan penghalang dirinya untuk tetap bergaul dengan
siapa saja tanpa harus membenci perbedaan yang telah ada. Hal ini menjadi bekal
anak dalam memahami keragaman Suku, Agama, Ras dan Antar golongan kelak ketika
waktunya anak mendengar cerita ataupun
melihat sendiri keragaman tersebut.
Maka, sebagai
manusia dewasa yang dianggap sudah memiliki kesadaran serta kematangan
berpikir, sudahkah kita menjadi contoh manusia yang toleran bagi anak-anak?
Atau malah kita menjadi provokator kebencian terhadap keragaman?
Apapun itu,
selalu ingat bahwa sebagai masyarakat, kita tak luput dari tugas menjadi contoh
yang baik di ranah pendidikan masyarakat.
Founder Rumah Anak Foundation
Senin, 14 September 2020
Ibu, Sebagai Anak Perempuanmu, Adakah Yang Ingin Kau Larang Dariku?
Sistem perkuliahan dari rumah memberikan kesempatan untuk
lebih banyak menghabiskan waktu bersama orang tua walau hanya sekedar bercerita
sambil menonton televisi. Hal tersebut patut disyukuri mengingat segala hal
menjadi tidak pasti di masa pandemi saat ini. Mendengarkan ceritanya dengan
seksama pun menjadi berkah tersendiri, bagaimana tidak? selama berkuliah di
luar kota, inilah momen yang paling dirindukan oleh anak perantauan.
Malam
ini, beliau bercerita tentang masa remajanya yang tinggal di lingkungan sosial
dengan banyak larangan untuk seorang perempuan. Beliau bercerita bahwa saat
Sekolah Dasar, beliau adalah anak yang aktif dalam kegiatan baik akademik
maupun non-akademik
Apresiasi
atas keaktifannya tersebut diakui oleh Guru di sekolah yang sering memberikan
pujian untuk nilainya yang bagus berkat usahanya yang giat. Namun, hal tersebut
tidak berlaku saat dirinya tiba dirumah. Orang tua ibuku memberikan akses
sekolah secara sembunyi-sembunyi sehingga mereka hanya mengiyakan dan tidak
mengapresiasi secara khusus usaha ibuku untuk berprestasi di sekolahnya.
Perilaku tersebut dilatarbelakangi oleh anggapan lingkungan sosial dulu yang
masih meyakini betul bahwa seorang perempuan lebih baik tidak disekolahkan
karena takut menggunakan kepintarannya untuk hal yang tidak-tidak seperti
menulis surat cinta untuk lawan jenisnya atau nanti akan melawan terhadap
laki-laki, perempuan cukup belajar ngaji saja. Sebuah alasan yang terdengar
menyakitkan di telingaku saat ini, -sungguh sangat patriarki sekali- Batinku.
Beruntung,
ibuku bukan perempuan yang mudah menyerah. Beliau tetap memilih bersekolah
meskipun kadang mendapat amarah orang tua karena membawa teman sekolah ke rumah
ataupun memiliki banyak teman laki-laki di sekolahnya. Beliau menyadari kekhawatiran orang tuanya
tentang ‘omongan tetangga’ yang akan didapatkan bila mengetahui anak perempuannya
aktif di sekolah. Namun, beliau tidak peduli akan hal tersebut “Ibu tuh tetep
milih sekolah, ya karena seneng bisa ketemu banyak temen dan bisa bebas ikutan
eskul di sekolah” katanya saat bercerita. Sekolah baginya menjadi sebuah tempat
menyenangkan, mengalahkan rasa sakitnya dimarah oleh orang tua hanya karena
omongan tetangga.
Suatu hari, sekolah mengadakan seleksi siswa-siswi yang akan
mengikuti perayaan peringatan hari besar. Saat itu ibuku dipercaya untuk menjadi
bagian dari grup drum
band sekolah sebagai yang didepan
–mungkin maksudnya mayoret- dan ikut dalam parade perayaan tersebut. Singkat
cerita, parade sekolah berlangsung dengan berkeliling mengitari desa yang
diikuti oleh siswa siswi dengan berbagai atribut. Sayangnya, ini menjadi puncak
alasan ibuku tidak melanjutkan sekolah jalur formal. Saat pulang ke rumah,
beliau terkena marah karena ikut menjadi bagian dari penampil pada parade
tersebut. Sebagai gantinya, beliau dikirim ke pondok pesantren di kota ini
untuk nyantri supaya tidak perlu sekolah lagi. Beruntungnya, beliau mendapatkan
pengalaman yang baik di pondok pesantrennya.
Kenyataan
bahwa Ibuku dilarang sekolah formal hanya karena dia perempuan dan dilarang tampil di depan publik hanya karena
dia perempuan. Mungkin terdengar tidak adil. Tapi, tradisi tetap tradisi, ia
ada dan tumbuh dalam masyarakat yang tetap sepakat akan suatu konsep serta
tidak mudah melepas diri dari hal tersebut.
Ibuku bilang, aku beruntung saat ini akses perempuan sudah lebih maju dibandingkan zaman ibuku dulu yang sungguh sangat terbatas ruang geraknya bahkan hanya untuk sekolah saja harus diam-diam supaya tidak mendapat omongan tetangga yang macam-macam. Puji syukur, di lingkungan tempat tinggal ibuku sekarang juga sudah berkembang, pikiran masyarakat mulai terbuka akan pentingnya pendidikan bagi semua pihak. Kesadaran kolektif tentang pentingnya akses pendidikan yang terbuka seluas-luasnya bagi laki-laki dan perempuan penting dijaga. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk sama-sama mewujudkan kehidupan sosial yang adil dan maslahat dalam masyarakat.
Mengakhiri obrolan, aku pun bertanya padanya: “Sekarang aku anak perempuanmu, adakah yang ingin ibu larang dariku?” ibuku menjawab “Ibu tidak akan melarang apapun yang kamu lakukan, kamu mau kemana , kamu mau bisa apa, mau kerja apa, mau jadi apa, yang penting satu hal: kamu bisa jaga diri dan ibu percaya itu” terharu mendengar pesannya yang membolehkanku melakukan apapun selagi masih dalam koridor kebaikan dan manfaat.
Bila
kau tahu, sungguh kepercayaanmu benar menjadi bekal terindah untukku berlayar
di tengah dunia luas penuh dengan pilihan ini. Nasihatmu bagaikan mata angin
yang memberi petunjuk kemana harus melangkah. Terimakasih Ibu, ceritamu tentang
masa lalu menjadi hal yang layak aku refleksikan agar terus belajar kehidupan
demi kebaikan di masa depan.
Picture Source: https://www.freepik.com/free-photo/sunny-beach-with-yellow-sand-mom-walks-yellow-dress-her-little-pretty-girl_2611980.htm
Penulis :
Laelatul Khodria
Mahasiswa PGPAUD
Universitas Pendidikan Indonesia